Tuesday, January 22, 2013

Serambi Madinah dan Partisipasi dari Bawah


Oleh: Astar Hadi*

Hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang diperingati setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal segera tiba. Kelahiran adalah sebuah momentum eksistensi bagi kehadiran manusia di muka bumi. Alloh SWT menegaskan posisi manusia sebagai satu-satunya khalifah (pemimpin) yang “berhak” mengelola kehidupan ini untuk menjalankan hak dan kewajiban kemanusiaannya dalam ranah pribadi dan, lebih-lebih, sosial kemasyarakatan.
Kelahiran Muhammad SAW merupakan manifesto “ruh” sejarah (laqod kholaqna al-insan fi ahsani taqwim), eksistensi bagi kesadaran mewujud (rahmatan li al-‘alamin), transendensi kemanusiaan dalam sibghoh/celupan Tuhan (sibghotullah) dan imanensi Tuhan yang “menyublim” dalam kemanusiaan (takhallaqu bi akhlaqillah). Muhammad, dengan demikian, sosok/subjek yang hadir bukan di ruang hampa sejarah, tidak pula berlaku-tindak dalam “jalan sunyi.” Beliau sekaligus tafsir sejarah masa depan bagi terbentuknya kesalehan pribadi dan sosial yang menyeluruh tentang bagaimana sebuah momentum kelahiran itu dimaknai, dicerap, dan dijalankan. Pada titik inilah peringatan Maulid Nabi menemukan kontekstualisasinya hingga kini.
Artinya, kontekstasi kelahiran Nabi Muhammad beserta sejarah yang memayungi perjalanannya menyiratkan suatu sikap/prinsip, suatu pola, suatu gerak, yang bisa menjadi spirit untuk mendorong rancang-bangun peradaban di kemudian hari. Kontekstualisasi ajaran Muhammad secara teoritis bisa dilacak pada munculnya istilah “masyarakat madani” yang akar sejarahnya dirunut dari “Piagam Madinah” yang terkenal itu.
Dalam konteks istilah di atas, sudah banyak literatur yang secara khusus membahas bagaimana kontekstasi kehidupan Nabi semasa di Madinah. Salah satunya, mengutip Ahmad Hatta, masyarakat Madani –seperti yang awalnya dipopulerkan oleh Cendekiawan Malaysia Profesor Naquib Al-Attas— merupakan terjemahan dari kosa kata bahasa Arab, mujtama’ madani, yang secara etimologis mempunyai dua arti. Pertama, "masyarakat kota", karena madani adalah turunan dari kata bahasa Arab, madinah, yang berarti kota. Kedua, masyarakat yang berperadaban, karena madani adalah juga turunan dari kata bahasa Arab, tamaddun atau madaniyyah yang berarti peradaban dalam bahasa Inggris ini dikenal sebagai civility atau civilization. Maka dari nama ini, masyarakat madani bisa berarti sama dengan civil society, yaitu masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban.
Dalam hubungannya dengan masyarakat madani, bahkan, menurut Hatta dengan menyitir pendapat Hamidullah (First Written Constitutions in the World, Lahore, 1958), Piagam Madinah ini adalah konstitusi tertulis pertama dalam sejarah manusia. Konstitusi ini secara mencengangkan telah mengatur apa yang sekarang orang ributkan tentang hak-hak sipil (civil rights) atau lebih dikenal dengan hak asasi manusia (HAM), jauh sebelum Deklarasi Kemerdekaan Amerika (American Declaration of Independence, 1776), Revolusi Perancis (1789) dan Deklarasi Universal PBB tentang HAM (1948) dikumandangkan. Di sini, masyarakat madani banyak ditafsirkan sebagai peradaban kota yang menjunjung tinggi hukum, tata sosial-politik dan hak asasi manusia.
Untuk membatasi tulisan ringkas ini, penulis tidak hendak membahas kompleksitas isi Piagam Madinah, istilah masyarakat madani dan sejarah kerasulan/kenabian Muhammad secara mendetil. Proyeksi utama dari bahasan ini menyangkut “tafsir” sosio-teologis atas ceramah Emha Ainun Najib (Cak Nun) di GOR Turide Mataram tentang istilah “Serambi Madinah” dalam hubungannya dengan prospek ke-NTB-an kita.

