Thursday, March 29, 2007

Tentang Nama Blog Ini: Paralogy of Mind

Berangkat dari sebuah kegelisahan akan kecongkakan epistemologi modern yang memeta-metakan ilmu (episteme/logos) dalam konteks berpikir "rasional", "terukur", "dapat diuji", "bebas nilai (value free)", yang kemudian menghasilkan "terkungkungnya" nilai pada wilayah, yang oleh para akademisi sering disebut, ILMUAN ITU HARUS NETRAL dari segala tendensi, kepentingan-kepentingan, subjektivitas, untuk mencapai validitas temuan yang "objektif".
Ilmu, lantas diposisikan sebagai sebentuk "nilai" yang bebas dari setan-setan irasionalitas yang bisa berupa hati nurani, rasa cinta, sikap ideologis, kehendak untuk berkuasa (will to power). Sebab ilmu --yang juga kata salah seorang Dosen Pasca Sarjana ku pada saat kuliah-- itu merupakan wilayah yang tidak boleh dikaitkan dengan segala sesuatu yang bersifat ideologis, memihak. Tentunya, mengutip kata dosen ku yang sama dalam bukunya, tugas seorang ilmuwan adalah menjaga netralitas ilmu sebagai upaya memperoleh "kebenaran" yang benar-benar objektif, rasional, logis, bisa diterima semua pihak dengan "haqqul yaqin" di manapun ia berada.
Konon, ini aku baca dari buku yang lain, ilmu itu bersifat 'grand narative'; sebuah narasi agung yang secara otomatis bersifat universal. Artinya, bisa diterima oleh siapapun yang berjenis kelamin manusia, di mana pun, kapan pun, dan bagaimanapun "pasti" bisa diterima. Mengapa? Ya itu tadi. Ilmu kan bebas nilai alias tidak memihak, objektif alias tidak selingkuh dengan sikap subjektif, bisa dibuktikan karena segalanya serba terukur (pake meteran kali), menggunakan metode yang valid alias bukan ilmu dukun. apa yang terjadi? secara meyakinkan, ilmu tidak akan bersedih, menangis (apalagi sesenggukan) , menderita. ilmu juga tidak akan gembira, tertawa (apalagi terbahak-bahak). karena ilmu gak pernah melihat sesuatu dengan "perasaan". ilmu bisanya cuman "bekerja" untuk menemukan kebenaran yang katanya --lagi-lagi saya ulang-- universal itu. benarkah demikian? mungkin juga.
karena sifatnya yang sangat "congkak", bisa "mengukur" dunia dengan objektivitas-universal-nya itu, maka ilmu memang tidak "berperasaan" sehingga melahirkan manusia-manusia ilmuwan --yang sangat mungkin-- "tidak berperasaan". buktinya, temuan-temuan ilmuwan seperti teknologi tinggi yang katanya bisa "menyulap" dunia menjadi sebuah "kebudayaan" dan "peradaban" yang serba canggih, justru melahirkan kehancuran yang malah lebih canggih. manusia dengan mudah merekayasa dan menciptakan kekuatan adimanusia yang sanggup menghasilkan kekayaan dalam sekejap akan tetapi manghasilkan kemiskinan yang juga lebih dahsyat.
ilmu, memang mampu menemukan cara supercanggih dalam membina hubungan manusia global yang menyatu dalam --meminjam istilah Marshal Mc.Luhan sang Bapak Komunikasi-- global village; sebuah desa buana yang disebut Televisi, Internet alias computer mediated communication. tapi disisi lain, ia melupakan banyak orang miskin di dunia yang tidak sanggup untuk makan apalagi mencari teman di dunia maya.
Ilmu juga mampu menciptakan teknologi yang memberi kemudahan dalam berbagai hal, akan tetapi ia mengambil banyak wilayah kerja manusia yang justru membuat kita tidak lebih sebagai robot yang diperintah oleh mesin yang pada akhirnya menimbulkan banyak orang kehilangan pekerjaan. dan tentunya orang yang peling banyak diuntungkan hanya segelintir orang kaya yang semakin kaya dan yang miskin, tentunya, semakin tertindas. ironisnya, orang miskin dan tertindas itu jauh lebih banyak termasuk di indonesia kita tercinta.
bagaimana mengatasinya?
