Tuesday, March 27, 2007

Dicari, Capres Anti Neoliberalisme
Oleh: Astar Hadi**

Seperti pada tahun sebelumnya, setiap mendekati momen penting pesta demokrasi, gejolak politik Indonesia semakin menghangat. Mulai dari manuver-manuver (partai) politik menjelang Pemilu (pemilihan umum) sampai persoalan siapa yang bakal menjadi calon presiden RI sedari awal sudah bergaung. Dari isu serangan fajar, politik dagang sapi, jual beli suara dan –ini yang terpenting— siapa yang bakal mendapatkan jatah pembagian kue nasional yang paling “lezat” akan ditentukan melalui pemilihan presiden secara langsung pada 2009 nanti.
Kali ini, seperti halnya pada Pemilu 2004 silam, wacana yang sedang berkembang adalah mengenai kualifikasi calon yang paling pantas menggenggam tumpuk kekuasaan RI yang ke 5 sejak tumbangnya Rezim Soeharto. Wacana yang sama menyangkut kriteria capres masih berputar pada persoalan layak tidaknya Indonesia dipimpin oleh kandidat yang bukan sarjana alias lulusan Strata 1 (S1).
Hampir bisa dipastikan, eskalasi pergulatan wacana dan debat publik antar fraksi di DPR akan mengalami “kisruh” untuk dan atau tidak meloloskan syarat S1 capres yang akan melaju pada pertarungan kursi presiden nanti. Bisa dibayangkan, bagaimana perjuangan “mati-matian” fraksi dari PDIP dan FKB. Masing-masing dari kedua fraksi tersebut, kemungkinan besar mencalonkan Megawati dan bisa jadi mengusung kembali nama Gusdur (Abdurrahman Wahid) yang notabene keduanya tidak mempunyai Ijazah Sarjana!
Yang menjadi pertanyaan kemudian, apakah lantas seorang yang telah meraih gelar sarjana bisa menjadi jaminan Negara kita mampu lepas dari krisis multidimensional yang kita alami sekarang ini? Atau, apa mungkin orang yang “hanya” tamatan SMA sanggup memimpin Negara kepulauan yang begitu besar yang berdasarkan HDI (human development index) terbaru menempati urutan 110 dunia yang masih terpaut jauh dari Negara tetangga di ASEAN, seperti Thailand, Singapura, Filipina dan –lebih-lebih— Malaysia? Semendesak itukah RUU tentang criteria capres yang sedang digodok di DPR tersebut?

