Tuesday, March 27, 2007

Paradoks UAN yang Kebablasan

Paradoks UAN yang Kebablasan
Oleh: Astar Hadi*
Apakah yang sementara ini kita pahami tentang pendidikan? Pendidikan tentunya merupakan sebuah ajang untuk menumbuhkembangkan ilmu pengetahuan dan bakat intelektualitas alamiah manusia, di samping untuk menanamkan nilai-nilai dan ajaran normatif-etis sebagai pembentukan kesadaran dalam bingkai ‘mencerdaskan bangsa’ di satu sisi dan membangun nilai luhur ‘memanusiakan manusia’ secara global di sisi lain.
Oleh karena itu, pendidikan sangatlah penting bagi manusia baik sebagai nalar imaginatif ataupun nalar praktis. Pendidikan berfungsi secara imaginatif sebagai pengasah karakter dan eksistensi setiap manusia dalam memformat dan me-manage pola pikir secara reflektif. Dan secara praktis, pendidikan berfungsi sebagai alat pencapaian aktual terhadap berbagai kebutuhan hidup yang menuntut adanya keahlian (skill) –dan ini seyogyanya ditunjang oleh pendidikan yang memadai.
Dengan demikian pendidikan membutuhkan sebuah lokus yang mewadahinya, yang sampai saat ini kita sebut sekolah. Sebagai wadah formal pendidikan, sekolah, dalam hal ini, sekolah menengah, memilki sekian kebijakan yang menentukan suatu standarisasi pendidikan secara nasional.
Dalam kaitannya dengan bahasan di atas, bentuk standarisasi paling gamblang dalam dunia pendidikan bangsa kita saat ini adalah pelaksanaan ujian akhir nasional (UAN) secara simultan di seluruh wilayah hukum Indonesia tanpa terkecuali. Kita ketahui, UAN sebagai prasyarat lulus atau tidaknya siswa sekolah menengah menetapkan standar nilai minimal 4,01 untuk setiap mata pelajaran yang di-UAN-kan.
Akan tetapi, kebijakan yang diambil lembaga pendidikan kita ini menuai badai kritik dari berbagai kalangan, baik pengamat, pengelola pendidikan, guru dan siswa itu sendiri. Langkah ini dianggap kontroversial karena bisa memicu angka atau presentase ketidaklulusan yang cukup besar –kalau bukan sangat besar— bagi siswa sekolah menengah. Karena pada saat sebelumnya, dengan standar nilai 3, 01 pada UAN priode 2002-2003 menyebabkan kurang lebih 600 % siswa (Jawa Timur) tidak lulus. Lantas, apakah kebijakan baru UAN ini relevan dengan kondisi pendidikan sekolah menengah di Indonesia?
Memang, tujuan dari diselenggarakannya standar tersebut sangat mulia, yaitu untuk mencari sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas. Apalagi, dalam arus globalisasi dan pasar bebas, mencari kualitas pendidikan yang handal dan unggul bisa dikatakan sangat mendesak, mengingat tantangan-tantangan yang akan kita hadapi nantinya tidak saja usaha membangun sebuah “generasi emas” pendidikan, ia juga melibatkan unsur-unsur tersebut (baca: kualitas) untuk mengantisipasi membludaknya persaingan ketat di era informasi sekarang ini.
Masalahnya, UAN yang sedianya akan diselenggarakan pemerintah nantinya, dianggap oleh banyak kalangan sebagai bentuk nyata dari praktek yang hanya menguntungkan minoritas orang kaya dan mengorbankan mayoritas orang miskin yang jelas-jelas sangat membutuhkan pendidikan untuk meningkatkan derajat atau taraf kehidupannya.
Betapa tidak, proyek UAN yang berdalih untuk meningkatkan mutu pendidikan harus terjebak pada batu karang fakta bahwa anggaran UAN sekitar Rp. 250 miliar tersebut hanya akan menghancurkan generasi muda pendidikan hanya karena standarisasi yang kebablasan untuk “ukuran intelektualitas” masyarakat Indonesia secara umum.