Melihat ilmu sebagai PARALOGY. apa artinya? paralogy --meminjam istilah tokoh Posmodern, Lyotard-- merupakan suatu bentuk atau logika (ilmu) yang coba melihat dunia dengan berbagai sudut pandang. karena, mengikuti Lyotard, grand-narative alias narasi agung tentang kebenaran universal ilmu (logos) sudah tidak cukup memadai untuk melihat (menemukan) kompleksitas nilai yang ada. Paralogy berupaya mengamini kearifan-kearifan lokal tanpa berupaya me-universal-kan segala sesuatu (ilmu) yang memang bersifat lokal....
Maaf karena capek n ngantuk coz saat nulis ini sudah jam setengah 4 pagi....sekalian sebagai apologi coz saya lagi kehabisan ide n kata2....sory ya. ntar kalo negenet lagi, aku coba memperbaikinya...hehehe....Salam Paralogy
Just paralogize your mind.....
ASTAR HADI

RISIKO INTERMEDIASI KEUANGAN DALAM PEMBENTUKAN PORTOPOLIO PINJAMAN

RISIKO INTERMEDIASI KEUANGAN DALAM PEMBENTUKAN
PORTOFOLIO PINJAMAN
OLEH :
AMIRUDDIN PRISETYADI
Abstraksi
Sebagai lembaga intermediasi keuangan berbasis kepercayaan sudah seharusnya bank dan lembaga keuangan lainnya menerapkan sistem manajemen risiko. Baik untuk menekan kemungkinan terjadi kerugian akibat risiko maupun memperkuat struktur kelembagaan, misalnya kecukupan modal untuk meningkatkan kapasitas, posisi tawar, dan reputasinya dalam menggaet nasabah,. kewajiban penerapan manajemen risiko oleh Bank Indonesia (BI) akan disusul oleh ketentuan kecukupan modal yang memasukkan unsur risiko operasional dan risiko pasar yang mengoreksi kecukupan modal dan menambah beban penghitungannya yang sejauh ini dinilai cukup kompleks.
Keyword : financial intermediary, loan portofolio, credit risk
Pendahuluan
Unit surplus yang memanfaatkan fungsi tabungan yang ditawarkan lembaga intermediasi keuangan memiliki beberapa pertimbangan sebagai berikut : keamanan dan risiko kredit yaitu keamanan dalam arti lembaga intermediasi mengurangi kemungkinan tidak dibayarnya kembali simpanan penabung akibat terjadinya gagal bayar oleh debitor. Likuiditas yaitu lembaga keungan khususnya bank memberikan peningkatan kemampuan likuiditas kepada penabung dengan menawarkan jenis produk keuangan yang memiliki sifat likuid. Aksesibilitas yaitu penabung dan peminjam dapat memanfaatkan jasa intermediasi bank baik dalam hal menabung maupun untuk mendapatkan pinjaman mulai dari jumlah yang relative kecil sampai dengan jumlah yang besar. Kemudahan yaitu banyaknya kemudahan yang ditawarkan bank merupakan daya tarik tersendiri bagi penabung, misal jasa dalam mempermudah pelaksanaan dalam transaksi keuangan.
Berdasarkan pertimbangan diatas, pemilik dana lebih menyukai menyimpan uangnya di bank daripada menghadapi kemungkinan timbulnya risiko yang lebih tinggi disamping kurangnya fleksibilitas apabila uang diinvestasikan dalam sekuritas yang ditawarkan oleh dealer dan broker. Bagian penting dalam proses pembiayaan tidak langsung adalah bagaimana menciptakan produk atau jasa keuangan agar dapat menarik lebih banyak dana. Keberhasilan lembaga keuangan menarik banyak penabung dengan menerbitkan klaim keuangan sangat tergantung pada kemampuannya memenuhi unsur-unsur pertimbangan penabung.
