Tuesday, March 27, 2007

Islam Mazhab Demokrasi (Resensi)

Islam Mazhab Demokrasi

Judul Buku : Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi
Penulis : Abdurrahman Wahid
Tebal : 412 + xxxvi Halaman
Tahun Terbit : Cetakan 1, Agustus 2006
Penerbit : The WAHID Institute
Presensi : Astar Hadi*

Dalam sebuah diskusi bertema Wacana Liberal yang diadakan KAMMI Cabang Malang, Mei 2006, yang lalu, salah seorang peserta bertanya pada saya tentang signifikansi konsep Islam dan demokrasi. Menurutnya, islam (baca: al-Qur’an) telah mengajarkan suatu konsep kemanusiaan universal secara “kaffah” yang di dalamnya mengandung spirit dan nilai-nilai kebenaran, keadilan, kesetaraan (egalitarianisme) dan sebagainya. Ia lantas melontarkan pertanyaan, apakah kita merasa perlu mengagungkan demokrasi, sementara dalam Islam sendiri sudah jauh-jauh hari telah dikumandangkan?
Dengan jawaban yang cukup sederhana saya menjelaskan bahwa tidak ada yang perlu dipersoalkan antara Islam dan demokrasi. Keduanya menyangkut sebuah system kehidupan yang memposisikan dirinya pada pemberdayaan nilai-nilai kemanusiaan universal sebagai titik tolaknya. Dalam hal ini, baik islam maupun demokrasi, sama-sama membela hak-hak ummat dari kekuasaan yang tiranik dan menindas (riba).
Menilik pengertian umum demokrasi yang berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat. Atau, yang lebih kita dengan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kata demokrasi di sini dianggap sebagai kata kunci tersendiri dalam bingkai system politik yang beradab. Indicator penting suatu negara dianggap melaksanakan pemerintahan dengan baik ketika ia menjalankan system demokrasi dalam multiaspek kehidupan.
Sementara itu, al-Qur’an secara tegas meletakkan dasar-dasar “keberimanan” manusia pada Tuhan berdasarkan pemenuhan hak-hak sipil rakyat sebagai amanat yang wajib ditunaikan. Dalam Surah Al-Ma’un di sebutkan bahwa Allah menyindir masyarakat yang mengaku beragama sementara ia tidak pernah mempedulikan kesejahteraan sosial rakyat miskin sebagai orang yang mendustakan agama. Ayat ini menjelaskan, rakyat sebagai “kelas” sosial yang selama ini selalu dikebiri hak-haknya oleh kekuasaan, justru di sisi Allah merupakan orang yang yang harus dibela sekaligus diperjuangkan.
Menurut hemat penulis, reposisi dan redefinisi islam sebagai agama samawi terakhir tidak lagi dipahami sebatas agama formal (organized religion) yang seringkali menjadi tameng “kebenaran” Ilahiah yang justru “menghalalkan” penindasan dan sikap anrkhis terhadap sementara kalangan yang dianggap “sesat”. Formalisme islam semacam ini akan berujung pada sikap melembagakan islam untuk kepentingan tunggal “kebenaran.” Tidak salah bila kemudian Karl Marx melihat dilemma keberagaman kita sebagai “candu” hitam-putih yang merongrong hak hidup orang lain.
Buku Islamku, Islam Anda, Islam Kita, yang merupakan kumpulan tulisan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur di sejumlah media massa ini, adalah ekspresi “rasa galau” dan impresi pemikirannya yang mendalam terhadap dinamika keberagamaan dan kebangsaan rakyat Indonesia secara umum. Cucu pendiri NU KH. Hasyim Asy’ari ini, tentu saja, melihat wajah islam Indonesia sebagai islam “warna-warni” yang harus dilestarikan tanpa ada upaya “menebang” pertumbuhannya baik dengan alasan pembelaan terhadap “agama” Allah sekalipun. Pada posisi inilah Gus Dur berpendapat bahwa yang harus dibela adalah rakyat, sekali-sekali bukan Tuhan.