Paradoks itu Bernama Capres
Merunut pada sejarah kepemimpinan di Indonesia, dulu dan kini, tentu saja kita memiliki pemimpin-pemimpin “besar”. Terlepas dari kelemahan yang ada, Soekarno-Hatta mungkin dua nama yang memiliki gaya kepemimpinan yang cukup istimewa baik secara keinteletualan dan keberanian menolak intervensi asing dan memiliki konsep ekonomi kerayatan yang “orisinil”. Kata-kata seperti “Inggris kita linggis, Amerika Serikat kita sikat” mungkin masih ada dalam benak kita, walaupun kita coba untuk melupakannya. Seoeharto, sang “Bapak Pembangunan” sempat menggebrak public internasional dangan kebijakan pembangunan sector agraria pada dasawarsa 1980-an yang terkenal dengan “Revolusi Hijau”, lepas dari korban yang hampir tidak terpublikasi.
Sementara itu, setelah melewati kedua rezim tersebut, di Era Reformasi ini, kita pernah dan sedang dipimpin oleh sejumlah presiden yang bergelar Profesor dan Doktor Honoris Causa –BJ. Habibie dan Susilo Bambang Yudhoyono— sekaligus dan dua lainya tidak bertitel sarjana sama sekali tetapi memiliki citra populis di masyarakat.
Keempat presiden tersebut memiliki keistimewaan masing-masing. Habibie, dikenal sebagai presiden yang membuka tonggak menuju demokratisasi dengan membuka kran kebebasan berpendapat, free press dan kebebasan politik yang telah lama disumbat pada masa Orde Baru. Gusdur yang terkenal kontroversial tetapi mampu merubah cara pandang kita tentang bagaimana hubungan antar etnis, pluralisme, toleransi dan lain-lain. Megawati, menjadi “antitesis” terhadap jiwa patriarkhal bangsa kita yang turun-temurun menempatkan wanita “hanya” sebagai ibu rumah tangga dan pelayan di kasur. Sementara Yudhoyono merupakan presiden pertama dalam sejarah Indonesia yang dipilih melalui Pemilu secara langsung yang dalam prosedur demokrasi dianggap lebih memiliki legitimasi dan legalitas yang kuat di mata publik dari pada sistem pemilu sebelumnya.
Dari deskripsi penulis di atas, dapat dipahami bahwa presiden yang pernah dimiliki masyarakat Indonesia pasca Soeharto, sekurang-kurangnya, telah memberikan andil yang cukup signifikan terhadap dinamika sosial-politik yang warna-warni di tanah air yang warna-warni ini. Tentu saja, dengan kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, masyarakat menjadi cukup mengerti kualifikasi calon yang laik menjadi capres.
Ironisnya, dalam konstelasi politik tanah air, fenomena diskursif capres lebih banyak diwarnai konflik dan atau agregasi kepentingan yang, alih-alih untuk kepentingan rakyat, ia justru berujung pada kekuasaan seperti halnya dalam adagium ilmu politik yang mengatakan “who gets what”; siapa mendapatkan apa.
Inti dari semuanya adalah “bagaimana agar kue-kue itu bisa dinikmati oleh para “koki” politik yang membuat adonannya sedemikian rupa”. Sementara rakyat hanya bisa menelan air liur sendiri. Dengan demikian, kemungkinan mentoknya RUU tersebut cukup besar seperti halnya yang terjadi pada pra-Pemilu 2004 yang lalu.
Debat kualifikasi capres memang penting untuk proses pembelajaran demokrasi ke depan. Tapi RUU Capres tersebut tidak mendesak! Lebih-lebih menyangkut syarat-syarat kepantasan ’harus S1’. Dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia, Eep Saifullah Fatah, menegaskan bahwa jika melihat konteks capres di luar negeri yang rata-rata menggunakan kriteria intelektualitas –dalam hal ini harus S1— memang penting sebagai komitmen bangsa untuk membangun SDM Indonesia ke depan. Akan tetapi syarat S1 ini, imbuhnya, merupakan paradoks jika dipakai dalam konteks politik Indonesia saat ini karena terkait juga dengan toleransi politik (Jawapos, 19/03/07)
Menurut hemat penulis, daripada harus ribut-ribut soal penggodokan RUU Capres di DPR yang justru akan menghabiskan banyak energi dan juga biaya, yang juntrung-juntrungnya konsensus politik dagang sapi, tegangan-tegangan politik menjelang Pemilu 2009 sebaiknya difokuskan pada bagaimana menyelesaikan program pemerintah di sisa-sisa pergantian rezim ini. Karena pada kenyataannya, pengalaman pada pra-Pemilu 2004 silam ternyata tidak mampu memberi impuls positif bagi kemaslahatan rakyat sekarang ini, meski kita dipimpin presiden Sarjana. Program-program pemerintah masih banyak yang belum terealisasi, seperti halnya pelunasan utang luar negeri, pemberatasan KKN, dan lain-lain.
