Monday, August 16, 2010

Menimbang “Wajah” Demokrasi Maluku Utara (Resensi Buku)


Oleh: Astar Hadi*

Judul Buku          : Bingkai Demokrasi: Sebuah Refleksi Gelombang Demokrasi di Indonesia
Penulis                 : Muliansyah Abdurrahman Ways
Tebal                     : 278 Halaman
Tahun Terbit      : Cetakan 1, 2010
Penerbit              : Ar-Ruzz Media, Sleman Jogjakarta
Presensi              : Astar Hadi*

Tanggal 21 Mei 1998 merupakan tonggak sejarah paling monumental bagi Indonesia kontemporer. Sebuah peristiwa dramatis turunnya Soeharto menjadi titik balik munculnya optimisme dan harapan perubahan bangsa yang telah lama digerogoti moral hazard korupsi, kolusi dan nepotisme. Semangat elu-elu kebebasan dan bayangan lahirnya warna baru demokrasi “berawal” dari sini.
Kini, 12 tahun sudah berlalu. Optimisme dan harapan yang dulu terpatri seperti harus tenggelam oleh gejolak reformasi yang ternyata “hanya” berubah warna, akan tetapi tidak memberi arti apa-apa bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia. Proses demokratisasi yang sudah berjalan lebih dari satu decade ini terseret ke dalam hiruk-pikuk politik procedural democracy yang justru terjebak dalam relasi “pelanggengan” kekuasaan, alih-alih, memberi manfaat bagi publik.
Demokrasi terbingkai sebatas konsep dan wacana yang aduhai tapi miskin implementasi. Pada konteks “kegalauan” ini, Muliansyah Abdurrahman Ways (MAW) mencoba meneropong kembali dinamika demokrasi di Indonesia, khususnya Maluku Utara, melalui Bingkai Demokrasi: Sebuah Refleksi Gelombang Demokrasi di Indonesia.
Muliansyah menyayangkan praktik-praktik hegemoni kekuasaan keluarga (politik dinasti) di Maluku Utara sebagai ajang permainan elit (hal. 145) dan merupakan bentuk kedangkalan demokrasi yang tidak dibangun atas dasar kemampuan, kompetensi dan kapasitas (hal. 144). Politik semacam ini merupakan sebuah potret plutokrasi lokal; sebuah system relasi kuasa minoritas elit di daerah yang dikuasai oleh segelintir orang dengan tujuan menjaga status quo. Bahwa, dalam sejarah kekuasan yang menganut model ini selalu dibarengi oleh gurita nepotisme dan penumpukan ekonomi di satu relasi keluarga tunggal.
Pada konteks ini, kekuasaan yang dikomando oleh model dinasti mengandaikan adanya “pusat sentralistik” yang berperan secara “penuh” terhadap proses penyelengaraan Negara/daerah. Jika demikian, agenda otonomi daerah yang seharusnya menjamin balance of power antara pusat dan daerah dalam membingkai proses demokratisasi sebagai bentuk pelibatan (partisipasi) politik masyarakat secara langsung tidak terjadi. Yang ada, adalah kulminasi politik pada otoritas “keluarga” tertentu yang bekerja dengan tujuan memonopoli hak-hak publik daripada membuka kran partisipasi yang lebih luas bagi warga masyarakat. Kondisi ini tidak saja menghadirkan kembali sekelompok orang kuat baru, ia sekaligus melahirkan problem-problem sosial yang semakin timpang dan berujung pada konflik social yang semakin tajam.

Demokrasi dan Partisipasi Masyarakat
Karena itu, dalam wacana demokrasi ada proposisi yang menyatakan bahwa “jika masyarakat vis a vis Negara kuat, maka demokrasi akan berlangsung. Sebaliknya, jika Negara kuat sementara masyarakat lemah, maka demokrasi tidak akan berlangsung.” Pola hubungan vis a vis ini berarti bahwa gejala menguatnya Negara –dalam hal ini Daerah— berindikasi pada otoritarianisme kekuasaan. Dan, jika sebaliknya masyarakat yang terlalu kuat, maka anarkhisme massa akan merebak di mana-mana.
Prospek demokrasi yang baik mengisyaratkan posisi hubungan yang seimbang antara Negara/daerah dengan masyarakat. Begitu pula dalam konteks local yang domain utamanya pemberdayaan sumber daya alam dan manusia setempat, mewajibkan keterlibatan secara kontinyu seluruh stakeholder dalam men-setting agenda kebijakan publik sebagai bentuk inisiasi partisipatif warga (citizen) oleh pemerintah daerah.   
Dengan mengutip Linz dan Stepan, Muliansyah, mengajukan lima prasyarat bagi demokrasi, yaitu: (1) adanya dan tumbuhnya civil society yang kritis; (2) adanya otonomi nilai yang berkembang di masyarakat; (3) adanya masyarakat ekonomi yang terinstitusionalisasi; (4) terciptanya rule of law; dan (5) adanya birokrasi Negara yang menjamin kebebasan masyarakat (hal. 58-59).
Menilik pada prasyarat-prasyarat di atas, demokrasi, khususnya di aras local, menekankan peran utama masyarakat sebagai subjek yang mengelola sumber daya dan proses distribusi kearifan lokal (local genus) yang bergerak dalam multikompleks social, ekonomi, budaya. Artinya, posisi pemerintah (“hanya”) sebagai regulator menjamin tata kelola pemerintahan (good governance) dengan menumbuhkembangkan partisipasi aktif warga yang tetap bersandar pada koridor konsensus hukum (legal consensus) yang telah disepakati bersama seluruh elemen.


