Tuesday, March 27, 2007

BURUH DALAM ARUS KEBIJAKAN EKONOMI-POLITIK NEOLIBERALISME DI INDONESIA
(Analisis terhadap Revisi Undang-Undang No. 13/2003 tentang Ketanagakerjaan)
Oleh: Astar Hadi*

Pendahuluan
Gelombang demonstrasi komunitas buruh (pekerja) beberapa waktu lalu yang menolak draf revisi UU No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan merupakan titik balik gerakan buruh di Indonesia. Gerakan buruh di Indonesia menemukan spirit resistensi-sosialnya untuk memperjuangkan kesejahteraan sosial-ekonomi yang selama ini masih dalam imajinasi karena kebijakan politik upah murah pemerintah.
Namun beberapa pegiat perburuhan dan pemerhati fenomena gerakan sosial memiliki perspektif pemikiran yang berbeda dalam memandang semakin meluasnya protes dan resistensi kolektif komunitas buruh di Indonesia. Beberapa anggapan tersebut antara lain:
Pertama, gerakan buruh di Indonesia masih memiliki kelemahan secara "ideologis". Gerakan buruh di Indonesia bukan gerakan transformatif yang berani membongkar struktur kekuasaan yang pro modal dan pasar. Gerakan buruh di Indonesia masih berkutat pada watak "ekonomisme", yakni berjuang untuk upah dan kesejahteraan ekonomi an sich.
Kedua, gerakan buruh di Indonesia belum memiliki kekuatan organisasi persatuan yang mampu mewadahi aspirasi dan kepentingan kaum buruh secara makro. Semisal Front Persatuan Buruh atau bahkan partai politik kaum buruh yang memiliki keterwakilan politik di parlemen.
Ketiga, gerakan buruh di Indonesia belum menyatu dalam aktivisme politik pergerakan buruh. Belum bersama-sama berjuang dalam agenda edukasi politik buruh dan advokasi sosial kaum buruh.
Gerakan buruh di Indonesia mayoritas masih didominasi oleh kalangan pekerja (buruh) kelas "kerah biru" yang bekerja di sektor industri manufaktur dan industri hilir. Mereka kebanyakan sekarang ini berstatus buruh kontrak yang tidak memiliki posisi tawar yang kuat di hadapan pemilik modal dan kebijakan ekonomi-politik negara.
Nasib kaum buruh di Indonesia sekarang ini memang semakin mengalami proses pemiskinan dan semakin "tercerabut" hak sosial-ekonomi dan hak sipil-politiknya. Rencana Revisi UU No 13 tahun 2003 memiliki motivasi ekonomis-politik, untuk meliberalisasikan sektor perburuhan dan melemahkan posisi tawar politik komunitas buruh di Indonesia.
Standar kesejahteraan hidup para buruh di Indonesia juga semakin melemah karena himpitan dampak kebijakan ekonomi pemerintah yang berwatak neo-liberalisme. Kebijakan kenaikan harga BBM per 1 Oktober 2005 sampai 180 % telah membuat banyak buruh kehilangan pekerjaan. Para buruh yang masih bekerja terpaksa semakin mengencangkan "ikat pinggang"-nya karena upah yang mereka terima (UMR/UMK/UMP) jauh dari standar kebutuhan hidup layak (KHL) dan tidak bisa mengimbangi laju kenaikan harga berbagai produk dan barang kebutuhan pokok.
Kemiskinan struktural yang dialami kaum buruh di Indonesia -saat ini ada 120 juta orang buruh, 65 % adalah perempuan, 70 % bekerja disektor industri dan berkategori "pekerja kerah biru"- sebenarnya merupakan basis material bagi penguatan organisasi dan gerakan buruh di Indonesia.
Namun sayangnya berbagai pegiat gerakan buruh -serikat buruh, partai buruh "gurem", LSM perburuhan- belum memiliki kesadaran unifikasi gerakan. Yakni kerelaan membangun front persatuan kaum buruh untuk memperjuangkan agenda, kepentingan, aspirasi kaum buruh.
Watak sektarianisme gerakan buruh juga terasa dalam berbagai basis sektoral organisasi perburuhan. Lapisan buruh "kerah putih" yang bekerja di sektor jasa dan industri yang berpenghasilan tinggi biasanya tidak memiliki solidaritas sosial untuk bersama komunitas buruh memperjuangkan kepentingan autentik kaum buruh.
