Sunday, July 5, 2009

LSI untuk Satu Putaran?!

LSI untuk Satu Putaran

Oleh: Astar Hadi*

Politisasi untuk mengarahkan pemilu presiden satu putaran, menurut Jusuf Kalla (JK), merupakan bentuk antidemokrasi. Wiranto –Cawapres pasangan JK— juga menegaskan bahwa klaim satu atau dua putaran berarti mendahului kehendak rakyat (Kompas, 19 Juni 2009).

“Virus” satu putaran ini berawal dari publikasi hasil survei LSI (Lingkar Survey Indonesia) –yang notabene didanai tim kampanye SBY-Budiono— beberapa waktu yang lalu. LSI “memenangkan” SBY-Budiono atas para pesaingnya dengan suara mutlak, 70 persen!

Suatu hal yang sangat fantastis jika saja perolehan suara ini benar-benar terjadi di Pemilu, 8 Juli 2009, mendatang. Mengingat sebelumnya, angka absolute ini hanya terjadi dalam sejarah perolehan suara Golkar pada Pilpres era Orde Baru yang, notabene, ditengarai penuh kecurangan dan pemaksaan.

Pemilu “hanya” Satu Putaran?

Menilik hasil Pemilu Legislatif, satu bulan yang lalu, suara mayoritas menempatkan Partai Demokrat –partainya SBY— sebagai jawara dengan perolehan lebih dari 20 % suara, terlepas dari buruknya performa KPU dalam penyelenggaraannya. Sementara dua partai besar yang diketuai JK dan Megawati, seperti Golkar dan PDIP, “hanya” 15 % ke bawah. Termasuk di dalamnya, partai-partai kecil dan menengah yang rata-rata membagi suara pada kisaran di bawah 10 %. Belum lagi, jika harus menghitung jumlah partai peserta Pemilu sebanyak 38 partai.

Fakta-fakta kuantitatif di atas memunculkan “scenario” bagi alur drama politik yang mengafirmasi “kebenaran” hasil survey yang “disutradarai” LSI menjadi mungkin. Walaupun ditengarai sebagai bentuk kampanye “ilmiah” untuk capres tertentu, lagi-lagi, survei opini publik “terbukti” mampu merepresentasikan angka yang nyaris tepat, seperti hasil survey LSI, terhadap perolehan suara di pemilu legislatif, Mei 2009, yang lalu. Apakah lantas drama pilpres satu putaran cukup signifikan?

Pertama, survei sebagai referensi realitas. Sebuah referensi bermakna mengacu, mengandaikan, dan menjadi acuan/referensi bagi sesuatu yang diacunya secara “menyeluruh.” Jika diibaratkan, untuk mengetahui rasa daging sapi, kita tidak perlu melahap seluruh organ dari sapi tersebut, tapi cukup dengan mencicipi satu irisan kecilnya saja, maka kita “mengetahui” bahwa “begini atau begitulah cita rasanya.” Harus ada referensi daging untuk menggambarkan nikmatnya “keseluruhan” entitas yang bernama daging sapi.

Kita masih mengingat, hasil persolehan suara riil Demokrat mencapai 20 persen, hampir seperempat dari suara pemilih se-Indonesia –hasil survey LSI pra-pemilu legislatif juga nyaris sama dengan perolehan suara tersebut. Jika dibayangkan, angka 20 persen adalah angka yang “besar” dan menentukan deskripsi voter yang akan memilih satu calon tertentu. Lebih-lebih, Pilpres tidak diikuti oleh 38 partai, yang tersisa hanya tinggal 3 kandidat capres terpilih. Ratusan juta suara seluruh rakyat Indonesia tinggal dibagi di antara ketiga kandidat tersebut. Masyarakat, kemungkinan, akan “kembali” menegaskan referensinnya pada preferensi awalnya.

Dengan kata lain, SBY, minimal, akan memperoleh sama seperti perolehan Partai Demokrat ketika itu. Ingat, pemilu 2004, Partai ini meraih suara cukup signifikan karena “faktor” only SBY. Pada akhirnya, SBY juga yang jadi presidennya. Dengan demikian, klaim satu putaran menjadi “sangat” mungkin jika mencermati tingkat popularitas dan elektabilitas masing-masing calon.

