Thursday, March 29, 2007

Romantisme Mbak Tutut

Romantisme Mbak Tutut*
Oleh: Astar Hadi**
Empat tahun sudah berlalu, bangsa Indoenesia telah melewati fase pertama pemilihan umum (Pemilu) di era reformasi ini. Menurut banyak kalangan, pesta demokrasi saat itu dianggap representasai dari pemilu 1955 yang notabene dianggap paling demokeatis dalam sejarah demokrasi bangsa kita. Kini, kita telah memasuki fase kedua pemilu era reformasi.
Sebuah pertanyaan kembali muncul. Apakah pemilu pada periode ini akan menghasilkan pemilu yang demokratis juga? Atau, mungkinkah pemilu juli ini akan mampu, minimal menyamai prestasi pemilu sebelumnya? Tentunya, pendapat pro-kontra tentangnya menjadi suatu fenomena yang menarik untuk dicermati.
Seperti yang telah kita ketahui bersama, bahwa semangat dan euforia pemilu sebelumnya menafikan anasir-anasir orde baru dengan jargon ’reformasi total’ yang selalu didengungkan banyak pihak. Tapi saat ini, menjelang pesta demokrasi fase kedua ini, urgensi reformasi total yang kita harap-harapkan pada kenyataannya sepertinya harus bertepuk sebelah tangan. Mengapa demikian?
Bukan apa-apa, jika kemudian pernyataan seperti ini kerap mengemuka karena disebabkan konstelasi politikkita saat ini telah memperlihatkan gejala come back-nya partai yang jeles-jelas mengaku berideologi orde baru. Betapa tidak, romantisme historis kembali diusung generasi Soeharto yang dengan lantang mengisahkan bahwa rakyat Indonesia seharusnya kembali pada dinamika ”alamiah” orde baru; sebuah masa di mana ”kemakmuran” dan ”kesejahteraan” rakyat sangat diperhatikan. Sebuah spekulasi dari sisa-sisa masa lalu yang siap menjadikan Indonesia sebagai ”macan Asia”.
Sebuah studi kasus menarik tentang iklan kampanye parpol akan penulis angkat di sini. Tampak dengan jelas dalam iklan di televisi mempertontonkankan sesosok wajah ”ngenes” dan ”semrawut” dari seorang petani desa yang begitu lugu. Berlatarbelakang hamparan sawah yang luas, sang petani mengungkapkan bahwa di xaman orde baru kehidupan rakyat miskin sangat diperhatikan. Kemudian setelah itu, muncul sesosok wajah kontras yang begitu ”kalem” dan ”kharismatik”, dengan senyum manis yang khas dari Soeharto.
Kasus di atas merupakan bait-bait dalam iklan kampanye politik yang disampaikan Siti Hardiyanti Rukamana –Mbak Tutut, melalui partai karya peduli bangsa (PKPB) sebagai kendaraan politiknya.
Tidak mengherankan, sebab janji-janji politik di awal reformasi hampir sama sekali tidak menyentuh aspirasi dan hak-hak rakyat kecil. Dan dalam banyak hal, fenomena paling krusial yang harus diperhatikan dalam setiap agenda kebijakan politik di setiap bangsa di dunia adalah upaya memenuhi kebutuhan ekonomi di setiap negara –terutama di negara dunia ketiga termasuk Indonesia.
Jadi, tidak salah bila dalam flatform politik yang diangkat oleh setiap partai politik yang lolos pemilu, terutama adalah masalah kesejahteraan rakyat kecil. Demikian pula halnya dengan janji-janji politik Mbak Tutut.
Tapi yang jadi persoalan, menyangkut aspek-aspek dan unsur-unsur dalam kasus tersebut, apakah lantas kemudian iklan ini merupakan representasi realitas dari rakyat kecil secara keseluruhan yang mengamini gaya hidup orde baru yang begitu ”damai” dan ”sejahtera” dengan sesosok representasi ikonis semacam Soeharto sebagai simbol yang didambakan –dan atau ”ratu adil.”
Memang sebuah iklan tidak cukup memberikan sebuah jawaban, tidak bisa pula dijadikan sebagai manifestasi representatif yang jujur dari kehidupan bangsa Indoenesia yang begitu besar, kompleks dan plural ini. Artinya, tidak saja ia terlalu sempit atau reduktif, iklan bahkan bisa menjadi sebuah contoh dari rantai pertandaan yang melampui apa saja yang seharusnya menjadi struktur demografis dan atau ideografis masyarakat Indonesia saat ini. Secara semiotik, tanda atau bentuk semacam ini disebut pseudo sign (tanda palsu).
Tapi kita tidak bisa menegasikan, sebuah iklan dengan kompleksitas permainan tanda di dalamnya, merupakan bentuk-bentuk miniatur dari realitas sosial kita yang sesungguhnya.