Ada prasyarat politik bagi gerakan buruh di Indonesia, jika ingin berhasil memperjuangkan kepentingan kolektif kaum buruh. Gerakan buruh di Indonesia memerlukan reorientasi strategis dan "ideologis", yakni harus menggali keyakinan teori dan basis pijakan ideologi yang tepat untuk bisa membangkitkan kesadaran "kelas" dan politisi komunitas buruh.
Saat ini ada beberapa serikat buruh yang kuat secara basis keanggotaan seperti FSPSI, SPN, PGRI dan sebagainya. Serikat buruh tersebut tidak memiliki kekuatan ideologis dan tidak memiliki program ekonomi-politik untuk menghadapi laju kebijakan neo-liberalisme pemerintah.
Ironisnya, konon peringatan Hari Buruh 1 Mei 2006 hari ini tidak diikuti SPN dan FSPSI bersama 8 organisasi buruh yang tergabung dalam Kongres Pekerja Nasional. Jika benar demikian, maka ini menggambarkan bahwa gerakan buruh di Indonesia mengalami pemiskinan ideologi. Berbeda kasusnya dengan gerakan buruh di Korea Selatan, Perancis dan beberapa negara Amerika Latin yang memiliki basis iIdeologi strukturalis yang secara hakikat berjuang untuk merombak paradigma kekuasaan dari pro kepentingan modal (pasar) menjadi memihak kepentingan buruh.
Langkah implementatif dari reorientasi ideologis dan strategis gerakan buruh perlu dilakukan. Dengan demikian gerakan buruh bisa menjadi inti dari kekuatan civil society dan proses perubahan sosial. Beberapa langkah itu, pertama, gerakan buruh di Indonesia harus keluar dari watak ekonomisme. Gerakan buruh adalah gerakan politik untuk mengubah kebijakan negara. Untuk itu perlu membangun partai alternatif yang siap merebut posisi keterwakilan di parlemen.
Dengan memiliki keterwakilan di parlemen kaum buruh bisa mendorong terciptanya produk hukum dan perundang-undangan yang memihak kepentingan kaum buruh. Kedua, gerakan buruh di Indonesia harus mampu membangun Front Persatuan (United Front) bersama komunitas terpinggirkan yang lain, seperti komunitas petani, nelayan, mahasiswa, pers untuk membangun blok demokrasi dengan program-program perjuangan ekonomi dan politik menolak arus neoliberalisme.
Ketiga, gerakan buruh di Indonesia bukanlah gerakan mantelisme politik, yakni menjadi sayap atau alat kepentingan elite politik atau partai politik. Namun menjadi kekuatan yang mandiri sebagai pressure group untuk memperjuangkan demokrasi dan kepentingan substansial kaum buruh.
Kita tegaskan, gerakan buruh di Indonesia adalah gerakan yang memiliki basis dukungan dari komunitas, bukan gerakan akar jenggot yang tidak memiliki keanggotaaan komunitas pekerja.
Rumusan Masalah
Kontroversi UU No. 13/2003 yang sempat menjadi polemik beberapa waktu yang lalu memunculkan sejumlah pertanyaan tentang relavan tidaknya UU tersebut diberlakukan di Indonesia. Sementara kalangan berpendapat, ada indikasi yang cukup besar mengenai kecenderungan pemerintah “membela” kelompok pengusaha –pengusaha kelas atas— dalam rangka menciptakan iklim investasi asing yang kondusif di Indonesia dengan serta-merta mereduksi peran buruh pada posisi yang semakin terpinggirkan. Logika ini juga tidak lepas gejala kuat yang mendorong pasar Indonesia ke dalam program neoliberalisme cs kebijakan pro-pasar (market-friendly policy) sebagai wilayah kebijakan ekonomi-politik rezim Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dewasa ini.
Lantas, permasalahan yang kemudian muncul apakah dengan Revisi UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut, mampu memberikan kesejahteraan ekonomi bagi rakyat atau justeru semakin menyebabkan bangsa kita semakin terpuruk dan bergantung secara ekonomi terhadap bangsa lain –Amerika Serikat— yang sudah maju?
Tinjauan Teoritik
1. Membaca Neoliberalisme
Menurut pendukung pendekatan liberal neo-klasik (yang sejak 1980-an dikenal juga dengan nama “neo-liberalisme”), isu pokok yang ditangani ilmu ekonomi adalah bagaimana menciptakan atau meningkatkan kekayaan atau kemakmuran materiil. Karena itu, pembangunan ekonomi adalah upaya akumulasi kapital; yang keberhasilannya diukur dengan produk nasional bruto tahunan. Dalam proses itu, semua yang membantu akumulasi kapital harus digalakkan; yang tidak membantu dipersilahkan minggir.
