Tuesday, September 7, 2010
Dia, dia, aku
bacalah... !!!
Tuhan menyongsong jiwa
nmenyentuh raga
melalui ayat-ayat-Nya
sebagai jaminan atas Asma;Nya
tapi gelisahku selalu bertanya,
pikir dan hatiku selalu meminta,
akan jejak Ada-nya,
akan jejak Cinta-nya,
di dunia
ku bertasbih pada-Nya
untuk Kesucian-nya
ku bertahmid pada-Nya
untuk puja-puji Kecantikan-nya
ku berdo'an pada-Nya untuk-nya
semoga Dia, dia, aku, bisa bersama selamanya
tuk seseorang di Tulungagung sana
Lombok, 6 September2010, 02.00 WITA
Monday, August 16, 2010
Menimbang “Wajah” Demokrasi Maluku Utara (Resensi Buku)
Monday, August 9, 2010
Doa-Ku untuk yg Dhuafa
Tuhan pun menangis...
mengiba-iba, berdoa...
kepada diri-Nya...
wahai, Diri-Ku...
Aku persembahkan do-Ku untuk mu..
yg selalu bahagia
yg selalu bersahaja
yg selalu tertawa
engkau tanam asa...
engkau tabur cinta...
untuk-Ku Yang serba Maha
untuk-Ku yang Bisa Apa Saja
Padahal Aku si Raja Tega
gak bisa merubahmu jadi kaya
hanya bisa melihatmu papa
Aku hanya diam seribu bahasa
Engkaulah sang manusia..
sebenar-benarnya manusia
yang Ku cipta tidak sempurna
hanya untuk memuja
dari balik gubuk derita
reot, ringkih, tidak tertata
sempit, sumpek, tidak merata
kecil, bodoh, buruk rupa
terima kasih rakyat jelata
engkau selalu melihat-Ku Ada
untuk-Mu aku berdo'a
Titik Balik-Mu...
dua minggu terakhir (nishfu sya'ban), bahkan mungkin lebih dari itu, masa-masa di mana aku merasa sangat bersedih, marah, kecewa, bersalah, khilaf, dan entah masih banyak keburukan yang lain.. aku telah melakukan ksalahan2, kebodohan2 yang, entahlah, oleh karena ego, rasa sombong, emosi, telah menjerumuskan aku dalam akibat yang nyaris --kalau bukan sejatinya-- membuatku tidak bisa memaafkan diriku sendiri...
sikap, prilaku, kata-kata, yang seharusnya tidak pantas aku ucapin, tidak layak aku lakukan, kini menyerang balik jiwaku, jasadku. aku merasa takut, sedih, rapuh, kehilangan semangat. "tindakanku" telah meninggalkan "jejaknya".. jejak dari langkah kaki yang buruk, jejak dari mulut yang kotor, jejak dari prilaku yang tidak baik...
ya Alloh, terima kasih atas rasa takut ini, atas kesedihan ini, atas kerapuhan ini dan atas "matinya" semnagatku ini... aku meminta ampun-Mu, belas kasih, rahmat, barkah dan magfiroh-Mu atas "hukuman" ini... terima kasihku juga, karena melalui orang lain juga, Engkau telah "menghukumku" di dunia-Mu ini...
jika saja "hukuman" ini adalah yang terbaik untukku, berikanlah aku jawab-Mu yang terbaik pula untukku..
kini, menjelang ramadhan tiba, di saat di mana aku di tahun-tahun sebelumnya merasa bahagia menyambutnya, justru, kedalaman dan kekhusyukan itu terasa hilang oleh karena dosa-dosaku pada-Mu dan makhluk2-Mu dan terutama pada seorang manusia ciptaan-Mu... aku telah sangat menyesal, bersedih, tidak tenang, tidak ceria, aku kehilangan diri, aku telah melupakan nikmat berpuasa-Mu itu.
dari hati terdalam, aku memohon jawab-Mu, memberikan aku nikmat setitik rahmat bahagia dan ketenangan-Mu agar aku bisa menempuh ramadhan 1431 H ini dengan rasa syukur dan ikhlas mencintai-Mu.. moga sibghoh lailatul qadar-Mu menjadi titik balik untukku dan untuk manusia lainnya ke depan... Amin ya Alloh ya Robb al-'alamin.
