Tuesday, March 27, 2007

SELAMAT DATANG SEMESTA DIGITAL: SELAMAT TINGGAL TUHAN

SELAMAT DATANG SEMESTA DIGITAL: SELAMAT TINGGAL TUHAN[1]
Oleh: Astar Hadi[2]

Abstrak

“Cyberspace, akhirnya saya sadari, telah menghadirkan perkawinan antara dekonstruksi dan teknologi komputer –keduanya adalah monster, apalagi jika dikawinkan.”
Mark Slouka
Ruang Yang Hilang: Pandangan Humanis tentang Budaya Cyberspace yang Merisaukan, Mizan, Bandung, 1999, hal. 67

Cyberspace adalah sebuah embrio raksasa yang lahir karena hasil perselingkuhan antara bahasa dan teknologi. Bahasa merupakan seorang ibu yang pada saat kehamilannya ngidam buah dekonstruksi Derrida, sementara teknologi adalah sang bapak bernama “Bill Gates” yang mencari nafkah dengan bercocok tanam dan berburu di Lembah Silikon.

Kata Kunci: Cyberspace, Bahasa (metafora), posmodernisme.

Pendahuluan
Berawal dari Revolusi Johannes Gutenberg berhasil menyempurnakan mesin tulis pada tahun 1440 atau abad 16, yang telah memungkinkan berlangsungnya transmisi pemikiran, pendapat dan informasi kepada sejumlah besar orang melalui media cetak. Empat abad kemudian, tepatnya abad 19, menjadi periode histories yang sangat krusial sebagai tonggak ke arah bermacam-macam perubahan perubahan radikal di abad 20. Pada periode tersebut, paling tidak ada dua bentuk teknologi komunikasi baru yang diperkenalkan kepada publik. Yang pertama adalah fotografi, instrument pertama yang dipakai untuk menangkap dan merekaulang realitas visual melalui proses-proses mekanis dan kimiawi, yang ditemukan pada tahun 1880-an. Sekitar tahun 1880 metode ini berkembang dalam penyempurnaan sebuah metode untuk memproduksi foto-foto dalam media cetak. Yang penting dari ditemukannya perangkat fotografi tadi adalah upaya menggulung gambar-gambar (objek) bergerak dan tidak bergerak menjadi sebuah representasi realitas yang telah ada. Perkembangan ini kemudian beranjak dengan cepat pada tahap kedua, yaitu ditemukannya teknologi gambar bergerak (motion picture) yang juga tumbuh pada periode itu. Gambar bergerak atau yang dikenal pertama kali di Inggris dengan sebutan “bioscope” juga digunakan untuk hal yang sama, karena ia tidak lain adalah presentasi visual dari gerak-gerak aktual dari realitas kehidupan.
Marshall McLuhan (1999: 248-254) –yang disebut-sebut sebagai bapak komunikasi— menyebutkan melalui film pada dasarnya kita memang telah menggulung dunia nyata dalam sebuah gulungan untuk menggelarkannya kembali sebagai sebuah karpet fantasi yang ajaib. Film adalah adalah sebuah perkawinan spektakuler antara teknologi mekanis lama dan dunia elektronik yang baru dalam menghadirkan fantasi-fantasi pada penontonnya. Film mennawarkan komoditas konsumsi paling ajaib, yakni mimpi-mimpi sebagai produk. Ia telah menjadi sebuah medium yang bias menawari rakyat miskin peran-peran tentang kekayaan dan kekuasaan yang berada di seberang jangkauan mereka dalam hidup sehari-hari.[3]
Bahkan dengan analisis yang tajam, McLuhan menyebutkan bahwa media adalah pesan itu sendiri, dan pada akhirnya media merupakan sebuah realitas, sebuah ekstensi manusia.[4]
Lebih jauh, perkembangan teknologi komunikasi dan informasi tidak saja sekadar representasi gambar bergerak dari sebuah system kerja mekanik, alih-alih, ia mengalami pembiakan fungsi menjadi system berpikir manusia. McLuhan bahkan dengan tegas mengamini proses transformasi teknologi dan memprediksi bahwa terjadinya peralihan dari era teknologi mekanik ke era teknologi listrik di Barat berimplikasi pula pada fungsi teknologi sebagai kendaraan berpikir dan kerja manusia menuju perpanjangan tahap selanjutnya, yakni perpanjangan dari badan dalam ruang menuju perpanjangan sistem saraf.
Titik pengungkapan dari hegemoni media yang sebelumnya didominasi dunia komunikasi massa, menemukan momentumnya ketika komputer personal mulai dikembangkan dengan pembuatan mesin Altair 800 tahun 1974. Tidak jauh berselang, pada tahun 1984, diperkenalkan Macintosh yang menyediakan kemudahan-kemudahan bagi para pengguna (user) tanpa harus belajar susah-payah cara-cara mengoperasikan komputer. Tinggal memencet tombol (mouse), berbagai “hidangan siap saji” langsung tampil di layar monitor. Pada perkembangan selanjutnya, mengikuti hikmat Budiman (2002; 76), memakai komputer kemudian jadi satu peristiwa yang ikonis sifatnya; ia menjadi satu indikasi awal tentang makin pudarnya daya paksa dan indoktrinasi konsepsi-konsepsi tradisional masyarakat Barat tentang kerja, tentang kepuasan, tentang prestasi, dan cara pandang mereka terhadap dunia. Cikal bakal optimisme McLuhan tentang sebuah perkampungan global (global village) dan khayalan William Gibson tentang halusinasi sensual manusia dalam Neoromancer, bernama cyberspace.

