Tuesday, March 27, 2007

“Kembalinya Moral Melalui (Kuasa) Seks”

“Kembalinya Moral Melalui (Kuasa) Seks”
Oleh: Astar Hadi*
Dalam beberapa bulan terakhir, kuasa seks, yang sebelumnya oleh banyak kalangan, dianggap wilayah privat, kini muncul kembali menjadi otoritas dan wacana publik yang berusaha untuk dibela, disingkirkan, dan –mungkin juga— “diagamakan.”
Dari kasus heboh gambar syur anggota DPR bersama artis sampai pro-kontra terhadap poligami tokoh agama yang cukup “mengejutkan”, yang terjadi hampir secara bersamaan ini, membangkitkan kembali libido pengetahuan dan keingintahuan kita. Bahwa, seks, ternyata tidak pernah mau ketinggalan kereta dari hingar-bingar politik, korupsi, HAM, Lapindo, yang setahun terakhir menjadi wacana dominan publik dan media.
Lantas, apakah kedua kasus tersebut memiliki modus yang sama? Pada titik tertentu, keduanya jelas berbeda. Yang satu, mungkin saja dikutuk, dihujat, dibenci, karena ia dilakukan tanpa melalui prosesi yang “layak” dan diizinkan. Sementara yang satunya lagi, ada yang mengkritik, ada yang membela, karena ia mengikuti “sunnah” dan diamini oleh “kebenaran” agama (syari’at Islam).
Pada titik yang lain, keduanya memiliki –untuk tidak mengatakan sama persis— kemiripan. Baik yang pertama dan yang kedua sama-sama terkait dengan wanita, kuasa, dan wacana. Pada titik ini, keduanya menyangkut persoalan moralitas, etika, prilaku, dan “cermin” wajah bangsa kita yang sampai sejauh ini masih mencari pengungkapannya.
Walaupun kedua kasus ini berbeda secara diametral, pada kenyataannya, manifestasi banalitas dan binalitas terhadap keduanya memperlihatkan suatu bentuk citra “keangkuhan” patriakhal yang mendominasi sampai sisi-sisi subtil bangunan sosial yang secara tidak langsung mengusik kesadaran masyarakat tentang paradoks seks dan kekuasaan.
Panoptisme Kuasa dan Seks
Sejarah telah membuktikan bahwa kuasa dan seks selalu berjalan beriringan dan saling “merangkul” satu sama lain. Dari sejak zaman Yunani Kuno sampai era modern sekarang ini, adagium yang cukup popular, yaitu: glory, gold and gospel atau harta, tahta dan wanita menjadi sesuatu yang sudah “lazim.”
Pada fase sejarah, raja-raja masa lalu, di samping harta dan kekuasan yang dimilikinya, rata-rata dikelilingi oleh wanita-wanita cantik (gundik) yang “mengahamba” padanya. Bahkan, presiden pertama Indonesia, Soekarno, terkenal dengan “keakrabanya” dengan sejumlah wanita dari berbagai latar belakang suku-bangsa.
Terkait ini, salah satu tokoh intelektual kritis asal Perancis, Michel Foucault, menaruh minat besar terhadap dialektika seks dan kekuasaan. Dengan menjelajah arsip-arsip kuno, Foucault menemukan bagaimana kuasa dan seks yang dalam tradisi Victorian abad XVIII di Inggris begitu direpresi dan dikontrol pemerintah dengan amat ketat, justru mampu berbicara dengan fasih, bahwa semakin ia ditekan dan direpresi dalam bilik-bilik pengantin, seks semakin memperlihatkan kuasanya.
Penelusuran historis Foucault menghasilkan kesimpulan yang asimetris. Seks, sebaliknya, semakin meledak, berkeliaran, dan menyebar dalam berbagai bentuk wacana. Alih-alih menghilang, perbincangan tentang seks justru berebut memasuki ruang publik (Donny Gahral Adian, Basis edisi Januari-Februari 2002).
Menilik pada perkembangan media massa dewasa ini, berbagai corak dan ragam media berbasis seksis menemukan ruangnya di tengah histeria publik terhadap dinamika seksualitas. Pesatnya pertumbuhan media bersamaan dengan era pers bebas di Era Reformasi sekarang ini sekaligus membuka jubah-jubah moralitas publik yang begitu dijaga pencitraannya oleh Rezim Soeharto dengan (model) panoptikon-isasi tabu-tabu sosial.
Panoptikon adalah mekanisme kontrol menyeluruh terhadap system kuasa yang dibangun kerajaan Orde Baru untuk mengawasi segala hal terkait subversi atau citra buruk (pseudo signs) kekuasaan. Dengan dalih menjaga “moralitas” bangsa, kekuasaan menjelma menjadi bayang-bayang menakutkan yang menghantui berbagai aktivitas publik. Berbagai bentuk aktivitas selalu dicurigai, dibatasi, ditekan sedemikian rupa untuk menjaga harmonisme kekuasaan.