MARHABAN YA RAMADHAN
Malang, 8 Agustus 2010, menjelang shubuh, 04.53 WIB
Puisi Cinta BJ. Habibi buat (Alm.) Ibu Ainun
Bukan itu.
Karena, aku tahu bahwa semua yang ada
pasti menjadi tiada pada akhirnya.
Dan kematian adalah sesuatu yang pasti.
Dan kali ini adalah giliranmu untuk pergi,
aku sangat tahu itu..
Tapi yang membuatku tersentak
sedemikian hebat,
adalah kenyataan bahwa kematian benar-benar
dapat memutuskan kebahagiaan dalam diri seseorang sekejap saja,
lalu rasanya mampu membuatku menjadi nelangsa setengah mati,
hatiku seperti tak ditempatnya,
dan tubuhku serasa melompog, hilang isi.
Kau tahu sayang, rasanya seperti angin
yang tiba tiba hilang berganti kemarau gersang
Pada kesetiaan yang telah kau ukir,
pada kenangan pahit manis selama kau ada
Aku bukan hendak mengeluh,
tapi rasanya terlalu sebentar kau disini.
Mereka mengira aku lah kekasih yang baik
bagimu sayang.
tanpa mereka sadari, bahwa kaulah yg menjadikan aku
kekasih yang baik.
mana mungkin aku setia
padahal kecenderunganku adalah mendua.
Tapi kau ajarkan aku kesetiaan, sehingga aku setia.
Kau ajarkan aku arti cinta,
sehingga aku mampu mencintaimu seperti ini.
Selamat jalan
Kau dari-Nya dan kembali pada-Nya
Kau dulu tiada untukku dan sekarang kembali tiada
Selamat jalan sayang
Cahaya mataku,, Penyejuk jiwaku
Selamat jalan
Calon bidadari surgaku...
By: BJ. HABIBIE
Sunday, June 27, 2010
Warna "Islam" di Putaran II Loteng
Friday, June 4, 2010
Wajah Buram Media Sebagai Alat Pemenangan Pilkada
Oleh: Astar Hadi**
Hiruk-pikuk Pemilihan Kepala Daerah (Pemilu Kada) di Kalimantan Tengah (Kalteng) yang menggelar pemilihan Gubernur (Pigub) dan sejumlah Pemilihan Bupati (Pilbup) secara serentak mulai memperlihatkan antusiasme dan partisipasi
Tidak ketinggalan, media massa, sebagai salah satu sumber “kampanye” dan informasi penting pilkada bagi calon dan masyarakat, tidak kalah “garang” mengejar liputan-liputan pesta demokrasi di Daerah ini. Di samping merupakan momentum adu jualan janji politik, berita Pilkada sekaligus ajang “bisnis” informasi cukup laris bagi media dan para penikmatnya. Bisa dipastikan, arus lalu-lintas informasi dalam “pasar” media, khususnya di Kalteng, mengacu pada kondisi ini.
Gelar pesta rakyat yang rencananya berlangsung pada 5 Juni 2010 mendatang mengisyaratkan kuatnya pertarungan opini, prediksi-prediksi, isu jual beli suara (money politic), kemungkinan kampanye-kampanye hitam (black campaign) yang dialamatkan pada calon-calon tertentu. Fenomena ini adalah hal “lumrah” yang hampir selalu terjadi tiap kali Pilkada berlangsung.