Bagaimana cara mencapai tujuan itu? Proses akumulasi kapital itu diorganisasikan melalui mekanisme transaksi atau pertukaran dalam pasar. Dengan demikian, ilmu ekonomi berkembang menjadi ilmu pertukaran. Yang menjadi pusat perhatian adalah kegiatan produktif yang melalui transaksi pasar, sedangkan yang tidak melalui transaksi pasar tidak dianggap penting. Akibatnya, hasil kerja petani yang menanam padi untuk dikonsumsi sendiri tidak dicatat sebagai kegiatan ekonomi, dan tidak termasuk dalam perhitungan produk domestik bruto, karena tidak melibatkan transaksi pasar. Begitu juga, hasil kerja wanita yang produktif dalam menjalankan pekerjaan rumah tangga tidak dihargai dalam perhitungan haril kerja nasional itu karena, sekali lagi, tidak melibatkan transaksi pasar.
Bagaimana karakter metodologi yang dikembangkan dalam ilmu ekonomi liberal? Yang menonjol adalah positivisme dan saintisme. Metodologi ini mendukung cara pandang yang memusat pada persoalan materiil, yang empirik dan kasat-indera; mengutamakan variable yang bisa diukur (“Yang tidak terukur, tidak bisa dianalisis”). Akibatnya, banyak persoalan penting yang bersifat normatif diabaikan. Bahkan pendukung metodologi ini cenderung bersikap netral terhadap nilai-nilai etika dan moral, seperti keadilan. Karena itu, tidak mengherankan kalau persoalan pokok yang dibahas oleh para pembuat kebijakan yang berpikir atas dasar ilmu pengetahuan positivistik itu adalah persoalan bagaimana “memperbesar kue nasional”. Terutama bagaimana meningkatkan kekayaan dan kemakmuran materiil melalui penggalakan transaksi di pasar. Yaitu, akumulasi kapital melalui pasar. Dan ukuran keberhasilannya juga berujud prestasi dalam mendoronf pertumbuhan kapital.
Ideologi yang mendasari ilmu ekonomi liberal itu juga mengajukan asumsi khas tentang hakeket manusia. Yaitu, manusia dipandang semata-mata sebagai “makhluk ekonomi” yang berperilaku seperti “utility-maximizing machine” (mesin yang berfungsi memaksimalkan keuntungan) dan hanya memikirkan kepentingannya sendiri. Manusia dianggap banya akan bergerak kalau kepadanya ditunjukkan “iming-iming” yang sifatnya materiil. Karena itu sering muncul anggapan bahwa asal perutnya kenyang orang akan mudah diatur. Inilah yang mendasari munculnya kebijakan publik yang dalam praktek membanjiri warga masyarakat dengan kepuasan materiil, dengan harapan kepuasan itu akan menimbulkan ketenangan. Yang dilupakan adalah perilaku manusia tidak hanya dituntun oleh rasionalitas, tetapi juga oleh filantrofi, moralitas dan pertimbangan etika. Terakhir, pendekatan liberal neo-klasik itu juga mengembangkan sikap yang khas mengenai organisasi dan lembaga sosial. Seperti sudah tersirat di atas, lembaga sosial yang paling diutamakan adalah pasar, sedangkan organisasi dan lembaga sosial lain dianggap “given”. Yang paling penting adalah mekanisme pasar. Karena itu, mereka yang memiliki modal dan melibatkan diri dalam kegiatan pasar akan menentukan apa yang akan terjadi dalam proses ekonomi.