Serambi Partisipasi dari Bawah
“Serambi Madinah” merupakan sebuah asosiasi “nama lain” bagi NTB yang, tentunya, memiliki konsekuensi tafsir yang multidimensional. Sebagai sosok budayawan berpengetahuan luas, Cak Nun, tentu saja, berupaya meneropong warna “khas” dan citarasa lokalitas NTB dalam pembacaan yang berurat-akar pada sosio-historis-teologis yang melatarbelakanginya. Klaim NTB sebagai “Serambi Madinah” mengejawantahkan sebuah impresi mendalam yang mengisyaratkan “kentalnya” warna agama (baca: islam) di NTB jika dibanding wilayah-wilayah lain di Indonesia.
Pembacaan sosio-teologis oleh sosok yang juga dikenal dengan sebutan Kyai Mbeling ini tidak berarti bahwa NTB, seperti halnya Aceh, merupakan daerah yang “harus” berdiri sebagai “kota agama” dengan sekian aturan-aturan syari’at yang mengaturnya. Jika merujuk pada akar sejarahnya di masa Periode Madinah, secara (tafsir) hermeneutis, “Serambi Madinah” bermakna metaphor yang merujuk pada retrospeksi sebuah kebudayaan dan peradaban kota maju di masa Rasulullah  dengan mengamini kearifan-kearifan local “yang di sini” dan “kini” (baca: NTB). Apa artinya?
Pembacaan terjauh dari apa yang diungkapkan Cak Nun, pada dasarnya, menguliti agama dalam pembalikan makna yang bukan ditujukan pada “hanya” agama itu sendiri. Akan tetapi, ia mengelaborasi sekaligus memproblematisasi istilah “Serambi Madinah” dalam cangkang (politik) identitas kebudayaan local NTB yang harus segera bergerak dan bergegas menjadi sebuah kekuatan budaya yang akarnya terletak pada perluasan partisipasi dan kreasi publik.
Ketimbang bicara deliberasi partisipasi publik secara khusus, apa yang kita tangkap sejauh ini, pembacaan umum tentang masyarakat madani dan atau Piagam Madinah lebih banyak dielaborasi pada wilayah Negara sebagai lokus tata Negara modern lengkap dengan dinamika semangat pluralisme, toleransi dan penegakan hak asasi manusia yang jangkauannya terkesan “elitis”.
Dengan demikian, ungkapan Cak Nun dalam ceramah tersebut, merupakan upaya pribumisasi “Serambi Madinah” dalam artiannya yang “merakyat”. Sebagai contoh, masyarakat keturunan jawa yang menjadi warga NTB, menurutnya, adalah kaum muhajirin” di Madinah pada zaman Rasul. Bahkan, masyarakat jawa yang sudah menetap di NTB dihimbau untuk turut bersama-sama membangun NTB. Begitupun warga keturunan NTB yang menjadi penduduk daerah-daerah lain juga menjadi sama persisnya. Konkretnya, di mana bumi dipijak, disitu langit dijunjung.
Makna deliberasi partisipasi publik menjadi konsekuensi logis yang paling faktual sebagai prasyarat membangun ruh “Serambi Madinah” tersebut. Kontestasi ruang publik masyarakat madani, dalam terjemahan epistemologi-metapolitik –opini penulis Tangan Berjabat, Bekerja dan Berbuat Bersama Rakyat: Sebuah Epistemologi Metapolitik BMD NTB di Lombok Post 22-23 Desember 2012— adalah “serambi” bagi Yang Politis (The Political). Di mana, “yang Politis” merupakan cakrawala kolektivitas emansipasi yang disandarkan pada multiple identity (identitas yang beragam) –dalam hal ini NTB sebagai yang bersatu dalam kemajemukan—  untuk bertindak, bergerak dan berbuat “melampui” yang tak mungkin dalam politik sehari-hari.
Keberadaan suku Jawa dan suku lainnya sebagai “muhajirin” dalam langgam partisipasi publik di NTB mutlak mensinergikan diri dalam “penyatuan” (politik) identitas kebudayaan untuk menjadi “yang politis”. Artinya, sikap penyatuan “yang politis” ini tidak berarti menolak perbedaan, tidak pula tidak saling menghargai dan bertoleransi. Alih-alih, ia merupakan kredo ideologis yang mendorong secara penuh perluasan partisipasi dari bawah (masyarakat) untuk menegakkan dan membangun prinsip-prinsip madaniyah bagi NTB secara bersama.
Keberagaman dalam konteks “Serambi Madinah” tidak sebatas penghargaan terhadap perbedaan etnis, agama dan sebagainya. Melampui apa yang dimaksud Cak Nun, ia menuntut deliberasi demokrasi –mengikuti fisuf Jerman, Jurgen Habermas— yang artinya membuka ruang publik partisipatif dan tindakan komunikasi rasional (theory of communicative action) antar warga dan pemerintah untuk menuangkan kreasi wacana yang beragam sebagai wadah (serambi) yang menampung dan memantik terciptanya kebijakan-kebijakan yang pro-masyarakat di kemudian hari.
Dasar sosio-teologis deliberasi demokrasi dan relevansinya dengan “citra” Serambi Madinah ini sudah berakar kuat pada fakta-fakta NTB –khususnya Lombok— sebagai Pulau Seribu Masjid. Sejarah kedatangan Rasulullah di Madinah ditandai pertama kali dengan pembangunan masjid. Masjid, selain sebagai tempat sholat/ibadah, menjadi ruang paling penting tempat berlangsungnya partisipasi ruang publik yang signifikan bagi peradaban Madinah ketika itu. Dengan demikian, momentum NTB untuk menjadi yang “setara” paradaban Kota Madinah menjadi hal yang sangat mungkin terjadi seperti bayangan Cak Nun sejauh ia “sejalan” dengan prinsip-prinsip masyarakat madani itu sendiri.
Bayangan nostalgis-utopis pria asal Jombang tersebut bisa menjadi “ruh” yang menyemangati munculnya kesadaran baru masyarakat NTB bersama-sama berpartisipasi secara kritis-emansipatif untuk menegaskan “jati diri” kebudayaan kita yang khas. Dan, momentum menjelang peringatan Hari Besar Maulid Nabi Muhammad SAW menjadi ruang refleksi prospektif yang tepat bagi kita semua. Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Selamat Hari Maulid Nabi 1434 Hijriyah.

*Astar Hadi adalah Ketua LITBANG DPD BMD (Barisan Massa Demokrat) NTB dan Pendiri/Penanggung Jawab Jurnal Madzhab Djaeng (for Multicultural Studies & Social Sciences) Malang.

**Dimuat di Lombok Post, Selasa, 22 Januari 2013

No comments:

Post a Comment