Deliberasi Demokrasi Lokal
Kata “deliberasi” berasal dari kata Latin deliberatio yang artinya “konsultasi”, “menimbang-nimbang”, atau “musyawarah”. Demokrasi bersifat deliberatif, jika proses pemberian alasan atas sesuatu kandidat kebijakan publik diuji lebih dahulu lewat konsultasi publik atau lewat – dalam kosa kata teoritis Habermas – “diskursus publik”.
Sistem pemerintahan Indonesia, sebagaimana negara demokrasi lainya, menganut sistem sparation of power atau pembagian kekuasaan antar lembaga tinggi negara, yaitu kekuasan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dengan sistem demikian dimungkinkan adanya checks and balances antar kekuasan tersebut dan konsentrasi kekuasaan dapat dicegah. Tetapi yang masih sulit dijamin dalam sistem itu adalah sejauh mana interaksi politik antar lembaga tinggi itu terpengaruh oleh arus besar suara rakyat. Alias, apakah rakyat mempunyai akses yang cukup untuk turut meramaikan dinamika diskursus yang sedang digagas oleh ketiga pemegang kekuasaan itu. Apakah bukan yang terjadi adalah mereka yang memegang kekuasaan “hanya” mengurusi kepentingan diri mereka sendiri karena memang jaring-jaring politik yang menghubungkan antara rakyat dengan pusat-pusat kekuasaan belum terbentuk. Inilah problem utama dalam reformasi politik hukum politik hukum Indonesia secara fundamental dan paradigmatik.
Habermas, merujuk pada istilah “deliberasi”, sebagaimana telah disinggung di muka, menawarkan model demokrasi yang memungkinkan rakyat terlibat dalam proses pembuatan hukum dan kebijakan-kebijakan politik. Itulah demokrasi deliberatif yang menjamin masyarakat sipil terlibat penuh dalam pembuatan hukum melalui diskursus-diskursus. Tetapi bukan seperti dalam republik moral Rousseau di mana rakyat langsung menjadi legislator, maka dalam demokrasi deliberatif yang menentukan adalah prosedur atau cara hukum dibentuk.
Dalam demokrasi deliberatif, kebijakan atau hukum yang akan dibentuk dipengaruhi oleh diskursus-diskursus yang terus-menerus (baca: mengalir) di dalam masyarakat. Di samping kekuatan Negara dan kekuatan kapital terbentuk kekuasaan komunikatif melalui jaringan-jaringan komunikasi publik masyarakat sipil.
Kekuasaan komunikatif masyarakat sipil dimainkan melalui media, pers, LSM, Organisasi massa dan lembaga-lembaga lain yang seolah-olah dalam posisi mengepung sistem politik, sehingga negara dan perangkat kekuasaannya terpaksa responsif terhadap diskursus-diskursus masyarakat sipil.  Sebaliknya, masyarakat sipil bisa mengembangkan kekuasaan komunikatifnya karena dalam negara hukum demokratis kebebasannya untuk menyatakan pendapat terlindungi. Kekuasaan komunikatif masyarakat sipil tidak menguasai sistem politik, namun dapat mempengaruhi keputusan-keputusannya.
Seperti diungkapkan Muliansyah (hal. 163), Maluku Utara, sebagai Propinsi yang berkumpul di dalamnya bermacam-macam suku bangsa, ras, yang terdiri atas Kepulauan Sala, Sanana, Ternate, Tidore, Halmahera, Makian, Kayoa, Bacan dan lain-lain, tentu saja, mengisyaratkan proses komunikasi publik secara deliberatif dalam setiap diskursus publik yang ada. Tengara ini memantik pentingnya pengakuan terhadap pluralisme dan hak-hak politik masyarakat melalui tindakan komunikasi yang bebas hegemoni. Pemerintah setempat, membuka ruang yang mendukung secara luas aktivitas-aktivitas publik untuk mewujudkan kerja-kerja social, ekonomi budaya, yang notabene merupakan salah satu prasyarat munculnya undang-undang (UU) otonomi Daerah.
Muliansyah, yang adalah penulis buku dan warga Maluku Utara ini, mengajak pembaca untuk melakukan –menurut hemat saya— “traveling” kritis terhadap jejak-jejak historis demokrasi di Indonesia kontemporer. “Perjalanan” yang dilakukan Muliansyah “menemukan” banyaknya kerikil-kerikil yang bisa menyumbat proses demokratisasi di Daerah. Bahwa, proses demokratisasi saat ini, khususnya di Maluku Utara, seolah-olah telah sampai pada puncak perjalanan. Padahal pada kenyataannya, produk demokrasi “hanya” pada tataran legal-formal dan procedural semata, tapi belum menyentuh hakikat/substansi demokrasi itu sendiri yang bahan baku utamanya adalah rakyat; bagaimana menyejahterakan dan memenuhi hak-hak sipil masyarakat sama sekali masih jauh dari harapan. Lebih-lebih, jika yang terjadi sekadar politik perebutan kekuasaan dan politik dinasti.
Sekali lagi, sebagai sebuah buku refleksi, tentu saja, buku yang ada di tangan pembaca saat ini, ibarat “hidangan” pengantar yang menyajikan “menu-menu” dengan bahan dasar demokrasi. Pembaca, pada akhirnya, yang “harus” merambah lebih dalam format demokrasi yang mungkin paling tepat bagi Indonesia ke depan. Pada titik ini, Muliansyah telah menghidangkannya, tinggal bagaimana kita mengolahnya secara kritis. Selamat membaca.     

*Astar Hadi adalah Peneliti INDOMATRIK (Lembaga Survey Opini Publik & Kebijakan) Malang dan Penanggung Jawab Jurnal Madzhab Djaeng (for Multicultural Studies and Social Sciences)



No comments:

Post a Comment