Membela Rakyat bukan (Negara) Islam
Apa point penting yang bisa kita tarik dari pemikiran Gus Dur? Dalam petikan wawacaranya pada acara “Topik Minggu Ini” SCTV (20/09/2006) bertema judul bukunya tersebut, Ketua Dewan Syuro PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) ini menegaskan bahwa formalisme Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sangat tidak tepat. Di samping karena konsep Negara Islam dalam al-Qur’an itu tidak pernah ada, Nabi Muhammad sendiri tidak pernah berniat untuk mendirikan negara Islam.
Menurutnya, dasar dari pendapat konsep negara Islam dalam dunia Islam tidak ada yang baku. Pertama, islam tidak tidak mengenal pandangan yang jelas dan pasti tentang pergantian pemimpin (hal. 81). Artinya, setelah Nabi Muhammad wafat, proses pergantian kepemimpinan dari zaman Khulafa’ al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman dan Ali bin Abu Thalib) tidak secara persis sama. Lebih-lebih, Nabi sendiri tidak pernah menetapkan/menunjuk calon pengganti yang berhak meneruskan kepemimpinan dalam Islam. Kedua, besarnya negara yang dikonsepsikan menurut Islam tidak jelas ukurannya (hal. 83). Hal ini menunjuk pada tidak adanya batasan konseptual sampai sejauh mana konsep Negara Islam tersebut dibentuk, apakah ia merupakah sebuah negara yang mendunia (nation-state) ataukah sebatas negara kota (city state).
Untuk tidak mengatakan alergi, Gus Dur dengan tegas menolak ideologisasi Islam dalam konteks pemerintahan. Karena menurutnya, ideologisasi hanya akan menghasilkan “monopoli” kebenaran dari satu sisi saja. Posisi rakyat sebagai “pemimpin tertinggi” pemerintahan demokratis menjadi terpinggirkan oleh kuasa idelogis yang, tentu saja, akan –lebih banyak— memihak pada justifikasi ideologis tertentu untuk menjalankan pemerintahan.
Di samping itu, ideologisasi islam atau formalisasi Syari’at bisa jadi terjebak pada orientasi teokratis dalam negara (Islam) yang –dalam realitas akhir-akhir ini— merepresi dan memaksa pluralitas keberagamaan untuk tunduk dan patuh dalam monokultur “Islam” yang dianggap sebagai sibghat (celupan) ajaran-jaran Tuhan.
Bagi Gus Dur, proyeksi Islam ke depan sama halnya dengan amanat yang diemban oleh Rasulullah, bahwa Islam mengusung misi rahmatan li al-alamin. Dalam pengertian ini, kontekstualisasi atau pribumisasi islam menjadi sangat penting, mengingat besarnya pluralitas kultur yang dimiliki umat islam secara mondial. Karena itu, penekanan Gus Dur terhadap kulturasi corak Islam sebagai hal yang tidak bisa ditolak.
Nilai-nilai kebenaran universal Islam dan atribut yang menyertainya, seperti keadilan, kesejahteraan social, harus dimaknai pada lingkup budaya yang menopang pola hidup masyarakat suatu negara. Sehingga berbagai bentuk ideologisasi Islam dalam negara menjadi tidak relevan, lebih-lebih menyangkut NKRI yang memiliki wilayah yang sangat luas dan terdiri atas berbagai ragam budaya, suku, agama yang sangat beragam. Lantas, bagaimanakah corak Islam yang diinginkan Gus Dur?