Sistematisasi model panoptik –seperti sketsa rancangan penjara panoptic yang dirancang Jeremy Bentham— mengisyaratkan harus adanya pusat kuasa sentralistik yang menjadi tempat beroperasinya nilai-nilai, norma dan hukum yang mengatur berjalannya disiplin sosial. Panoptisme tidak mengandaikan pengawasan secara langsung, akan tetapi ia dirancang dengan teror-teror citra kekerasan, membangun trauma psikologis massa, represi wacana (bahasa), yang dibentuk sedemikian rupa seolah-olah di setiap ruang publik ada yang selalu memata-matai (surveillance).
Efek domino kekuasaan panoptik ini mampu merasuki setiap tubuh sosial sampai ke bilik-bilik rahasia pasangan yang sedang merenda malam bahagianya. Dengan kontrol “kamasutra” kekuasaan, berbagai bentuk hasrat hanya mampu menggumam tidak puas. (Wacana) seks, yang seharusnya “bebas” melakukan penetrasi kebinalan, kenakalan, dan kegilaannya, justru bersembunyi dalam selimut norma karena merasa takut pada imbas “politik”, yang berarti, “ini kelainan seksual Bung!”, teriak dunia medis dan psikiatris.
Untuk menariknya lebih jauh, negasi seks oleh kuasa tidak bisa dipandang sebagai hancurnya moralitas dan etika individu-individu oleh karena dibukanya kran kebebasan selebar-lebarnya. Secara historis, seks dan kekuasaan memang selalu bergandengan akan tetapi saling menafikan, “tidak mesra.” Logika kekuasaan adalah logika discipline and punish; mengekang, mengontrol, merepresi objeknya. Sebaliknya, logika seks adalah logika pemenuhan hasrat, mengumbar, melepas, membuncahkan diri pada objeknya. Lantas bagimana mendamaikan keduanya?
(Kuasa) Seksualitas untuk Moralitas
Mengadili moralitas (politik dan social) sangat mungkin dan niscaya tatkala seksualitas public figure merasuki ruang publik. Menilik kembali pada kasus gambar syur anggota DPR dengan seorang artis dan kasus poligami tokoh agama yang sempat menjadi pro-kontra tersebut, keduanya terkait dengan “problematisasi” seks dan kuasa. Artinya, keduanya menunjuk pada klaim bahwa mereka adalah figur publik yang “wajib” diadili dalam konteks wacana “kebenaran” moral.
Problematisasi –istilah yang digunakan Foucault untuk meneropong peristiwa-peristiwa tertentu secara detil dengan metode arkeo-geneaologi (juga hermeneutika)— dalam konteks kedua kasus tersebut dimaknai sebagai lokus budaya Indonesia dewasa ini yang nyata-nyata merupakan “problem” arkeo-geneaologis yang dipertentangkan dengan logika moral bangsa Indonesia.
Di sini, terlepas apakah pada titik tertentu poligami merupakan sesuatu yang diterima dalam konteks syari’at, tapi pada kondite moral-etik tetap dianggap sebagai sesuatu yang “bias gender”, “tidak adil”, “abnormal”, oleh sementara kalangan, lebih-lebih, oleh para pejuanga feminisme di Indonesia. Demikian pula dengan kasus yang dialami Yahya Zaini-Maria Eva (YZ-ME), kendati hubungan intim itu dilakukan atas dasar sama suka dan bersifat privat, tetap saja menyangkut moralitas politik yang ujung-ujungnya berupa “kecongkakan” kuasa patrialkhal atas seks (wanita).
Problematisasi seks dan kuasa ini menghasilkan sebuah etika diri yang secara jujur bercerita (truth telling) bahwa kesadaran diri manusia –betapa pun religiusnya kita, betapa pun YZ meng-counter ME melalui jalur hukum— akan keberadaannya sebagai subyek seksual secara nyata merepresentasikan dirinya melalui keinginan, nafsu, hasrat sebagai kehendak untuk berkuasa.
Sekali lagi, seks mampu membongkar tatanan mapan moralitas politik, moralitas agama, pada bentuknya yang kontras, bahwa melalui seks kita tidak bisa menipu diri, tidak bisa bersembunyi dari “citra diri” sebagai subyek yang “will to power.” Isn’t it?
*Astar Hadi adalah Mahasiswa Fakultas Administrasi Publik Universitas Brawijaya Malang, penulis buku Matinya Dunia Cyberspace (LKiS, 2005) dan saat ini aktif dalam lingkar diskusi Mazhab Tlogomas.

No comments:

Post a Comment