Hal ini merefleksikan bahwa persoalan fundamental yang dihadapi Indonesia sekarang ini tidak terletak pada status atau gelar yang memadai untuk menjadi seorang pemimpin. Yang paling urgen adalah political will pemerintah yang berkuasa dalam mengejawantahkan kebijakan pelayanan yang memadai terhadap kepentingan masyarakat sebagai bentuk pelaksanaan good governance-nya. Mungkinkah?
Capres Alternatif: Anti Neoliberalisme
Sekadar mengingatkan kembali, pada awal februari 2005 yang lalu sempat heboh soal pengurangan subsidi BBM alias harga BBM naik. Dengan mengatasnamakan untuk kepentingan rakyat, pemerintah ketika itu menaikkan harga BBM sampai 30%. Efek domino kenaikan BBM ini merembet pada melonjaknya harga kebutuhan pokok, disamping mengakibatkan efek trauma psikologis bagi masyarakat dari ekonomi kelas menengah ke bawah. Pun demikian, pada bulan Maret 2006, polemik RUU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan memaksa serikat buruh turun ke jalan pada 02 Mei 2006 yang yang menganggap RUU itu hanya untuk kepentingahan penguasa dan pengusaha.
Belum lama ini, polemik impor beras yang katanya untuk memenuhi kuota pemberasan nasional yang melorot tajam demi terealisasinya harga beras murah untuk masyarakat ternyata hanya sebatas ”wacana”. Karena justru harga beras naik sampai level di atas Rp. 5 Ribu/Kg.
Belajar dari tiga priode pemerintahan terakhir pasca Reformasi 1998, persoalan kebijakan untuk rakyat semakin dilematis di saat tuntutan neoliberalisme memaksa Indonesia tunduk pada logika pasar bebas. Bahwa asumsi utama pengsusung kebijakan neoliberal setali tiga uang dengan konsep ”pembangunanisme” ala Rostow yang dijalankan rezim Orde Baru yang justru mengakibatkan mengalir derasnya utang luar negeri Indonesia dan korbannya adalah rakyat.
Anehnya, munculnya kebijakan yang berideologi neoliberalisme dewasa ini justru banyak diamini kalangan akademisi –khusunya dalam Ilmu Administrasi Publik— yang melalui tulisan-tulisannya seringkali melihat konsep good governance sama halnya 10 kriteria yang diajukan oleh David Osborne dan Ted Gaebler dalam Reiventing Government-nya. Atau dalam bahasa Antonio Giddens dalam Third Way-nya berarti “…restrukturisasi pemerintah kadang-kadang berarti pengadopsian solusi yang berdasarkan pada pasar, tetapi hal itu juga berarti penegasan kembali efektifitas di pasar.”
Salah satu logika mendasar dari 10 kriteria di atas adalah steering rather than rowing dan leveraging change through the market. Implikasinya bagi Negara berkembang seperti Indonesia yang notabene 50% lebih masyarakatnya berekonomi rendah akan semakin menyengsarakan. Betapa tidak, konsep ini hanya bisa digunakan bagi Negara-negara maju yang memiliki kemampuan ekonomi dan SDM yang memadai. Sementara Indonesia akan tenggelam dalam kubangan capital flight yang dibawa terbang ke Negara lain karena, alih-alih mengarahkan (steering) dan merubah (leveraging change) ekonomi rakyat, justru yang dilayani hanya para investor (customer/market).
Untuk itu, yang paling mendesak bagi Indonesia pada Pemilu presiden 2009 nanti adalah calon alternatif yang berani merubah paradigma kebijakan yang berorientasi good corporate governance menjadi pemerintahan yang berparadigma citizenship yang melihat warga masyarakat bukan sebagai pelanggan (serve citizens, not customer), yang melayani bukan mengarahkan (serve rather than steering) dan mampu menjalankan roda pembangunan bangsa tidak semata-mata melalui kacamata kewirausahaan yang seringkali melupakan hak-hak orang miskin hanya dengan dalih faktor kemalasan atau kesalahan kultural masyarakat (value citizenship over entrepreneurship).
Akhirnya, kebutuhan bangsa Indonesia saat ini bukan gemerlapnya lip service neoliberalisme yang merasa yakin bahwa investor berdatangan, lantas pertumbuhan ekonomi bangsa kita semakin maju. Thus, pemerintah merasa bangga dengan hitungan statistik makro ekonomi yang nyata-nyata berbanding terbalik dengan problem fundamental ekonomi mikro rakyat yang justru memprihatinkan. Altenatif capres mendatang memang memerlukan orang yang berpendidikan tinggi akan tetapi tidak lebih penting dari capres yang sanggup menciptakan pendidikan tinggi melalui system pendidikan yang memihak rakyat miskin.

*Astar Hadi adalah mahasiswa Administrasi Publik konsentrasi Kebijakan Publik Universitas Brawijaya Malang dan penulis buku ‘Matinya Dunia Cyberspace’.

Nama : Astar Hadi
Alamat : Jl. Raya Jetis, Gg. Sidodamai, No. 1, Dau, Malang, Jatim, 65151
Telp : 081803866130 / 081334128808
No. Rek.BCA : 3150702860

No comments:

Post a Comment