Dari pemahaman di atas, merujuk pada iklan-iklan kampanye yang ada, sebuah konsekuensi semiotik menjadi penting untuk ditelusuri sebagai bentuk logis dari iklan kampanye, dan tentunya terkait dengan berjalan tidaknya janji-janji politik itu nantinya. Seperti diungkapkan oleh Umberto Eco (Yasraf Amir Piliang, 2003), “bila tanda dapat digunakan untuk menampilkan kebenaran (truth), maka tanda juga dapat digunakan untuk berdusta atau menipu (lie). Kekuatan tanda sebagai penyampai pesan dan informasi yang benar (true information), dapat pula disalahgunakan untuk menyampaikan informasi yang salah (false information).”
Untuk menariknya lebih jauh, asumsi Eco tersebut menemukan senjata picunya pada iklan kampanye parpol dan sekaligus menunjukkan paradoks semiotik iklan; antara tawaran kejujuran dan manifestasi kedustaan janji-janji parpol.
Semiotika Daur Ulang ala Mbak Tutut
Semiotika –sebagai ilmu tentang tanda-tanda dan penggunaannya dalam masyarakat— memandang bahwa, segala produk budaya, sosial dan juga politik, selalu mengikuti rantai pertandaan yang menjadi sandaran representatif dari realitas atau fakta-fakta.
Dalam kasus iklan kampanye Mbak Tutut, dua permasalahan utama yang bisa kita tarik, pertama-tama ia merupakan wujud melemahnya idealisme reformasi total di satu sisi, dan ia juga merupakan respon langsung atas tidak kondusifnya iklim reformasi dalam menjawab euforia demokrasi dan aspirasi-aspirasi utopis tentang ”kesejahteraan” rakyat di sisi lain.
Berhubungan dengan ini, problem-problem yang sering muncul pada tingkat wacana kebanyakan pada ”ketakutan” berlebihan dan sikap over-preventif kita pada ideologi ”pembangunanisme” era Soeharto yang sudah terlanjur kembali melalui berbagai kendaraan politik. Padahal, kita semestinya meletakkan ini hanya sebatas dinamika berdemokrasi.
Dan yang lebih prinsipil, terutama apakah realitas kemunculannya masih relevan dengan konteks ke-Indonesia-an kita sekarang ini.
Dalam tipologi tanda (semiotika), konsep iklan yang diangkat Mbak Tutut bisa dimasukkan dalam kategori tanda daur ulang (recycled signs). Bahwa tanda semacam ini digunakan untuk mengungkapkan peristiwa-peristiwa masa lalu (dengan konteks ruang, waktu, dan tempatnya yang khas), yang kemudian digunakan untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa masa kini yang sesungguhnya berbeda atau tidak berlaku sama sekali.
Kalau kita bicara masalah konteks ruang dan waktu, berarti tanda-tanda, simbol, dan teks yang digunakan dalam iklan tersebut tidak saja tidak efektif, tapi sekaligus menjadi tidak ”bermakna.” Dalam hal ini, pembalikan sejarah menuju orde baru tentu tidak memiliki signifikansi yang kuat dalam mempengaruhi perekonomian nasional atau pun kesejahteraan rakyat. Sebab, persoalan romantisme ”manis” masa lalu seringkali terjebak pada imperatif-imperatif sosial di dalamnya.
Apakah dengan menyandarkan diri pada otoritas orde baru, lantas kehidupan yang kita inginkan kembali sperti semula? Tentu tidak! Sebab, berbagai perubahan, baik ekonomi, politik maupun budaya, tentu juga merubah segalanya. Sehingga, tidak serta-merta kembali pada masa lalu menjadi sebuah jawaban yang tepat dan tidak pula bijak.
Bahwa, hasrat menuju yang ”semula” (layaknya kehidupan di masa kejayaan Rezim Soeharto) seringkali harus berbenturan dengan kompleksitas fakta-fakta normatif di era reformasi tentang alur demokratisasi yang sedang dibangun. Demokrasi ”militer” ala Soeharto tidak lantas kemudian dianggap lebih baik dan dijadikan perbandingan dengan demokrasi ”sipil” ala Reformasi.
Padahal, konteks ”ideal” kekinian tidak saja telah berubah secara empiris, tetapi juga berubah dalam pengertian kita tentang ”kedamaian”, ”kesejahteraan”, ”diperhatikan” dan sebagainya, yang kita dambakan.
*Tulisan ini pernah dimuat di Malang Post, 06 April 2004.
**Astarhadi adalah Alumni Komunikasi, FISIP, UMM. Kini tengah menempuh Program Pasca Sarjana, Program Studi Administrasi Publik, Konsentrasi Kebijakan Publik, Universitas Brawijaya Malang dan Penulis Buku “Matinya Dunia Cyberspace” (LkiS, 2005).

No comments:

Post a Comment