Saturday, December 29, 2007

PUNK: TIAP EPISODE ”MAKNA” YANG SELALU DINANTI


PUNK: TIAP EPISODE ”MAKNA” YANG SELALU DINANTI
Oleh: Astar Hadi

Seni dengan demikian “…merupakan kesenangan bermain dengan proses daripada fiksasi, hasrat untuk mengganggu daripada (mendamba) keajegan, “bertabrakan” daripada (mencari) ”keterkaitan”... (saatnya merayakan) kemenangan penanda (signifier) atas matinya rezim petanda (signified)...”

Musim panas tahun 1976 di Inggris, London terpanggang oleh ”murka” matahari yang menjilat tubuh-tubuh muda makhluk dara jelita yang berjalan lenggak-lenggok dengan celana pantai dan bikini di sepanjang jalan Oxford ketika itu. Gelombang panas yang menyengat menyatu dengan ”tontonan” segar sebagai terapi kejut ”pelepas dahaga” yang, tentu saja, tidak kalah menyengat. Dua aliran panas berbeda nafas saling bersaing menjemput mimpi Pemerintah United Kingdom untuk menghadirkan janji-janji tropis. Apa yang terjadi?
Dua peristiwa ”ganjil” yang sama-sama ”membakar”; antara matahari dan bikini, antara terbakarnya rerumputan Hyde Park dan membaranya suasana dansa-dansi yang, kebetulan, terjadi hampir bersamaan pada bulan Agustus, justru melahirkan wajah (subkultur) baru yang tidak kalah ”ganjil” pula, yaitu Punk –bagi media massa, seperti New Musical Express, 21 Februari 1976, mengklaim momen Konser Sex Pistols di Nashville, West Kensington, pada April 1976, sebagai kurun awal Punk.
Alih-alih sebuah kultur yang mengangkat ”keluhuran” tata krama kebanggaan generasi Victorian yang terkenal kaku dan konservatif, Punk dianggap penjelmaan negatif hewani (Hasil wawancara Woman’s Own, 15 Oktober 1977, dengan Ibu seorang Punk). Para sosiolog Barat pun merasa tidak tahan untuk menggaruk kultur baru ini, untuk menghilangkan rasa ”gatal-gatal” di tubuh Punk yang mereka sebut sebagai (penyakit) ”kepanikan moral.”
Bahwa punk, dianggap sebagai patologi sosial yang melekat pada lifestyle ”skizoprenik”, anak muda pada umumnya. Para punk dengan segala sifatnya yang khas: anak-anak muda yang cenderung liar, semangat pemberontakan yang kuat, pakaian dan gaya rambut yang aneh, sikap politik yang ganjil. Singkatnya, mereka adalah “pembuat masalah”. Anehya, mereka mempunyai pengikut global yang tersebar di berbagai jaringan media. Pandangan hidup mereka oleh sebagian orang dinilai “sakit” dan “gelap”—sebuah gambaran pandangan hidup generasi subkultur ‘60-an pada umumnya. Benarkah demikian?
Semiotika Subversif Punk
Dalam mengamati fenomena (sub-) kultur, Phil Cohen (1972), melihat bahwa ”fungsi laten” dari subkultur, seperti punk, adalah untuk ”mengekspresikan dan menanggapi”, kendati terlihat ”janggal”, kontradiksi yang tersembunyi atau tidak terselesaikan di dalam kultur orang tua.
Meski Cohen menilik analisisnya pada konteks kelas pekerja Barat pascaperang yang identik dengan gaya ”perlawanan” subkulturnya vis a vis kultur normal orang tua, pada kenyataannya, ada hubungan yang cukup signifikan dengan ciri khas yang secara umum menggambarkan ”identitas” subkultur di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Bahwa, komunitas subkultur mengapresiasikan ”perlawananannya” melalui bahasa ”pengingkaran” terhadap kode-kode sosial yang mapan.
Secara semiotik, terjadi subversi terhadap bahasa, tanda-tanda, citra, pengalaman, yang dikomunikasikan dengan cara yang sangat kontras, baik melalui musik, fashion, dan gaya hidup. Pada titik ini, persoalan makna adalah persoalan ”permukaan” (surface). Bahwa makna adalah bentuk dan sebaliknya. Inilah jawaban paling ”sederhana” terhadap pertanyaan filosofis tentang ”realitas sejati” yang sejak berabad-abad menjadi nyanyian tiada akhir. Apa artinya?
Mungkin, para filsuf-sosiolog Mazhab Frankfurt (Frankfurt School) sendiri, yang melalui visi-visi teori kritisnya ”melahirkan” jiwa-jiwa ”punk” anak muda, tidak pernah menginginkan keberadaannya. Mungkin juga, para pembela high culture vis a vis pop culture (subkultur) di Indonesia, seperti HB Jassin dan S.T. Alisjahbana (Hikmat Budiman, 2002) –seandainya mereka masih hidup, sangat mungkin menyesalkan realitas ini.
Karena, tentu saja, budaya subkultur dengan secara telak menghantam makna (”kebenaran”) universal etika, estetika, norma-norma, yang, lagi-lagi, (selalu) menuntut hadirnya makna. Sementara itu, makna atau nilai pada realitas subkultur, merupakan overproduksi semiotik terhadap permainan tanda (realitas) yang menghadirkan objek ”tontonan”, gaya, dan lain-lain, sebagai representasi makna yang disuguhkannya.