Apa peran negara? Negara berperan mendefinisikan dan melindungi hak milik dan menciptakan lingkungan yang mendukung bekerjanya pasar. Yang menarik adalah pandangan kaum ekonom liberal mengenai keluarga. Dalam ideologi ini, keluarga (rumah tangga) dipandang sebagai lembaga sosial yang berperan ganda. Pertama, sebagai rumah tangga yang berfungsi sebagai mesin yang diprogram untuk memaksimalkan kepuasan dengan mengkonsumsi barang yang diproduksi secara massal oleh perusahaan (yang juga berperan sebagai mesin yang diprogram untuk memaksimalkan keuntungan). Karena itu tiap hari rumah tangga kita dibombardir dengan iklan yang menawarkan berbagai jenis barang dan jasa yang seringkali tidak jelas manfaatnya. Semakin getol rumah tangga mengkonsumsi barang dan jasa itu, semakin “maju” ekonomi itu, demikian argumennya. Kedua, rumah tangga juga berfungsi sebagai produsen input abstrak yang disebut “tenaga kerja”. Cara menyebut tenaga kerja dengan sebutan “sumberdaya manusia” juga memuat unsur ideologi kapitalistik itu. Istilah ini sebenarnya muncul dalam lingkungan pabrik. Di sana bisa ditemui mesin (sumberdaya fisik) dan manusia yang menanganinya (sumberdaya manusia). Status keduanya pada dasarnya disamakan, yaitu sebagai sumberdaya.
Karena itu upaya memenuhi keperluan buruh seringkali berujud upaya memenuhi kebutuhan manusia sebagai sumberdaya, bukan sebagai manusia utuh. Sebagai sumberdaya, manusia memerlukan ketrampilan, lapangan kerja, upah minimum yang memadai, dan sebagainya. Karena semata-mata dipandang sebagai sumberdaya, bukan sebagai manusia utuh, ia dianggap tidak memerlukan pemenuhan hak sebagai manusia utuh, misalnya hak untuk berserikat dan hak-hak lain demi pengembangan identitas dirinya.
Pembahasan: Revisi UU No. 13/2003: Sebuah Kebijakan Pro Pasar yang Menindas
Fenomena ini merupakan sebuah peristiwa yang berhubungan erat dengan rentetan kejadian sebelumnya. Beberapa pekan sebelumnya, memang terjadi sebuah tarik ulur antara pemerintah dan para buruh. Hal ini disebabkan oleh rencana pemerintah untuk melakukan revisi terhadap UU Ketenagakerjaan. Akibatnya, ribuan buruh turun ke jalan hampir setiap hari untuk menyatakan penolakannya atas rencana pemerintah itu.
Draft revisi UU Ketenagakerjaan memang sarat dengan “penindasan”. Di dalamnya pengusaha diberikan kelonggaran dalam menyediakan sarana dan prasarana perlindungan bagi para buruh. Demikian juga dalam aturan pemberian pesangon dan uang PHK, para pengusaha di dalam draft itu bak “tuan” tanah yang bisa berlaku dan berbuat apa saja kepada para “hamba sahayanya” yaitu para buruh. Argumentasi pemerintah kelihatannya masuk akal. Karena UU Ketenagakerjaan itu dianggap lebih berpihak kepada buruh, maka pemerintah beranggapan bahwa para investor akan enggan menanam modal di Indonesia. Lagipula, versi pemerintah menyatakan dengan masuknya investor asing nantinya pasca revisi, diharapkan akan membuka lapangan kerja lebih luas sehingga akan memberikan kesempatan kepada para penganggur.
Logika yang digunakan pemerintah sama saja dengan logika kebijakan yang pro-pasar (market friendly oriented). Menurut tesis Bank Dunia yang terangkum dalam The World Development Report 1991, kebijakan pro-pasar merupakan kebijakan yang menunjukkan peran Negara dalam memfasilitasi beroperasinya pasar melalui intervensi yang “non-selektif”, misalnya dengan malakukan investasi dalam infrastruktur fisik dan sosial, fasilitas pelayanan kesehatan, pendidikan dan dengan menyiapkan iklim yang sesuai bagi kegiatan bisnis swasta. Fungsi lain dari pemerintah dalam konsep ini adalah mempromosikan kompetisi domestic dan internasional dengan tujuan untuk membangkitkan pertumbuhan ekonomi secara efisien. Ini hanya mungkin apabila pemerintah menetapkan kebijakan yang netral (Mas’oed, 1994).
Kelihatannya maksud pemerintah amat manis. Namun para buruh melihat bahwa di baliknya, ada tangan kekerasan dan maksud buruk kepada para buruh. Dengan UU Ketenagakerjaan yang katanya “baru” itu, maka pengusaha akan lebih sewenang-wenang kepada para buruh, atas nama keamanan dan stabilitas usaha. Kelak, setiap buruh akan mudah di “buang” setelah “manisnya dipakai oleh pengusaha”, hanya atas alasan yang mungkin sangat sederhana tanpa konsekuensi apapun.