Dalam konteks media, warna-warni demokrasi prosedural tersebut tentunya menjadi “barang dagangan” yang, di satu sisi, bertujuan memberikan informasi “apa adanya” terkait konstruk sosial-politik yang terjadi di suatu Daerah, sekaligus sebagai ajang penyadaran politik masyarakat untuk menilai mana layak dipilih atau tidak. Di sisi lain, dinamika politik semacam ini berkorelasi positif dengan logika bisnis media yang, pada titik tertentu, menguntungkan secara finansial. Rating, sebagai salah satu tolak ukur utama dalam keberlangsungan (survive) bisnis ini, meletakkan intensitas tinggi-rendahnya jumlah pembaca sebagai keniscayaan mutlak. Semakin tinggi minat pembaca semakin tinggi pula jumlah pemasang iklan di media tersebut.
Artinya, dominasi berita-berita politik –dalam hal ini Pilkada— memiliki pengaruh yang sangat signifikan bagi semakin tingginya pemasang iklan dan meningkatnya jumlah pembaca mengingat tingkat kedekatan (proximity) antara calon, isu-isu dan fakta-fakta yang diangkat bersifat faktual dan bersentuhan secara langsung dengan sasaran media.
Bak cendawan di musim penghujan, semakin merajalelanya bisnis media sebagai akibat laju teknologi informasi yang supercepat telah menjadi tempat pertarungan wacana dan opini publik yang paling berpengaruh dalam mengkonstruksi pikiran publik. Kasus Bank Century merupakan contoh paling kentara betapa media mampu menciptakan “realitas” politik yang mempengaruhi desain otak khalayak untuk mengikuti ke mana arah “pikiran” media itu. Media, dengan demikian, adalah mesin budaya baru yang memproduksi dan mengkonstruk “ideologi” masyarakat.
Media, tidak saja berfungsi informasi, tontonan atau hiburan semata, akan tetapi ia telah menjadi “kehidupan” yang mengatur hampir segala aspek keseharian, mulai dari urusan “baju apa yang harus saya pakai,” “jodoh yang pas buat saya” sampai pada persoalan “siapakah kandidat pemimpin yang harus saya pilih!”
Pun demikian, otonomi media massa sepertinya telah menjadi lokus sekaligus fokus “kesadaran budaya” manusia Indonesia untuk memintal harapan, optimisme, akan proyeksi hidup ke depan yang lebih baik. Melalui media pula, kita bisa melihat keputusasaan, pesimisme, tentang benang kusut kehidupan yang diporak-porandakan oleh persoalan ekonomi, sosial dan politik, yang semakin hari, semakin tidak menentu.
Sekian banyak peristiwa kelam, mulai dari pemiskinan sistemik yang dialami seorang bayi tak berdosa di Surabaya, degradasi sosial kapital oleh karena “premanisme” Negara terhadap hak (bertahan) hidup masyarakat kecil yang diambil atas nama “pembangunan” mercusuar ekonomi, sampai pada persoalan imagologi (pencitraan) kampanye politik yang aduhai dengan bumbu-bumbu “kecap selalu nomer 1”, menjadi hal biasa yang kita dengar dan tonton.
Pada posisi ini, media telah “berhasil” membangun kritisisme dan antusiasme partisipatif masyarakat dalam melihat gejala-gejala pembusukan politik (political decay) yang sering kita temukan dalam setiap adegan politik di tingkat Nasional dan Daerah.
Mewaspadai Pers dalam Pilkada
Akan tetapi, gejala semakin sengitnya pertarungan bisnis media akhir-akhir ini tidak melulu soal iklan, logika rating dan bagaimana meraih pembaca sebanyak-banyaknya.
Media sebagai arena pertarungan dan pendominasian wacana, dimana, antara kekuatan sosial-politik yang ada saling mempengaruhi, saling berlomba untuk mempengaruhi pendapat publik guna pemenangan suara pada pemilu. Dalam hal ini, media cetak dilihat sebagai perpanjangan tangan kekutaan politik tersebut.