Realitas Punk adalah realitas masa kini. Sebuah realitas yang ”membongkar” jejak-jejak yang dilewatinya. Melawan, memparodi, mengolok-olok, sekaligus ”memutarbalikkan” logika alienasi Karl Marx, menertawakan dan menangisi ”kegigihan” rezim fatwa untuk ”menyelamatkan” mereka dari bahaya yang justru ”tidak pernah dipedulikannya”.
Kaum Punk agaknya memparodikan alienasi dan kehampaan yang telah membuat semua kalangan begitu prihatin. Mereka sadar, secara sengaja dan diniatkan, untuk merayakan sekaligus menentang kepura-puraan, menawarkan diri sebagai ”sampah” masyarakat. Mirip gaya ”katrok” Tukul dalam Empat Mata. Lho kok!?
Makna Ternyata Pura-pura
Ibarat sebuah perang, fenomena subkultur merupakan pertarungan antara bentuk dan makna, antara yang nyata (real) dan maya (hyperreal), antara sosialisme dan kapitalisme, antara Barat dan Timur, dan lain-lain. Siapa pemenangnya? Pemenangnya adalah kepura-puraan (as if), tebar pesona (politik), democra(c/z)y. And the nominees goes to…pilkadal, camat (calon mati)… 10 x 10 = Cepek deh!!!
Bila kita belajar dari Karl Marx bahwa, “manusia membuat sendiri sejarahnya, tetapi mereka tak membuatnya sekehendak mereka, mereka tidak membuatnya dalam keadaan yang mereka pilih sendiri, tetapi dalam situasi yang langsung dihadapkan, diberikan dan ditularkan dari masa lalu” (Marx, 1951).
Apakah kemudian Punk dan atau komunitas subkultur pada umumnya, merupakan ”dosa turunan” yang merupakan –meminjam istilah Nietzsche— proses eternal recurrent (pengulangan abadi) dinamika kehidupan manusia? Kalau saja itu benar, berarti, baik Punk yang dianggap sebagai “penyakit” masyarakat, atau pun sekelompok “pembela moral”, setali tiga mata uang alias sama saja; will to power (kehendak untuk berkuasa)!?
Terkait di atas, “perang” antara dua aliran “berseberangan” dalam ranah filsafat, yaitu Modernisme dan Posmodernisme, menemukan pengungkapannya yang paling “rasional” dewasa ini.
Klaim-klaim modernisme tentang kesadaran (consciousness) menyatakan bahwa kesadaran dogmatisme ilmu merupakan landasan absolut semua pemikiran. Kesadaran akan adanya Ruh Absolut (Hegel), adanya Causa Prima sebagai sebab utama yang unmoved mover (Aristoteles) dan diktum Cartesian ‘cogito ergo sum’ yang menganggap manusia sebagai subyek otonom yang mangatasi dunia pengetahuan manusia dalam mencapai kebenaran universal epistemologi (Descartes). Bagi posmodernisme, konsep kesadaran modernisme ini dianggap tidak memadai.
Penolakan ini terjadi karena Posmodernisme menyadari tidak ada lagi kapabilitas subjek untuk mengenal realitas sejati, baik realitas di dalam dirinya atau di luar dirinya oleh karena adanya rezim signifier yang sangat kompleks. Realitas sejati hanya “konsep kosong” yang tidak mampu mengatasi kompleksitas permainan tanda yang tumpang-tindih dengan hanya mengandalkan hirarki ruh absolut yang tunggal.
Di mana, masyarakat pascaindustri atau era informasi dewasa ini, ditandai oleh semangat dekonstruksi terhadap kompleksitas permainan tanda dan simbol (semiotika dekonstruktif Derrida), tempat berbaurnya aneka permainan bahasa dan meleburnya polarisasi antara baik/buruk, yang dibongkar sedemikian rupa dengan struktur dan kode bahasa yang sedemikian rupa, tumpang tindih, saling menarik sekaligus menentang, sehingga menciptakan satu permainan tanda yang tanpa akhir dan tanpa makna akhir.
Dalam semiotika dekonstruktif Derrida dalam Teori Dekonstruksinya, ingin melegitimasi pentingnya ruh lokalitas untuk memahami sejauhmana tanda-tanda atau teks –dalam hal ini Punk— itu mempermainkan dirinya sebagai ”proses yang terus menjadi”. Sehingga makna hadir tidak dalam sebuah bentuk final, tetapi selalu ”terjebak” dalam permainan tanpa akhir. Makna akan hadir pada posisi differ(a)ence, yang berarti –meminjam Al-Fayyadl (2005)— menghormati yang beda dalam keberbedaannya dan dan yang lain dalam kelainannya.
Pada kenyataannya, Punk mampu ”mendekonstruksi” tata sosial dengan ”menentangnya”, ”meremehkannya”, ”melupakannya”, yang alih-alih sebagai sebuah negasi dunia kehidupan, ia justru mengafirmasi, mengingatkan ”dunia lurus”, bahwa di balik segala tata krama, norma-norma, etika, terdapat kepura-puraan, manusia bertopeng, musuh dalam selimut, yang setiap saat bisa meledakkan ”bom waktu” yang meluluh-lantahkan (norma) kemanusiaan॥

*Astar Hadi adalah mahasiswa Administrasi Publik konsentrasi Kebijakan Publik, Unibraw Malang. Penulis buku ”Matinya Dunia Cyberspace” (LKiS, 2005) dan saat ini aktif dalam Komunitas Kajian Ilmu Sosial Mazhab Tlogomas Malang.

No comments:

Post a Comment