B. Cyberspace sang Bayi Raksasa
Ya, kata cyberspace pertama kali diperkenalkan oleh William Gibson melalui karya science fiction-nya, Neoromancer, sebagai sebuah “…halusinasi yang dialami oleh jutaan orang setiap hari… (berupa) representasi grafis yang sangat kompleks dari data di dalam system pikiran manusia yang diabstraksikan dari bank data setiap komputer.”[5] Cyberspace menawarkan manusia untuk “hidup” dalam di dalam dunia alternative; sebuah dunia yang hendak mensubstitusi realitas dengan mengambil alih dan menggantikan realitas yang ada, yang lebih menyenangkan daripada kesenangan yang ada, yang lebih fantastis dari fantasi yang ada, yang lebih erotis dari erotisme yang ada. Cyberspace adalah sebuah “ruang” pengembaraan terhadap berjuta pesona yang diciptakan teknologi komunikasi digital tanpa adanya batas-batas cultural, hilangnya tabu-tabu sosial, melekatnya pencarian terhadap ketidakpastian dan ketidakstabilan nilai, yang oleh Mark Slouka disebut, ruang hampa etika (ethical zero zone).
Cyberspace adalah makhluk aneh yang lahir akibat gembar-gembor postmodern yang mengembangkan sikap-sikap ideologis yang pekat dengan warna dan bahasa “pengingkaran”, antara lain kebebasan informasi, ketidakpercayaan terhadap otoritas, pengingkaran terhadap segala bentuk kekuasaan, desentralisasi, kehidupan do it yourself, kebebasan penjelajahan melampaui setiap tapal batas (terlarang). Dan realitas cyberspace, dalam kaitannya dengan pemrograman sistem komputer, merupakan sebuah embrio raksasa yang proses kelahirannya tidak terlepas dari “ideologi” cyberist di balik penciptaannya. Keterkaitan “ideologi” ini tentu saja tidak lepas dari konteks zaman yang sarat dengan pesona “ketidakpastian” dan “ketidakstabilan”, sebagaimana disiratkan Derrida dengan dekonstruksinya.
Untuk memahami realitas ini, kita perlu mengaitkan realitas dunia maya ini dengan pemikiran-pemikiran para “ideolog” atau “visioner” yang menjadi model acuan ideologis dalam penciptaan program komputer. Siapakah mereka? Para cyberpunk.
Cyberpunk adalah para penulis fiksi ilmiah yang muncul sejak 1980-an dengan ideologi mereka yang sangat dipengaruhi oleh berbagai gerakan “pengingkaran” pada dekade 1960-an. Mereka menaruh perhatian besar pada teknologi informasi, di samping mereka adalah para punk dengan segala sifatnya yang khas: anak-anak muda yang cenderung liar, semangat pemberontakan yang kuat, pakaian dan gaya rambut yang aneh, sikap politik yang ganjil. Singkatnya, mereka adalah “pembuat masalah”. Mereka bukanlah programmer atau pakar hardware komputer, tetapi mereka meletakkan “landasan ideologi” cyberspace lewat tulisan-tulisan fiksi ilmiah yang bersifat visioner. Mereka mempunyai pengikut global yang tersebar di berbagai jaringan media. Pandangan hidup mereka oleh sebagian orang dinilai “sakit” dan “gelap”—sebuah gambaran pandangan hidup generasi subkultur ‘60-an pada umumnya.