Kepentingan media yang kongkalikong dengan kandidat tertentu dalam Pilkada sangat mungkin terjadi. Indikasi ini, menurut hemat penulis, memenuhi beberapa unsur yang menjurus pada praktik-praktik pemenangan kandidat di salah satu Daerah di Kalteng. Strategi penguasaan opini dilakukan melalui rekayasa sistemik media setempat yang secara implisit tergambar dalam pemberitaannya. Media bersekongkol dengan elit kepentingan untuk, meminjam istilah Noam Chomsky –kritikus media dari Amerika Serikat, mengontrol pikiran publik (control the public mind). Media mengontrol apa yang dirasakan, dipikirkan dan yang disikapi publik agar tetap berpihak terhadap tokoh politik tertentu.
Media Pemenangan
Belum lama ini, sebuah media cetak di Kalteng, entah disengaja atau tidak, telah melakukan “kecerobohan” prinsipil dalam pemberitaannya. Jika ditilik dari teori analisis teks media, terdapat kejanggalan yang sangat mencolok dan menyalahi “aturan main” logis sebuah pemberitaan.
Disebutkan dalam judul besar Koran tersebut bahwa, “Pemilukada, Bupati Imbau Pilih yang Berkualitas.” Anehnya, justru gambar/foto yang ditampilkan menunjuk pada seorang calon yang akan bertarung di pilkada lengkap dengan gambar partai pengusungnya. Tagline yang menjelaskan arti gambar tertulis, “salah satu baliho bacalon bupati yang terpasang di sudut jalan.” Dalam isi berita juga terdapat kalimat yang mengatakan, “kita ini Negara demokrasi, sudah sewajarnya kalau pilihan kita belum tentu sama dengan yang lainnya. Namun saya berharap masyarakat cerdas dalam memilih pemimpin yang akan datang.”
Aristoteles, filsuf besar Yunani, secara sederhana menjelaskan bahwa hakikat kebenaran mengandung unsur logika yang kuat. Dalam contradictio interminis-nya, Aristoteles menegaskan bahwa tidak ada kebenaran dalam dua unsur yang berseberangan, kontradiktif dan tidak memiliki ikatan/hubungan logis. Tidak mungkin sebuah pernyataan A berarti B, begitupun sebaliknya. Sebagai contoh: “di luar terjadi hujan, maka hukum logisnya berarti di luar basah. Jika ada pernyataan yang menyatakan bahwa di luar kering, berarti tidak benar dan tidak logis.” Jadi, hubungan antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya dianggap benar jika keduanya memiliki hubungan logika yang kuat dan tidak saling menafikan
Jika ditilik dari teori analisis teks media, contradictio interminis Aristoteles tersebut inheren dengan terjadinya pengarahan opini/pikiran pembaca untuk mencoblos salah satu calon. Dalam framing (pembingkaian) teks media, beberapa unsur terkait teknik pembingkaian (framing), teknik pengemasan fakta, penggambaran fakta, pengambilan sudut pandang (angle), pemunculan gambar/foto yang dilakukan surat kabar tersebut mengokohkan adanya kemungkinan “koalisi” mutualis antara sumber berita dan media penyampaian pesan tentang isi berita yang dimunculkan.
Yang aneh, pemunculan antara isi berita yang bertujuan mengajak masyarakat menjadi pemilih cerdas dan demokratis dengan gambar yang ditampilkan secara implisit merupakan bentuk pemihakan dan pengarahan terhadap seorang kandidat yang kebetulan terdapat dalam gambar tersebut. Sementara wajah sumber berita yang menyampaikan pesan tersebut justru tidak ada. Di sini, antara esensi berita dan gambar yang ditampilkannya selain tidak perlu, tidak pula ada keajegan (keserasian) makna secara prinsipil. Mengapa bukan wajah sumber berita yang dipampang? Mengapa justru wajah Kandidat dan Parpol pengusungnya yang ada? Masyarakat akan bertanya ada apa dibalik semua ini?
