Tuesday, March 27, 2007

Generasi Dahlan Tidak Perlu Alergi Pemikiran Liberal

Generasi Dahlan Tidak Perlu Alergi Pemikiran Liberal
*Astar Hadi, S.Sos.
Muktamar Muhammadiyah sebentar lagi akan melahirkan seorang pimpinan baru untuk periode 2005-2009. Kebanyakan isu-isu yang berkembang dalam Muktamar 45 Muhammadiyah yang digelar di Malang kali ini. Seperti diungkapkan Mutohharun Jinan dalam artikel berjudul Pimpinan Muhammadiyah, Ulama atau Intelektual? (Kompas, 4 Juli 2005), pesan yang banyak berkembang sebatas mencuatnya kembali fenomena pemunculan kembali figur ulama yang dalam satu dasa warsa terakhir cukup “terpinggirkan” dengan gaung kepemimpinan dari kalangan intelektual.
Benar tidaknya fenomena ini, sejumlah kalangan bisa saja menilai asumsi yang disodorkan Mutohharun itu tidak cukup relevan jika menilik pada dua sosok kandidat terkuat pimpinan Muhammadiyah yang justeru datang dari kaum intelektual, Malik Fadjar dan Dien Syamsuddin.
Apapun hasilnya, permasalahan atau substansi utama Muktamar kali ini tidak serta merta mengalihkan dirinya dari jargon Tajdid “kembali ke pelukan al-Qur’an dan al-Sunnah”, yang sejauh ini selalu menjadi seruan moralnya. Tentu saja jargon ini yang tidak boleh dilepas oleh para kandidat an sich.
Walaupun demikian, apa yang dikatakan Mutohharun itu menjadi semakin menarik ketika melontarkan penolakan warga/aktivis terhadap JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah) dan tokoh-tokoh Muhammadiyah yang dianggap penganut paham liberalisme. Lebih-lebih, dengan menjamurnya kembali faham “salafisme” baru di Muhammadiyah yang begitu getol malakukan aksi penolakan terhadap kehadiran pemimpin dari kalangan intelektual yang nobane dianggap penyebar virus ilmu-ilmu dari Barat yang bukan bersumber dari al_qur’an dan al-Sunnah
Bahwa sejak awal, seperti yang digaungkan sendiri oleh KH. Ahmad Dahlan –selanjutnya disebut Dahlan, Muhammadiyah secara terus-menerus mendobrak pola pikir yang jumud dari tokoh-tokoh Islam waktu itu dengan alam pikir yang serba modern dan rasional. Sehingga citra sebagai pengusung islam modern dan rasional inheren pada persyarikatan tersebut hingga kini.
Tidak salah, bila kemudian Muhammadiyah memiliki citra dan arti yang sangat penting dalam pergulatannya dengan Negara. Bisa dibayangkan, perubahan yang dialami masyarakat (baca: Islam) Indonesia dari transisi feodalistik menuju modernitas, tidak akan lahir “tanpa” peran besar pemikiran-pemikiran serba modern dari tokoh-tokoh Muhammadiyah sejak awal. Lantas bagaimana posisi tajdid dan ijtihad itu sesungguhnya bila dikaitkan dengan Muhammadiyah saat ini dan esok?
Pemikiran Liberal Itu Manusiawi
Pada hari Senin Sore (4 Juli), beberapa hari yang lalu, iseng-iseng saya jalan-jalan di seputar bazar muktamar yang berlokasi di Lapangan Sepak Bola Universitas Muhammadiyah Malang. Di sana saya kemudian memasuki sebuah stan bertuliskan Pojok Anti Liberal, yang menjual sebagian besar buku-buku yang bermuara pada ketidak berpihakan terhadap (pemikiran) Islam Liberal. Bisa jadi ini adalah sebuah sikap dan semangat penolakan terhadap urgensi pemikiran liberal yang kini mulai menjangkiti sebagian generasi muda Muhammadiyah, yang salah satunya ditopang oleh JIMM. Apakah ini lantas merupakan inti dari semangat tajdid pada muktamar Muhammadiyah ke 45 seperti yang ditulis Mutohharun?
Babakan baru sejarah telah menunjukkan betapa Muhammadiyah telah mencapai puncak keemasannya saat ini. Sejumlah banyak –untuk tidak mengatakan keseluruhan— tokoh Nasional lahir dari rahim ormas bernama Muhammadiyah ini. Seorang Amien Rais menjadi contoh konkretnya.
Sebagian kalangan menilai sebuah transisi modernitas kembali ke Khittah berarti mengembalikan orientasi Muhammadiyah dari kemelut (pemikiran) liberalisme menuju setting Arab zaman Muhammad Abduh dan atau Jamaluddin Al-Afghani yang notabene “guru” bagi sang Pendiri. Dan dengan segala keistimewaan yang dimiliki oleh Abduh, Al-Afghani ataupun Dahlan sendiri, maka aspek indoktrinasi Islam yang melekat pada ketiganya menjadi klaim “kebenaran” yang niscaya jika Muhammadiyah dilihat pada tataran lokal dan kekinian.
Bukan dalam arti mempersempit nilai-nilai yang telah diusung Muhammadiyah di awal pendiriannya, bahwa Konsekuensi logis yang paling niscaya jika saja Muhammadiyad bersikap taken for granted terhadap pemikiran keislaman Abduh atau Afghani, maka tidak saja kita telah “mengebiri” hasrat tajdid dan ijtihad yang juga telah sejak lama diproklamirkan Ahmad Dahlan sendiri melalui pemikiran-pemikirannya yang pada saat itu masih terlalu modern –dan juga “kontroversial”— bagi masyarakat Islam di masanya. Artinya, logika pemikiran mereka seharusnya diletakkan sebagai seutas benang merah yang untuk dirajut kembali dalam simpul saat ini.
Persoalan di atas adalah sebuah dialektika sejarah yang dalam ungkapan hermeneutis dianggap sebagai semangat emansipatoris Dahlan terhadap pembacaan teks-teks al-Qur’an dan al-Sunnah ke dalam bingkai kontekstual, yaitu apa makna yang terkandung di balikk teks. Lebih jauh, dalam logika Hermeneutika Heidegger, Muhammadiyah yang inheren dengan Dahlan-isme, berarti memposisikan al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai rumah (house of being) untuk dan tempat menjadi segala bentuk penciptaan Allah. Hal ini menunjukkan al-Qur’an dan al-Sunnah merupakan sebuah ajang gaul kompleksitas pemikiran keagamaan (baca: Islam) baik yang menamakan dirinya Wahabiyah, Mu’tazilah, Sunni, Syiah dan –yang terakhir— faham Liberal sekalipun, untuk kemudian dinterpretasikan dengan semangat al-Qur’an dan al-Sunnah dan mencari maknanya secara bersama-sama tanpa sikap yang cenderung tendensius.
Sebuah tendensi “bengis” bila kemudian Muhammadiyah yang terkenal modern menganak-tirikan generasi muda yang coba merefleksikan kehendak “hati” Dahlan dalam bentuk dan pengungkapannya yang paling liberal sekalipun. Karena seharusnya diketahui, rasa alergi atau phobia terhadap virus yang dianggap menyesatkan Islam seperti JIMM-nya Pradana Boy atau JIL-nya Ulil Abshar Abdallah, bisa jadi merupakan bentuk Islamophobia jilid baru yang sering dilekatkan pada cendekiawan Muslim didikan Barat atau yang serupa dengannya. Apakah ini sebuah contoh ketakutan naïf pergulatan Islam VS Islam?
Artinya, Muhammadiyah tidak perlu takut dengan pluralisme pemahaman dalam persyarikatannya. Kecil atau besar pengaruh yang ditimbulkan nantinya tetap saja memiliki makna positif untuk “kedewasaan” berpikir dan beraksi untuk umat Islam Indonesia ke depan. Karena Dahlan masa kini adalah Dahlan masa lalu yang mendambakan pembaharuan ke depan yang berpretensi pada Islam Kaffah. Dan tentunya, Muhammadiyah harus siap dengan kejutan-kejutan impulsif multipemahaman islam yang di setiap kemunculannya selalu berbau kontroversial dan “menyesatkan” bagi pemegang status quo kekuasaan.
Patut kita simak jawaban seorang Jalaluddin Rakhmat saat ditanya seorang Mahasiswa soal citra Syiah-nya, ia menjawab bahwa dealektika sejarah membuktikan sesuatu yang pada awalnya devian (kecil, terpinggirkan) dan selalu diobok-obok oleh rezim (baca: pemikiran) mayoritas, bisa mengambil alih yang mayoritas ke posisi devian, dan begitu seterusnya.
Akhirnya, siapapun pemimpin baru hasil Muktamar nantinya, sensivitas terhadap beraneka ragam pemikiraan tetap diletakkan pada posisi tawar sebuah peradaban Islam yang oleh Dahlan sendiri dilakukan pada saat masyarakat (Islam) Indonesia masih dalam kondisi “jahiliah”. Thus, apakah di saat usia menjelang satu abad ini, Muhammadiyah yang begitu besar dan dewasa itu malah menjadi seperti seorang Bapak yang egois dan pemarah hanya gara-gara pemikiran agak berbeda dari segelintir anak-anak mudanya yang lahir di tengah “kemelut” gairah tajdid dan ijtihad yang justeru semangatnya telah dikrarkan Dahlan pada awal berdirinya Muhammadiyah, 18 November 1912 silam? Wa Allahu A’lam.
*Astar Hadi, S.Sos., Mantan Wartawan dan mahasiswa baru Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang

2 comments:

  1. wah sampeyan iku ngawur, cak, lha mosok sampeyan itu pantas ta mengaku orang muhammadiyah?Klo visi misi muhammadiyah itu jelas koq, "kembali ke aAl-Qur'an dan Sunnah",lha sampeyan koq malah sesat ke mana-mana....
    tajdid itu bukan sembarang tajdid rek, harus tetep ada kontrol.. sesuatu yang berlebihan itu menjadi tidak baik... tobat mas...

    ReplyDelete
  2. Terkadang kita terlalu berani mengadopsi sebuah pemikiran, atau terlalu takut dengan pemikiran tertentu. Hemat saya, setiap pemikiran berada dalam bingkai yang relatif. Ada nilai lebih, begitu pula ada nilai kurangnya. Dengan kelebihan nya maka kita harus segera mengambilnya. Dengan kekurangan dan kelemahannya maka harus kita tambahi atau kita tinggalkan. Kita terlalu eforia atau mungkin ketakutan dengan istilah "liberal" itu. Padahal kata itu bebas nilai, tergantung kita yang memberikan makna. Sebagai anak cucu Kiyai Dahlan, kita dituntut untuk berpikir secara kritis terhadap apa saja. Baik yang datang dari Barat atau Timur Tengah. Bukankah al-Qur'an mengajarkan kita untuk tabayyun? Allahu a'lam.

    ReplyDelete