Tuesday, March 27, 2007

Menu Dekonstruksi untuk Mahasiswa

Menu Dekonstruksi untuk Mahasiswa
Judul Buku : How To Cope With The Lecturer: Kiat Jitu Menjinakkan Dosen
Penulis : Nurudin
Tebal : 120 + Xiv Halaman
Tahun Terbit : Cetakan 1, Mei 2004
Penerbit : Cespur-Malang
Presensi : Astar Hadi*

Ironi dari perguruan tinggi! Demikian kira-kira fenomena yang ingin diekspresikan pengarang tentang dinamika kehidupan kampus, dosen vis a vis mahasiswa. Berawal dari rasa galau –untuk tidak mengatakan menggebu-gebu, tulisan ini dirancang sedemikian rupa untuk memenuhi sejauh mana hasrat –meminjam istilah Idy Subandi Ibrahim— “mitologi penampilan diri” antara mahasiswa di satu sisi dan dosen di sisi lain.
Kalau dalam ilmu politik dan kekuasaan kita lazim mendengar strategi “menghalalkan segala cara” ala Machivelian, atau ‘kiat menjadi kaya” (How to Get Rich) ala Donald Trump, maka di sini kita juga akan banyak menemukan berbagai menu siap saji yang disuguhkan Nurudin secara eksklusif untuk “mendongkrak” gizi (baca: indeks prestasi) kalangan mahasiswa, baik melalui konsumsi doping (instan) maupun multivitamin (bertahap) intelektual.
Sebagai contoh, untuk menjinakkan dosen tipe selebritis dan gigolo (hal. 31-34), pendekatan yang “baik” tentunya dibutuhkan cara-cara yang sedikit “binal” dan tampang seksi. Sementara bagi mereka yang dianggap dosen ilmuan (hal. 25), cukup hanya dengan menyiram tubuhnya dengan setetes air “teori”, entah itu sebagai langkah gaya-gayaan atau sekedar “pengenalan diri” mahasiswa tersebut. Untuk yang terakhir ini, bisa dipastikan mahasiswa yang memang “intelek’ yang bisa mendapatkannya. Walau tidak menutup kemungkinan, mereka yang pas-pasan bisa ikut bersaing dengan cara yang lain.
Tentunya ilustrasi di atas bukan sebuah representasi dunia perguruan tinggi secara umum. Tetapi minimal, contoh kasuistis tersebut merupakan sebuah upaya dekonstruksi oposisi biner sang pengarang dalam membongkar “tafsir” patron-client dalam birokrasi kampus yang masuk dalam kategori “top secret”.
Seperti diungkapkan Jean Jacques Derrida, pencetus teori Dekonstruksi, bahwa dengan membongkar oposisi pasangan dari kode-kode bahasa, dengan sedemikian rupa, sehingga menghasilkan suatu permainan tanda yang tiada akhir dan tanpa makna akhir (Piliang, 1998).
Makna yang dapat kita tarik dari pengertian tersebut bahwa dekonstruksi di sini berarti bahwa profesi dosen yang selama ini diasumsikan sebagai sebuah kombinasi antara ‘prestise” di mata masyarakat dan “privelese” di mata mahasiswa, tidak lagi menjadi sebuah “keakuan” menakjubkan dan “kekuatan” menakutkan.
Alih-alih, dengan pembongkaran kode-kode semiosis di dalamnya pada akhirnya kita menemukan suatu nuansa yang sangat berbeda dengan nilai-nilai yang selama ini “melekat” pada citra dosen; pendidik (maha-) siswa. Bahwa kode-kode bahasa dan citra yang menjadi atribut seorang dosen sebagai pendidik “dibongkar” dalam bentuknya yang kontras.
Kalau disederhanakan, logika kebahasaan dari kata ‘maha’ dan ‘siswa’ sejatinya merupakan sebuah komunikasi pesan yang secara tidak langsung “mengangkat” posisi dosen sebagai pendidik yang “memiliki hak istemewa” karena mengajar mahasiswa, bukan siswa. Dengan demikian, apakah lantas atribut seorang dosen merupakan wilayah yang maksum dari gosip miring?
Berangkat dari pertanyaan ini, pengarang setidaknya telah mengelaborasi bait demi bait penggalan pengalamannya dalam bingkai kritik dekonstruktif terhadap dinamika dunia kampus yang secara khusus menampilkan insan pendidik sebagai pihak “terdakwa” dan mahasiswa sebagai “hakimnya”.
Dalam hal ini, Nurudin menawarkan suatu kiat “sukses” dengan membongkar kembali oposisi-oposisi pasangan, dosen-mahasiswa, top-down, dengan mengakomodasi berbagai unsur pengalaman akademis secara keseluruhan, kemudian dibentuk secara sederhana dalam sebuah manifestasi pembebasan yang “jujur” dan “adil” dari imperasi-imperasi normatif-etis yang sejauh ini mengungkung paradigma partnership antara pendidik dan yang terdidik.
Bahwa yang diinginkan Nurudin pada dasarnya bukan “mengadili” dosen atau “membela” mahasiswa, lebih-lebih, ia justru menawarkan pemahaman yang “mencerahkan”. Di samping berpretensi mendobrak arogansi senioritas dan keangkuhan patriarchal dan atau kebobrokan sang Bapak, ia, sekaligus coba mengejawantahkan sebuah kiat “sukses” untuk menjinakkannya.
Pada akhirnya, kita akan menemukan sebuah gaya pembongkaran yang, seperti halnya dekonstruksi Derrida, ironis, provokatif dan parodik. Artinya, alih-alih menjadi “kemenangan” mahasiswa yang mempunyai kemampuan (baca: kiat) “menjinakkan”, ia justru berbalik menjadi ironis dan parodik manakala mahasiswa menggunakan (mengikuti) kiat-kiat “menjinakkan” yang pada kenyataannya merupakan bumerang dan stigma moral yang menampar muka mereka sendiri. Dan pada sisi inilah kemampuan seorang Nurudin memberikan pilihan. Anda tinggal pilih mana kiat yang baik bagi Anda. Bukan begitu?
Sejauh ini, kita belum cukup menemukan –untuk tidak mengatakan tidak sama sekali— buku yang begitu berani, provokatif, imajinatif dan ironis dalam menyampaikan “keluhan-keluhan” moral terhadap dunia mahasiswa, terutama dosen-dosen tercinta. Dan buku ini, kiranya cukup pas menjadi hidangan siap saji bagi mahasiswa yang selalu “lapar” dan “haus” dengan menu sehari-hari mereka di kampus.

*Presensi adalah alumni FISIP UMM 2004-pegiat tulis-menulis dan peminat budaya dan media yang sedang menganggur, tinggal di Kelana, Lombok.

No comments:

Post a Comment