Tidak layak sebuah pesan yang berisi ajakan memilih dengan hati, tetapi dibarengi “pengarahan” yang secara tidak langsung mengajak khalayak untuk memilih kandidat yang ada di foto/gambar tersebut. Seharusnya, wajah sumber berita yang sekaligus pemangku pendapat (opinion leader) justru lebih tepat untuk dimunculkan disamping karena koheren dengan isi berita, juga berpengaruh positif dan signifikan dalam mengkonstruk pikiran pembaca.
Tapi akan berbeda maknanya jika pajangan semua wajah kadidat yang dimunculkan. Selain memenuhi asas keberimbangan, esensi dari judul berita yang bersifat mengajak itu lebih match dan memenuhi unsur kebenaran logisnya. Dalam konteks ini, tentu saja independensi media lebih terlihat.
Mana mungkin akan tercipta pilkada yang demokratis, bebas, rahasia, jujur dan adil (jurdil), jika yang dimaksud “pemilih cerdas yang memilih pemimpin berkualitas” justru dengan cara-cara yang tidak demokratis. Adalah sebuah ironisme kebebasan pers manakala mencederai kebebasan masyarakat untuk memilih sesuka hatinya melalui pengaburan fakta-fakta demi kepentingan politik elit tertentu.
Pemilihan judul berita, pemilihan
**Astar Hadi adalah Peniliti pada INDOMATRIK (Lembaga Survei Opini Publik & Kebijakan),
Memimpin dengan Hati
Oleh: Astar Hadi
“Jika saja akhir dari kehidupan di depanku, dalam hitungan
Kata-kata indah lagi bijak yang diucapkan oleh Sayyidina Ali di atas menggambarkan sosok seorang bapak yang welas-asih, seorang bapak yang selalu tertanam dalam jiwanya sebuah bayangan optimis masa depan, seorang bapak yang selalu sabar menjalani hidup, seorang bapak yang istiqomah atau berpegang teguh pada nilai-nilai kehidupan yang bertujuan menciptakan perubahan yang lebih baik, seorang bapak yang berjiwa amanah dalam menggenggam prinsip kepemimpinan, bahwa hidup adalah secercah kesempatan untuk berbuat dan bergerak bagi kepentingan dan kemaslahatan kehidupan manusia.
Wejangan dari salah seorang Sahabat terdekat Nabi Muhammad SAW ini memang singkat, tapi mengandung makna yang sangat luar biasa dan penuh inspirasi. Ibarat air yang mengalir di setiap hulu dan hilir sungai, cipratan pesannya meneteskan sebuah daya, sebuah semangat dan sebuah rasa cinta dari hati yang selalu ingin menyirami, mengaliri dan membasahi berjuta kehidupan di depannya.
Dalam diri setiap manusia telah dianugerahi Alloh SWT hati, otak dan tubuh yang sempurna. Dengannya kita diberkahi bekal berharga untuk menanam, mengolah, benih “biji kurma”, “biji padi”, “biji sawit”, dalam setiap hitungan “lima belas kaki”, dalam setiap petak lahan/ladang, dalam setiap jantung desa dan kota, dan dalam setiap denyut nadi kehidupan yang ada di sekitarnya. Inilah sebuah gambaran jiwa pemimpin sejati yang bisa mewujud dalam setiap pribadi, setiap keluarga, setiap tempat, setia[ pemerinthan dan dalam setiap kesempatan.