Penerbitan sekuritas sekunder merupakan sebagian dari proses intermediasi keuangan. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui sejauh mana lembaga intermediasi dalam mengidentifikasi semua risiko yang timbul dari seluruh proses kegiatan usaha tersebut. Intermediasi keuangan mendapatkan dana dengan menerbitkan klaim-klaim keuangan kepada para pelaku pasar dan menginvestasikan dana-dana yang diperoleh tersebut.
Investasi-investasi yang dilakukan oleh lembaga perantara keuangan – asset-aset mereka – bisa dalam bentuk pinjaman dan sekuritas. Investasi ini disebut investasi langsung. Para pelaku pasar yang memegang klaim keuangan yang diterbitkan oleh lembaga perantara keuangan dikatakan telah melakukan investasi tidak langsung. Fungsi ekonomi lembaga perantara keuangan ini – mentransformasikan aset-aset yang lebih berisiko menjadi aset-aset yang lebih sedikit risikonya – dinamakan diversifikasi.
Pengertian risiko
Ada dua istilah yang sering dicampur adukkan : ketidakpastian dan risiko. Sebagian orang menganggapnya sama. Sebagian lagi menganggapnya berbeda. Disini membedakan kedua istilah tersebut karena pengelolaannya berbeda. Ketidakpastian mengacu pada pengertian risiko yang tidak diperkirakan (unexpected risk), sedangkan istilah risiko itu sendiri mengacu kepada risiko yang diperkirakan (expected risk). (Djohanputro, 2006)
Risiko menurut dampaknya
Risiko sistematik (systematic risk) disebut risiko yang tidak dapat didiversifikasi. Ciri dari risiko sistematik adalah tidak dapat dihilangkan atau dikurangi dengan cara penggabungan berbagai risiko. Risiko spesifik (specific risk) atau risiko yang dapat didiversifikasi atau dapat dihilangkan melalui penggabungan.
Masalah dalam identifikasi dan klasifikasi risiko
Pada dasarnya risiko merupakan ketidakpastian akibat dari keputusan dan kondisi saat ini. Karena keputusan dalam perusahaan dibuat oleh semua lapisan manajemen, bahkan oleh semua karyawan sesuai dengan wewenang masing-masing, risiko bisa muncul di seluruh lapisan manajemen.
Keragaman tersebut menyebabkan sulitnya mengidentifikasi seluruh risiko dalam suatu perusahaan, apalagi mengklasifikasikannya. Manajemen risiko yang paling dianggap maju adalah pada industri perbankan, umumnya pada lembaga intermediasi keuangan. Namun, kesulitan masih muncul di sana sini dalam mengidentifikasinya. Sampai saat ini masih belum ada penelitian yang benar-benar komprehensif dan mampu menghasilkan rumuskan ragam risiko yang berlaku secara umum.
Terdapat risiko-risiko yang berlaku hampir di semua industri. Ragam dan klasifikasi yang disampaikan disini meruapkan salah satu model. Perlu diakui, klasifikasi berikut lebih cocok untuk industri nonperbankan. Namun, semua risiko perbankan merupakan bagian dari risiko perusahaan pada umumnya. Surat edaran bank Indonesia perihal penerapan manajemen risiko bagi bank umum hanya mencantumkan delapan jenis risiko. Sementara model berikut ini mencantumkan 13 jenis risiko, dimana delapan risiko bank umum menurut versi bank Indonesia menjadi bagian dari risiko yang ada dalam model ini. .
Pada bulan Mei 2003, Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan No. 5/8/PBI/2003 mengenai Penerapan Pengelolaan Risiko untuk Bank Umum di Indonesia. Sesuai kebijakan Bank Indonesia, pengelolaan risiko di lingkungan BCA telah dilakukan mencakup delapan jenis risiko spesifik, termasuk risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko hukum, risiko fidusia, risiko reputasi dan risiko persaingan.
Risiko-risiko usaha yang dihadapi oleh intermediasi keuangan
1. Risiko Kredit, Risiko kredit secara garis besar didefinisikan sebagai kemungkinan kerugian yang timbul akibat kegagalan debitur ataupun counter-party untuk memenuhi kewajibannya terhadap Bank. Risiko kredit timbul dalam pelaksanaan fungsi intermediasi keuangan dan merupakan bagian dari aktivitas Bank sehari-hari.