Kedua, survey adalah representasi realitas. Bias antara representasi dan realitas sangat mungkin terjadi. Representasi tidak melulu menjawab realitas yang diacunya. Pun, realitas belum tentu hasil dari sebuah representasi. Representasi bersifat terikat (dependent), sementara realitas tetap bebas (independent) pada dirinya. Faktanya, LSI “telah mengikat” realitas pemilih dengan mayoritas tunggal.

Realitas yang Terikat

Yang menarik, fakta survey yang dilakukan LSI, menghasilkan temuan 70 persen suara untuk SBY-Budiono. Di sini, realitas bukannya mengikat, tetapi diikat oleh sejumlah asumsi representasi melalui “kepastian” jawaban kuisioner yang digiring dengan sekian pertanyaan yang (bisa saja) “mengarahkan” pilihan.

Realitas tidak berdiri sendiri. Ia “terikat” oleh desain kuisioner survei yang sedemikian rupa. Representasi memungkinkan fakta riil tentang realitas nantinya. Di sini, pembalikan realitas terjadi oleh fakta-fakta simulatif quisioner. Dalam tipologi semiotika –ilmu tetang tanda-tanda dan penggunaannya dalam masyarakat, representasi mealalui survey sebagai tanda (sign) yang “mendahului” realitas dengan menyodorkan makna (signified) representasinya. Representasi didekontruksi untuk melampui realitas menjadi simulasi realitas; simulacrum.

Simulacrum, menurut Jean Baudrillard, merupakan proses penciptaan bentuk-bentuk nyata melalui model-model yang tidak ada asal-usul atau referensi realitasnya, sehingga yang khayali kelihatan tampak nyata. Artinya, munculnya realitas 70 persen suara pemilih lahir dari proses penciptaan sekian pertanyaan kuisioner sebagai bentuk-bentuk (signifier) “pasti” akan terjadinya pilpres satu putaran. Realitas voter justru “ditentukan” oleh representasi. Antara tanda dan makna saling tumpang tindih satu sama lain. Representasi yang semestinya “hanya” sebagai penanda, alih-alih, ia justru makna (realitas) itu sendri.

Meski demikian, survei tidak cukup memberikan sebuah jawaban, tidak bisa pula dijadikan sebagai manifestasi representatif yang jujur dari kehidupan bangsa Indoenesia yang begitu besar, kompleks dan plural ini. Artinya, tidak saja ia terlalu sempit atau reduktif, survei bahkan bisa menjadi sebuah contoh dari rantai pertandaan yang melampui apa saja yang seharusnya menjadi realita masyarakat Indonesia saat ini. Secara semiotik, tanda atau bentuk semacam ini disebut pseudo sign (tanda palsu).

Tapi kita tidak bisa menegasikan, sebuah survei dengan kompleksitas permainan tanda (teks) di dalamnya, merupakan bentuk-bentuk miniatur dari realitas sosial kita yang sesungguhnya. to Be Continued....

2 comments:

  1. saya kira semua orang memang kurang mempercayai hasil survei (sy belum jelas apakah lingkar-denny ja ato lembaga-saiful mujani). tp dengan penjelasan abang;detail,kritis, dan semoga mencerahkan.
    sy kurang mendalami semiotikan, masalah tanda dan penanda ato antara bentuk dan makna dst tp yang pasti bahwa wajah perpolitikan kita masih sepeerti yg dulu,tidak merubah2 amat. the real politik in indonesia is persepsi. politik citra.
    mungkin itulah mengapa, mas kunto, memandang masy indonesia terjangkiti budaya paradoks...

    ReplyDelete
  2. ya, kmungkinnan2 itu bisa saja terjadi... tp kita liat aja nanti...
    lepas dari semua itu, kita semua tetap mengingnkan pemilu yg sejatinya pesta rakyat tanpa adanya kecurangan2...

    ReplyDelete