Rencana untuk melakukan revisi ini memang menjadi sebuah persoalan yang sarat dengan perspektif. Katakanlah bahwa selama ini para pengusaha selalu menjadikan buruh sebagai alat produksi. Mereka biasanya mengharapkan bahwa dengan memberikan kompensasi kepada para buruh berupa upah, mereka akan mendapatkan konsesi berupa produksi dan laba besar. Hanya sayangnya, di sebagian besar perusahaan yang terjadi adalah pengembalian prinsip ini ke dalam bentuk yang paling sederhana namun amat buruk, yaitu “pengorbanan sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya”. Prakteknya, upah buruh ditekan seminim mungkin, namun dengan memberikan kewajiban yang kalau boleh dikatakan sungguh amat menyiksa. Banyak buruh di tanah air bekerja tanpa perlindungan apapun, termasuk dari bahaya fisik maupun jiwa. Para buruh juga kerap hanya hidup dari fasilitas yang pas-pasan, dengan berbagai keterbatasan yang sangat jauh dari memadai. Para pengusaha dengan kaca mata kuda hanya menjadikan buruh sebagai sekedar faktor produksi.
Keberadaan mereka hanya dikuantifikasikan atas jam kerja yang dijalani dan produktifitas yang dihasilkannya. Dengan mekanisme seperti ini maka buruh dipandang sebagai mesin yang menghasilkan output. Bongkar pasang terhadap mesin ini tentu saja dapat dengan mudah dilakukan.
Padahal, kalau kita perhatikan dengan baik dan seksama, sebenarnya UU Ketenagakerjaan yang selama ini diterapkan belum sempurna diterapkan di seluruh Indonesia. Hanya saja, secara politis, pemerintah kelihatannya terganggu dengan berbagai perjuangan kaum buruh yang cenderung membuat para pengusaha enggan bertandang ke Indonesia. Para pengusaha yang berada di balik pemerintah pasti sedang mencoba memaksa pemerintah kita mengikuti niat mereka untuk mendapatkan tenaga buruh yang tahunya hanya nurut.
Setiap kali para pengusaha diminta untuk meningkatkan kesejahteraan, alasan modal dan dana yang tidak memadai selalu menjadi alasan. Bahkan penetapan upah buruh yang penyusunannya melibatkan pengusaha tidak jarang menjadi sumber konflik. Pemerintahan ini, yang notabene diisi oleh para pengusaha yang menjadi pejabat negara, mereka adalah pemilik para buruh, yang pastilah berada di belakang para pengusaha. Itu sebabnya, rencana merevisi kelihatannya awalnya berjalan mulus karena “difasilitasi” oleh kalangan dalam pemerintahan sendiri. Nyata benar, bahwa pemerintah seolah tidak punya niat baik dalam mengejar pertumbuhan ekonomi dan keuntungan modal baginya.
Pemerintah memang terjebak di dalam berbagai asumsi makro ekonomi yang dibuatnya. Pada akhir kuartal I tahun ini, kelihatan sekali bahwa berbagai rencana pemerintah terancam bubar. Menteri keuangan sendiri sudah menyatakan hal itu di depan para Gubernur se-Indonesia dalam Musrenbang 2006 lalu.
Akibatnya, pemerintah keteter dan bisa kehilangan kepercayaan, termasuk dari masyarakat. Tidak tercapainya berbagai indikator makro tersebut diperkirakan akan memperburuk nama pemerintah, yang sesungguhnya sedang mencari “tabungan” sosio-psiko-ekonomi menjelang pemerintahan baru yang masih lama menjelang.

Rekomendasi: Melihat Buruh Sebagai ‘Manusia’ Postmodern
Dalam perspektif kemanusiaan saja, para buruh kita selama ini telah menjadi korban yang luar biasa dalam sistem ketenagakerjaan yang amat memihak kepada pengusaha. Para buruh kerap harus “dipaksa” bekerja di luar batas normal demi sekedar mendapatkan uang lembur menambahi penghasilan mereka yang tidak seberapa. Di dalam berbagai kasus, para buruh juga harus menerima bahwa jaminan dan perlindungan terhadap mereka terlalu sering diabaikan. Masalah tidak disediakannya alat pelindung diri yang memadai, fasilitas kesehatan yang minim, cuti, dan prospek masa depan, adalah sedikit dari banyak masalah yang dengan sengaja diabaikan oleh para pengusaha.