2. Risiko Pasar, Risiko pasar merupakan risiko yang timbul karena adanya pergerakan variabel pasar dari portofolio yang dimiliki Bank, yang dapat merugikan Bank. Variabel pasar mencakup suku bunga dan nilai tukar, termasuk derivasi dari kedua jenis risiko pasar tersebut. Risiko pasar antara lain terdapat pada aktivitas tresuri serta investasi, kegiatan pembiayaan dan pendanaan, serta kegiatan pembiayaan perdagangan.
3. Risiko operasional adalah risiko yang timbul antara lain akibat ketidakcukupan atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, atau problem eksternal yang mempengaruhi operasional Bank. Risiko operasional dapat berdampak pada kerugian keuangan secara langsung, ataupun secara tidak langsung berupa kerugian potensial atau hilangnya kesempatan memperoleh keuntungan.
4. Risiko likuiditas adalah ketidakpastian atau kemungkinan perusahaan tidak dapat memenuhi pembayaran jangka pendek atau pengeluaran tak terduga.
5. Risiko hukum adalah kemungkinan penyimpangan hasil karena perusahaan tidak mematuhi peraturan dan norma yang berlaku. Di lingkungan perbankan dikenal dengan resiko kepatuhan.
6. Risiko reputasi berkaitan dengan potensi hancurnya nama baik perusahaan karena ketidakmampuan perusahaan mengelola kinerja dan komunikasi dengan pihak eksternal.
7. risiko fidusia akan timbul apabila intermediasi keuangan dalam usahanya memberikan jasa dengan bertindak sebagai wali amanat, baik individu badan usaha.
8. risiko persaingan, persaingan antar intermediasi keuangan lebih terfokus pada kemampuannya dalam memberikan layanan kepada nasabah secara baik dan profesional dikarenakan produk-produk yang ditawarkan oleh intermediasi keuangan hamper seluruhnya bersifat homogen.
Pemetaan Resiko
Dalam arti luas, pemetaan resiko pada prinsipnya merupakan penyusunan risiko berdasarkan kelompok-kelompok tertentu sehingga manajemen dapat mengidentifikasi karakter dari masing-masing risiko dan menetapkan tindakan yang sesuai terhadap masing-masing risiko. Sejalan dengan prinsip ekonomi yaitu terbatasnya sumber daya perusahaan untuk memaksimumkan nilai perusahaan, pemetaan risiko selalu dikaitkan dengan prioritas. Dengan demikian, penetapan risiko berarti proses penetapan prioritas dalam penanganan risiko dari keseluruhan risiko yang berhasil diidentifikasi. Bisa saja ternyata ada risiko yang mestinya masuk ke dalam skala prioritas, namun tidak masuk dalam peta risiko karena manajemen tidak mampu mengidentifikasi risiko tersebut.
Bagaimana cara menetapkan prioritas? Dasar utamanya adalah tujuan perusahaan. Semakin tinggi kontribusi risiko yang bersangkutan terhadap tujuan perusahaan, semakin tinggi prioritas penanganan risiko yang bersangkutan. Tujuan perusahaan kemudian dinyatakan dalam target yang merupakan besaran-besaran terukur. Sebagian besar target berkaitan dengan nilai uang atau rupiah. Ada juga target yang dinyatakan bukan dalam rupiah tetapi dalam besaran lain. Manajemen musti mampu mengaitkan setiap resiko terhadap target perusahaan.