Sebab, dapat diduga sebagian dari mereka yang akan gagal nantinya kemungkinan besar dari masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah. Bahwa tentunya asumsi tidak hadir dengan sendirinya, tetapi kenyataan membuktikan bahwa sekolah-sekolah favorit (unggulan) yang secara pasti lebih mahal dan ditunjang dengan fasilitas serba “wah” dan juga pengajar berkelas-berkualitas menjadi sangat memungkinkan untuk mecapai –kalau bukan melampui— standar 4,01 yang ditetapkan.
Tetapi bagaimana dengan keadaan siswa yang “pas-pasan”, yang hanya mampu membayar sekolah kelas dua atau kelas tiga dan seterusnya, dan dengan fasilitas sekolah maupun pengajar “ala kadarnya”? Padahal mayoritas pendidikan (sekolah) kita masih berada di bawah standard dan di huni oleh siswa-siswa yang miskin secara financial. Logika ini berarti bahwa orang tua atau wali murid tidak mempunyai pilihan lain kecuali memasukkan anak-anak mereka di sekolah yang tidak diunggulkan.
Di beberapa tempat diprediksi akan mengalami ketidaklulusan cukup besar tahun ini, mencapai 40 persen (lihat “Angka Ketidaklulusan akan Tinggi, Kompas, 21 april 2004). Jika kita harus berkaca pada dugaan ini, tentu saja, kesenjangan pendidikan antara si kaya dan si miskin memang sangat sulit untuk dielakkan. Pemerataan mutu pendidikan yang diinginkan dengan standar UAN yang baru ini justru menghasilkan kuota kesenjangan yang semakin besar dan tidak bisa dihindari. Sebab, hampir mustahil, sekolah dengan fasilitas dan pengajar “seadanya” mampu mengangkat kualitas peserta didik untuk menyamai kualitas siswa yang notabene berada di lingkungan sekolah unggulan.
Dalam bahasa Sindhunata, pendidikan yang seharusnya mencerdaskan malah berbalik menjadi “menindas”. Artinya, kriteria 4,01 menjadi sangat paradoks menilik kondisi pendidikan kita selama ini. UAN yang pada dasarnya bertujuan untuk mencetak SDM berkualitas, alih-alih, ia malah menderitakan dan memojokkan sebagian besar siswa untuk berprestasi.
Penjelasan di atas berarti, oleh karena hanya “kecongkakan” pihak pemerintah yang ingin mengangkat Indonesia “setinggi langit” di mata publik internasional, sementara itu, pemerintah sendiri tidak berusaha melihat secara mendalam dan bijak terhadap persoalan krusial pendidikan kita yang masih dalam taraf “belajar’.
Kalau kita mau menyadari, terutama bagi pihak decision maker, bahwa dalam proses penggodokan standar nilai UAN, yang justru paling urgent dan signifikan untuk diangkat adalah persoalan bagaimana mencocokkan standar nilai tersebut dengan pertimbangan antara tingkat kesulitan dan kualifikasi umum pendidikan kita, bukan dengan melihat realitas mutu pendidikan bangsa lain yang notabene masih berada di atas kita. Sehungga, tidak lantas kita dengan membabibuta menentukan standar yang pada kenyataannya belum “siap” untuk diterapkan di Indonesia saat ini.
Akhirnya, pendiidikan yang pada hakikatnya bertujuan mulia ini, pendidikan yang bertujuan memanusiakan manusia sebagai wahana membangun kesadaran, pembebasan dan pencerahan ini, jangan sampai harus ternodai oleh kebijakan yang tidak berpihak pada rasa keadilan masyarakat dan sisi humanisme pendidikan itu sendiri. Wa Allahu A’lam.
*Astar Hadi adalah calon Sarjana Ilmu Sosial, Jurusan Ilmu Komunikasi, Konsentrasi Jurnalistik, FISIP, Universitas Muhammadiyah Malang. Penulis juga adalah pengarang buku “Matinya Dunia Cyberspace” (LKiS, 2005)

No comments:

Post a Comment