C. Bersama-Sama Membunuh Tuhan
Friedrich Nietzsche yang sering dikaitkan dengan filsuf postmodern meramalkan bahwa gerak sejarah akan mengarah kepada suatu bentuk nihilisme radikal. Nihilisme ini tidak saja berbunyi “Tuhan sudah mati”, akan tetapi Tuhan yang memang tidak pernah ada bagi Nietzsche, merupakan “kebenaran” yang tidak perlu dipersoalkan lagi. Tuhan yang dulu pernah diberikan kesempatan hidup oleh manusia, kini secara beramai-ramai kita membunuh dan menguburnya karena Tuhan “tidak sanggup bertahan” ditengah hiruk-pikuk nihilisme itu sendiri.[6] Bahwa proses kematian Tuhan tak dapat dielakkan. Jaminan kebenaran absolut sudah kehabisan darah dan energinya, karena nilai-nilai yang diturunkannya telah hilang, telah diambil alih, oleh “kebenaran” baru dari jargon posindustri. Menurut Nietzsche, manusia harus bebas dari segala makna absolute yang menjamin dirinya dan dunianya. Manusia sendiri harus menciptakan dunia dan memberinya nilai
Bersamaan dengan itu, konsep tentang ketuhanan (teologi) yang Maha Tinggi, pada akhirnya terkikis oleh kemunculan teknologi komunikasi digital yang memproklamirkan dirinya sebagai (t)uhan baru digital. Kehadiran Tuhan sebagai wujud spirit dan religi manusia semakin berubah yang secara historis mengikuti tiga fase utama. Fase pertama yang disebut teosofi di mana ‘penampakan’ Tuhan hadir hampir di seluruh aktivitas manusia, membatasi gerak-gerik manusia. Fase yang kedua dikenal sebagai teknosofi di mana ‘kehadiran’-Nya ditandingi oleh kemajuan teknologi. Fase ketiga disebut libidosofi, ketika dunia dikuasai oleh citra, gagasan dan obyek yang merupakan refleksi hasrat manusia.[7]
Selama setengah abad dunia dikuasai oleh teknosofi, dalam keilmuan menghadirkan ilmuwan-ilmuwan moderen beserta penemuannya, dalam teknologi meningkatnya kapitalisme dan perang dunia, dan berkembangnya Arsitektur Moderen hingga tahun 1960-an yang menguasai perkembangan dunia. Transisi kemudian terjadi dengan munculnya budaya pop-art, postmodernisme, dekonstruksi dan dunia digital. Menjelang akhir milenium dunia baru hadir, dunia global, dunia informasi, kita kenal sebagai cyberspace.
Gegap gempita dunia cyberspace membuat gegar dan panik, tak luput pula kesenjangan terjadi, terutama di negeri yang tak mampu mengadaptasi perubahan yang cepat. Dunia baru tanpa tatanan yang matang ini telah memanjakan hasrat masyarakat, sekaligus menciptakan manusia baru yang aktif menyalurkan hasratnya melalui dan membuat teknologi di cyberspace.
Cyberspace telah dianggap sebagai ruang publik yang bebas, sebagai alternatif dari ruang publik alun-alun, balaikota atau gedung parlemen. Namun sisi buruk yang muncul adalah ketika manusia salah mengartikan kata bebas menjadi vandalisme dan berlindung di balik anonimitas dan identitas-identitas semu.
Pada kenyataanya, cyberspace merupakan wujud simulacrum tempat di mana seluruh aktivitas jiwa dan pelepasan hasrat manusia dituangkan secara bebas tanpa batas melalui simulasi-simulasi digital yang tanpa asal-asul atau referensi realitas. Hal ini berarti bahwa bahasa cyberspace memproduksi dan mensimulasi simbol-simbol kebahasaan lewat produksi citra atau simulasi tanda. Dalam Simulations, Baudrillard menjelaskan bahwa “… dalam sistem simulasi, sebuah tanda tidak mengacu pada suatu referensi apa pun. Simulasi adalah penciptaan model-model realitas tanpa asal-usul atau referensi realitas.” Jadi, dalam konteks bahasa cyberspace, setiap makna, setiap tanda ataupun citra tidak lagi mengacu pada realitas sesungguhnya. Ia hanya merupakan permainan bahasa yang tidak ditujukan untuk mencapai komunikasi pesan yang efektif dan kedalaman makna komunikasi itu sendiri, melainkan sekadar kesenangan bermain dengan bahasa dan kenikmatan yang disebut Roland Barthes sebagai jouissance, atau yang diistilahkan Baudrillard sebagai “ekstasi komunikasi”.[8]