Teknik pemetaan risiko
Risiko selalu terkait dengan dua dimensi, pemetaan yang paling tepat juga menggunakan dua dimensi yang sama. Kedua dimensi yang dimaksud adalah probabilitas terjadinya risiko dan dampaknya bila risiko tersebut terjadi. Dimensi pertama, probabilitas, menyatakan tingkat kemungkinan suatu risiko akan terjadi. Semakin tinggi kemungkinan suatu risiko terjadi, semakin perlu mendapat perhatian. Sebaliknya, semakin rendah kemungkinan suatu risiko terjadi, semakin rendah pula kepentingan manajemen untuk memberi perhatian kepada risiko yang bersangkutan. Umumnya, probabilitas dibagi dalam tiga kategori : tinggi, sedang, rendah. Dimensi kedua berupa dampak yaitu tingkat kegawatan atau biaya yang terjadi kalau risiko yang bersangkutan benar-benar menjadi kenyataan. Semakin tinggi kemungkinan suatu risiko terjadi, semakin perlu mendapat perhatian khusus. Sebaliknya, semakin rendah kemungkinan suatu risiko terjadi, semakin rendah pula kepentingan manajemen untuk mengalokasikan sumber daya untuk menangani risiko yang bersankutan. Umumnya, dampak dibagi dalam tiga tingkati : tinggi, sedang, rendah.
Pengukuran dimensi
Ada dua dimensi : probabilitas dan dampak. Pengukuran probabilitas sudah dilakukan pada tahap pengukuran risiko. Pada umumnya, pengukuran probablitas bersumber pada dua jenis data : data histories dan data prediksi. Suatu probabilitas dapat diukur dengan menggunakan data historis selama perusahaan mampu mengumpulkan data untuk penghitungan risiko keuangan. Kalaupun perusahan tidak memiliki, banyak lembaga menyimpan data yang diperlukan. Misalnya bank Indonesia menyimpan dan mempublikasikan data mengenai nilai tukar, suku bunga, laju inflasi, IHSG dan berbagai data makro lainnya. Dimensi kedua : dampak. Dampak berarti beserta akibat bila risiko benar-benar terjadi. Pertanyaannya, apa ukurannya? Untuk risiko keuangan, ukuran dari dampak sudah jelas : rupiah atau nilai uang. Maksudnya, bila risiko keuangan jenis X terjadi, besarnya dampak bias diukur dalam rupiah. Bagaimana dengan ukuran dampak bagi risiko yang bukan keuangan? Saat ini banyak upaya untuk mengukur dampak risiko non keuangan dengan ukuran unit rupiah. Salah satunya adalah dengan ukuran VaR (value at risk). Risiko operasional misalnya, bias diukur dengan VaR. demikian juga dengan risiko yang lain seperti risiko strategis dan risiko eksternalitas.
Pengelolaan Risiko
Kerangka pengelolaan risiko di bank mencakup keseluruhan lingkup aktivitas usaha bank, berdasarkan kebutuhan akan keseimbangan antara fungsi pengawasan usaha yang efektif dan tata cara yang jelas dalam pengelolaan risiko. Tujuan pengelolaan risiko di bank adalah untuk meminimalkan risiko yang dihadapi serta mengantisipasi kerugian yang diperkirakan maupun kemungkinan kerugian yang tidak diperkirakan dari berbagai risiko tersebut. Kerangka pengelolaan risiko di bank didasarkan kepada prinsip-prinsip dasar pengelolaan risiko yang berlaku di seluruh lingkup aktivitas usaha. Prinsip-prinsip tersebut dievaluasi secara berkala dan, apabila diperlukan, direvisi sejalan dengan perkembangan usaha dan perubahan parameter risiko.
Prinsip-prinsip dasar kerangka pengelolaan risiko bank dapat disarikan sebagai berikut:
•Keterpaduan Risiko dan Pengelolaan Usaha. Strategi pengelolaan risiko yang baik merupakan bagian tak terpisahkan dari pengelolaan usaha dan merupakan pertimbangan utama dalam setiap rencana usaha, strategi dan produk yang ditawarkan oleh bank.
•Pengawasan dan Pengendalian Independen. Penilaian risiko dilakukan baik oleh unit operasional maupun unit pengelolaan risiko yang independen untuk menjaga integritas proses pengambilan keputusan.
•Kejelasan Kebijakan. Seluruh kebijakan pengelolaan risiko dijabarkan dengan jelas dan dikomunikasikan ke seluruh jajaran organisasi.