“Sesungguhnya dalam diri Rasulullah SAW terdapat teladan yang baik” (Al-Hadits). Dalam diri Nabi Muhammad SAW telah tertanam jiwa seorang pemimpin sejati, baik sebagai pribadi maupun sebagai pemimpin ummat. Beliau adalah pemimpin yang mampu menyatukan semua golongan, merangkul setiap pribadi, menanamkan etos kerja, tidak membeda-bedakan suku, mentoleransi hak-hak setiap keyakinan (agama) untuk hidup dan bermasyarakat. Karena keberhasilan kepemimpinan beliau pula, cikal-bakal (istilah) masyarakat madani menjadi idaman setiap desa,
Tongkat estafet kepemimpinan itu berlanjut pada pribadi-pribadi Khulafa’urrasyidin, Abu Bakar, Umar Bin Khattab, Utsman Bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib. Keempat sahabat Nabi SAW ini merupakan sosok pemimpin yang sabar, adil, hasanah, amanah, tawaddu’, dan istiqomah, dalam mengayomi dan melayani kesejahteraan rakyatnya.
Berbuat untuk Semua
Merenungkan kembali ucapan Ali Bin Abi Thalib di atas, setidaknya, tersirat tiga sikap yang seharusnya dimiliki seorang pemimpin. Pertama, pemimpin yang istiqomah atau berkomitmen terhadap masa depan. “Di akhir kehidupan di depanku, dalam hitungan
Kedua, pemimpin yang melayani dan atau perhatian terhadap masa depan rakyat. Alloh berfirman, “wa tawashau bilhaq watawashau bis shobri”, selalu saling mengingatkan dalam kebaikan (kebenaran) dan kesabaran. Merujuk pada kalimat Ali selanjutnya, “sedang aku masih memiliki kesempatan sekadar menanam biji kurma untuk masa depan anak-anakku,” adalah sikap hati yang lebih mengutamakan kepentingan masyarakat atas kepentingan diri sendiri. Antara isi ayat dan petuah putra Abu Thalib ini, mewartakan kedewasaan, jiwa kepemimpinan, yang hendak menggugah relung keasadaran terdalam calon pemimpin untuk senantiasa memberi ruang dan membuka peluang –bukan janji palsu— bagi anak-anaknya (baca: masyarakat) untuk mengairi sawah atau ladangnya, mengepulkan asap dapurnya, sehingga tidak ada lagi cerita miris tentang banyak maling kelas teri yang divonis secara tidak adil karena kemiskinan dan pemiskinan.
Ketiga, pemimpin yang terus bergerak dan berbuat untuk kemaslahatan. “Maka aku pun akan menanamnya sehingga kehidupan itu pun menghampiriku.” Mutlak dibutuhkan sebuah kualitas pribadi yang tidak cukup “sekadar” memperhatikan, memberi ruang dan membuka peluang. Lebih dari itu, terpatri sesosok diri berkarakter yang bisa menjadi magnet, menarik, mengajak, menanamkan benih-benih kesadaran yang jadi senjata picu bagi masyarakat untuk berlomba-lomba menjaga harmonisme bermasyarakat, bekerja, berbuat untuk kemaslahatan. Rasulullah bersabda, “khoirunas anfa’uhum linnas,” sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat buat manusia lainnya. Arti penting seorang pemimpin manakala ia tidak pernah berhenti untuk menanam, menyemai, menyirami, mengaliri secara terus-menerus dunianya, rakyatnya, sehingga mendarahdaging, menyatu, dalam hati, benak dan pikiran tiap orang yang dipimpinnya. Dengan demikian, seorang bapak yang baik adalah bapak yang selalu mengayomi, melayani, melindungi, selalu bergerak dan berbuat agar benih-benih tanaman kemakmuran tersemai bagi anak-anaknya hingga kehidupan selalu terjaga. Dan, pada akhirnya, semoga saja di Pilkada kali ini, kita menemukan sosok pemimpin Daerah yang memiliki “kesanggupan” dan komitmen kuat untuk menanam dan mengolah “biji kurma” itu agar semai kesejahteraan bisa terwujud di bumi Nusa Tenggara Barat ini. Wallahu A’lam Bis Shawab.
*Astar Hadi adalah alumni Ponpes Nurul Hakim, Kediri, Lobar, dan Penanggung Jawab Jurnal Madzhab Djaeng (for Multicultural Studies & Social Sciences),