Jadi, alangkah tidak bisa dimengertinya bahwa penerapan UU Ketenagakerjaan yang masih memerlukan perbaikan justru dibalikkan menjadi sebuah aturan yang semakin lebih longgar. Pemerintah memang harus didesak supaya tidak menghalalkan segala cara —lagi karena sebelumnya sudah sering melakukan cara yang sama — untuk mencapai tujuannya.
Bagaimanapun, buruh adalah manusia yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia, yang tidak kurang atau tidak lebih dari keberadaan manusia “pengusaha” itu sendiri. Mereka harus ditempatkan sebagai seorang yang memiliki hak dan kewajiban. Lagipula, kalau kita melihat catatan konstitusi kita, memiliki pekerjaan yang layak dan hidup sejahtera, adalah hak setiap individu, yang tidak dapat dikurangi dengan alasan apapun bahkan oleh penguasa sekalipun.
Buruh adalah manusia, seperti halnya pemerintah ataupun pengusaha. Untuk itu, bias kebijakan yang melulu ekonomis teknis dan yang memandang buruh hanya sebatas “utility-maximizing machine” dalam paradigma positivisme dan saintisme dari rasionalitas pencerahan modernisme harus segera ditinggalkan. Terkait ini, kritik posmodernisme terhadap modernisme pada proyek “kecongkakan” rasionalismenya –khususnya teori pilihan rasional berbasis pasar (rational choice theory) dan keahlian teknokratis menjadi alternative lain yang lebih “manusiawi” bagi buruh ke depan.
Posmodernisme bagi buruh berarti, melampui model “baik-buruk” dalam mekanisme kebijakan pro-pasar, yang mana, komitmen utama posmodernisme terletak pad aide tentang “wacana” ketimbang pada objektivitas pengukuran atau analisis rasional terhadap resolusi (penyelesaian) persoalan-persoalan public. Bahwa wacana otentik yang ideal melihat administrator pemerintah, kalangan pengusaha dan masyarakat secara umum saling terlibat satu sama lain, tidak semata-mata mendasarkan pada kepentingan pribadi tiap individu secara rasional, akan tetapi sebagai partisipan yang saling terlibat satu sama lain. Hubungan individual dan sosial tidak dilihat hanya pada ukuran-ukuran rasional (untung-rugi) akan tetapi bersifat eksperensial, intuitif dan emosional.

Daftar Bacaan
Cobb, John B. Jr. 2005. “Kebijakan Sosial Posmodern” (terj.) dalam David Ray Griffin (Ed.). Visi-visi Posmodern: Spritualitas dan Masyarakat. Kanisius. Yogyakarta.
George, Susan. 2000. “A Short History of Neoliberalism: Thirty Years of Elite Economics and Emerging Opportunities for Structural Changes”, dalam Walden Bello, Nicola Bullard dan Kamal Malhotra (Eds.). 2000. Global Financ: New Thinking on Regulating Speculative Capital Market. Zed Books. London.
Hirschman, Abert O. 1981. Essays in Trespassing: Economics to Politics and Beyond .Cambridge: Cambridge University Press.
Khudori. 2004. Neoliberalisme Menumpas Petani. Resist Press. Yogyakarta.
Mas’oed, Mohtar. 2002. Tantangan Internasional dan Keterbatasan Nasional: Analisis Ekonomi Politik tentang Globalisasi Neoliberal. Pidato Pengukuhan Guru Besar FISIP UGM. Yogyakarta.
_______. 2002. “Perpolitikan Untuk Mendukung Ekonomi Alternatif?”. Jurnal Ekonomi Rakyat Edisi Th. I/No. 8/Oktober/2002.
Yulianto, T. 2006. “Quo Vadis Gerakan Buruh di Indonesia: Refleksi Hari Buruh 1 Mei 2006”. http://www.google.com/. Edisi 05 Mei 2006.
Wibowo, I. dan Wahono (Eds.). Neoliberalisme. Cindelaras. Yogyakarta. 2003
Zaluchu, Fotarisman . 2006. “Buruh: Kekuatan Politik Baru?”. http://www.mamboteam.com/. Edisi 02 Mei 2006.
The World Development Report. 1991.

*Penulis adalah mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Brawijaya Malang dan Penulis Buku Matinya Dunia Cyberspace (LKiS, 2005) yang saat ini sedang aktif dalam komunitas diskusi Mazhab Tlogomas

No comments:

Post a Comment