Dalam wacana hipertualitas (hyper-ritual), konteks ritual keagamaan dalam cyberspace, adalah realitas ritual yang tidak lagi mengacu pada realitas dunia nyata atau prinsip asali yang membangunya sebagai referensi. Artinya, wacana keagamaan yang pada dasarnya merupakan mekanisme pengendalian diri, dalam cyberspace hasrat dikendalikan oleh deru mesin hasrat kapitalisme sebagai (t)uhannya. Bahwa segala sesuatu beranjak melampui titik ekstrim yang digariskan Tuhan. Ketika berbagai aspek ritual keagamaan dengan model yang dicontohkan mulai spirit keagamaan –al-Quran dan al-Hadits misalnya— secara hakiki tidak lagi saling berkaitan, justeru kontradiktif. Yang berkembang adalah berbagai bentuk budaya materialisme dan gaya hidup yang menyertainya justeru bertentangan dengan hakikat ritual itu sendiri sebagai ruang penyucian jiwa, lewat berbagai bentuk tanda (sign), citra (image), gaya (style), ilusi prestise, gaya hidup (life style), dan pesona objek (fetishism) yang ditawarkan di dalamnya.[9]
Tuhan pada akhirnya, hanyalah sebatas ide-ide tentang adanya kekuatan simulacrum yang menjadi tandingan ke-maha-annya. Cyberspace sebagai perpanjangan dari teknologi digital menjadi alternatif teologi “pembebasan” terhadap ketertindasan dan kezaliman dunia nyata, dengan beralih kepadanya, berarti manusia telah menemui “pencerahannya” untuk bertindak bebas (free will), sebebas-bebasnya, untuk meraih ekstase spritualitas yang tidak ia dapatkan dalam agama-agama formal (organized religion). Tuhan telah mati, mati karena “ketidakberdayaannya” melawan sejarah yang diciptakan kapitalisme dengan teknologi komunikasi dan informasinya.
Buku Mark Slouka, War of The World: Cyberspace and the High-Tech Assault on Reality, atau dalam versi Indonesia Ruang Yang Hilang: Pandangan Humanis Tentang Budaya Cybersapace Yang Merisaukan, adalah bentuk ekspresi kekecewaan lain terhadap dunia realitas virtual. Slouka menangisi hilangnya realitas-realitas masa lalu kita yang di dalamnya terkandung realitas yang jauh lebih bermakna, jauh lebih jujur, dan jauh lebih arif. Slouka menyayangkan dinamika kehidupan manusia yang tenggelam dalam realitas semu yang justru menjadikan kita seperti orang dungu, dan menjadikan kita secara kolektif seperti bocah-bocah yang mudah ditipu. Kita sudah telanjur (atau memang sengaja?) percaya terhadap apa yang dikatakan pada kita, menerima apa yang disuguhkan kepada kita, menelan bulat-bulat menu yang disajikan pada kita atau membeli apa yang dijual pada kita. Ini membuat kita terperangkap dalam sebuah dunia yang menjadikan diri kita sebagai silent majorities (Slouka, 1995: 2). Aktivitas yang kita lakukan hanyalah sebuah kedok kebisuan yang dibungkus oleh semangat ekstasi representasi realitas dalam ruang-ruang maya.
Daftar Bacaan
Al-Fayyadl. Muhammad. Derrida. LKiS. Yogyakarta. 2005.
Baudrillard, Jean. 1981. Simulations, New York: Semiotext(e).
Budiman, Hikmat. Lubang Hitam Kebudayaan. Kanisius.Yogyakarta. 2002.
Hadi, Astar. Matinya Dunia Cyberspace: Kritik Mark Slouka terhadap Jagat Maya, LKiS, Yogyakarta. 2005.
McLuhan, Marshall. Understanding Media: The Extension of Man. Cambridge, Massachusets: MIT Press. 1999.
Pilliang, Yasraf Amir. 1998. Sebuah Dunia yang Dilipat: Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Posmodernisme. Bandung: Mizan.
____. Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika. Jalasutra. Bandung. 2004.
____. Dunia yang Berlari: Mencari tuhan-tuhan Digital. Grasindo. Jakarta. 2005.
Slouka, Mark, Ruang yang Hilang: Pandangan Humanis tentang Budaya Cyberspace yang Merisaukan (terj.). Mizan. Bandung. 1999.
Sunardi, ST. Nietzsche. LKiS. Yogyakarta. 1996.
Zaleski, Jeff. Spritualitas Cyberspace: Bagaimana Komputer Mempengaruhi Kehidupan Keberagamaan Manusia (terj.). Mizan. Bandung. 1999.