Islam Demokratis Gus Dur
Islamku merupakan manifestasi keberagaman seorang terkait dengan pengalaman dan pemikiran pribadinya sebagai suatu yang khas dan tidak bisa digeneralisasi menjadi “kebenaran” bagi yang lain. Pun demikian, makna aku menyiratkan nilai dan spirit pencarian suatu kualitas keber-Islam-an yang selalu dalam proses menjadi (process of becoming). Sehingga, dalam proses ini, setiap orang berhak untuk mempelajari dan menelaah “keakuan” Islamnnya tersebut merupakan suatu yang “kaffah.” Bayangan tentang malam seribu bulan (Lailatul Qadr) yang termaktub dalam al-Qur’an bisa dimaknai sebagai “inilah islamku”.
Islam anda mengusung semangat keberagaman (pluralitas) yang menghargai keyakinan komunitas tertentu terhadap sesuatu nilai yang dianutnya. Kata Anda menunjuk pada suatu “kebenaran” yang diyakini bersama oleh sementara orang terhadap suatu hal yang diperolehnya atas dasar kenyataan bahwa mereka percaya terhadap konstruksi nilai yang disampaikan pada mereka sebagai yang “Islami” tanpa reserve. Pada konteks ini, Gus Dur melihat kenyataan di masyarakat akan adanya –dalam Istilah bapak komunikasi Marshall McLuhan— happening. Bahwa pola happening sering kita dapatkan dalam kehidupan masyarakat tradisional tentang betapa berharganya tradisi/ritual keberagamaan mereka, terlepas itu rasional atau tidak. Di sini, Gus Dur ingin mengamini “kearifan lokal” betapa pun ia dianggap irasional, tetap saja merupakan kenyataan yang “tak terbantahkan” yang semestinya dihargai. Mengutip seorang Antropolog, Levis Strauss, yang dalam petualangannya bertahun-tahun di pedalaman Amerika Latin menemukan, bahwa betapapun sesuatu itu dianggap mitos, tetapi tetap memiliki makna bagi masyarakat tersebut, yang, tentu saja tidak cukup hanya dilihat dengan kacamata epistemologi modern.
Sementara itu, Islam Kita terkait dengan upaya memikirkan masa depan Islam secara menyeluruh. Makna kita berarti bentuk ekspresi kepedulian terhadap jangkauan islam dalam menghadapi tantangan zaman yang sedemikian kompleks. Ia dirumuskan oleh karena rasa prihatin terhadap masa depan agama, bagaimana mewujudkan kemaslahatan bersama kaum muslimin. Dalam islam kita ini dibutuhkan seorang yang mampu berpikir dan merumuskan agenda umat selanjutnya. Inti dari Islam kita adalah upaya “merangkul” Islamku dan Islam Anda. Apakah mungkin? Gus Dur sendiri menyadari tidak kurang sulitnya merumuskan islam kita itu sendiri. Karena justru islam kita memiliki kecenderungan memnopoli tafsir terhadap realitas “kebenaran”.
Di satu sisi islamku jelas berbeda dengan islam anda baik dari segi bentuk dan isinya. Islamku bertitik pangkal pada process of becoming berupa pengalaman pribadi seperti yang dialami dan dilakukan Gus Dur, sementara Islam Anda berujung pada sebentuk “keyakinan” yang diterima masyarakat sebagai suatu “kebenaran” seperti halnya tentang seorang Gus Dur sebagai tokoh bangsa yang bisa saja dianggap “wali” oleh komunitas tertentu sehingga –bisa saja— masyarakat dengan rela berduyun-duyun sekadar untuk bersalaman dengannya, betapa pun M. Syafi’i Anwar –penulis untuk pengantar untuk buku ini— menganggapnya sebagai manusia biasa yang mustahil can do no wrong. Pada akhirnya pengarang buku ini adalah orang yang sangat mungkin ditunjuk sebagai Islam Kita atas kontribusi pemikirannya bagi kepentingan islam ke depan. Pada titik wajah pemikiran Islam “serba” Gus Dur inilah buku ini menjadi penting untuk dibaca dan dikritisi.
*Presensi adalah mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Brawijaya Malang dan Penulis Buku Matinya Dunia Cyberspace (LKiS, 2005) yang saat ini sedang aktif dalam komunitas diskusi Mazhab Tlogomas.

No comments:

Post a Comment