[1] Makalah ini disampaikan dalam acara Bedah Buku berjudul Matinya Dunia Cyberspace: Kritik Mark Slouka terhadap Jagat Maya (LKiS, Yogyakarta, 2005), atas kerja sama dengan Persona, Fakultas Psikologi UMM, 07 Desember 2006 yang juga pernah disampaikan pada Bedah Buku oleh Jurusan Ilmu Komunikasai, FISIP, UMM.
[2] Astar Hadi adalah alumni Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP, UMM, dan penulis buku Matinya Dunia Cyberspace: Kritik Mark Slouka terhadap Jagat Maya (LKiS, Yogyakarta, 2005) yang saat ini sedang menempuh Program Pasca Sarjana jurusan Administrasi Publik, di Universitas Brawijaya, Malang. Saat ini peulis aktif dalam lingkar diskusi Mazhab Tlogomas.
[3] Untuk uraian yang sangat menarik tentang bermacam-macam jenis media massa, baca McLuhan, Understanding Media: The Extension of Man, 1999.
[4] Dalam analisisnya, tidak sekali pun McLuhan menyebut kata cyberspace sebagai media yang ingin diungkapkannya. Selain karena pada waktu itu belum lahir media seperti yang ada sekarang, secara deskriptif-analitis ia menggambarkan bahwa otomatisasi teknologi komunikasi nantinya tidak saja mampu berpikir dan bekerja, tapi juga menjadi perpanjangan badan dan ruang menuju sistem saraf. Media adalah (tanda) ekstensi kita. Ia juga harga yang menentukan energi kita dan mengkonfigurasi kesadaran dan pengalaman kita. Dan menurut hemat penulis, apa yang ditunjuk oleh McLuhan sebagai otomatisasi teknologi tersebut menemukan ungkapannya yang paling tepat di media cyberspace (Internet) sekarang ini. Lihat Marshall McLuhan, Understanding Media: The Extension of Man, (Cambridge & Massachusetts: MIT Press, 1999), hlm. 21.

[5] William Gibson, Berkeley Publication Group, 1984.
[6] ST. Sunardi, Nietzsche, LKiS, Yogyakarta, 1996, hal. 29-30.
[7] Yasraf Amir Piliang, Dunia yang Berlari: Mencari tuhan-tuhan Digital, Grasindo, Jakarta, 2005.
[8] Baudrillard, Jean. 1981. Simulations, New York: Semiotext(e).

[9] Yasraf Amir Piliang, Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika

No comments:

Post a Comment