•Identifikasi dan Pengukuran. Risiko diukur secara kuantitatif dan kualitatif menggunakan metode-metode teruji termasuk stress testing dan back testing, serta dikelola dalam kerangka kerja yang jelas.
•Pelaporan. Seluruh risiko dipantau dan dilaporkan melalui struktur organisasi pengelolaan risiko yang diketuai oleh Direktur Risk Management. Organisasi pengelolaan risiko beserta komite-komite khusus pengelolaan risiko dan audit, memberikan laporan pengelolaan risiko baik yang bersifat rutin maupun khusus, kepada Direksi, Dewan Komisaris dan Bank Indonesia, sesuai dengan ketentuan kebijakan Bank Indonesia.
Fungsi pengelolaan risiko
Fungsi pengelolaan risiko berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Pada tahap awal manajemen risiko, organisasi bersifat tradisional atau konvensional. Model ini merupakan perkembangan dari cara klasik pengelolaan yang sekedar membeli produk asuransi. Dalam pandangan ini, pengelolaan risiko membutuhkan keahlian lintas disiplin. Bukan saja mereka yang memiliki keahlian lain, seperti statistic dan disiplin yang terkait dengan risiko. Namun, pengelolaan risiko secara tradisional masih tetap berfokus pada pengelolaan risiko murni, yaitu risiko yang dapat menimbulkan kerugian, tetapi tidak ada kemungkinan memunculkan keuntungan. Oleh karena itu pengelolaan risiko secara tradisional masih tetap berorientasi pada pembelian produk asuransi.
Karena fokus pada minimalisasi risiko tidak selalu sejalan dengan maksimalisasi hasil, pengelolaan risiko secara tradisional sering tidak selalu sejalan dengan maksimalisai nilai perusahaan. Misalnya perusahaan mengidentifikasi adanya risiko kebakaran yang besar. Yang penting perusahaan meminimalisasi akibat kebakaran dengan asuransi, berapapun premi yang harus dibayar. Tindakan gegabah ini justru bisa berdampak pada turunnya nilai perusahaan. Berbeda dengan model manajemen risiko total. Penerapan model ini menuntut banyaknya disiplin yang terlibat. termasuk di dalamnya ahli statistic. Manajemen risiko total diterapkan secara sistimatis dan holistic. Sistimatis artinya bukan adhoc ataupun reaktif. Holistic berarti penerapan dilakukan secar menyeluruh perusahaan.
Model manajemen risiko total biasanya melakukan pendekatan structural. Artinya, manajemen memilah-milah risiko dan dan sumber risiko berdasarkan risikonya. biasanya mereka memilah sumber risiko ke dalam empat komponen: perangkat lunak, organisasi dan sumber daya manusia. Bisa saja mereka mengembangkan jenis sumber lain seperti lingkungan makro Dalam model manajemen risiko terintergasi fokus keputusan berupa maksimalisasi nilai perusahaan. Oleh karena itu perusahaan yang menerapkan model ini berusaha menguantifikasi setiap jenis risiko. Dengan demikian, setiap keputusan pengelolaan risiko selalu dikaitkan dengan maksimalisasi nilai perusahaan.
Portofolio pinjaman FI
FI secara luas mengembangkan dua model sederhana untuk mengukur konsentrasi risiko kredit dalam portofolio pinjaman melebihi model subyektif secara murni atas “kita selalu siap meminjamkan sebanyak mungkin kepada peminjam ini”. Dua model risiko konsentrasi pinjaman :
analisis migrasi: suatu metode untuk mengukur risiko konsentrasi pinjaman dengan jejak pemeringkat kredit perusahaan dalam sector-sektor khusus untuk penurunan tidak biasa. Jika peringkat kredit sejumlah perusahaan dalam suatu sector itu turun dengan jumlah yang besar daripada biasanya, FI membatasi pinjaman kepada sector itu.
batasan-batasan konsentrasi: batasan-batasan eksternal dibentuk atas ukuran pinjaman masimum yang dapat dibuat bagi seorang individu. FI menentukan batas-batas konsentrasi atas proporsi dari portofolio pinjaman yang dapat diberikan kepada beberapa pelanggan tunggal dengan menilai portofolio sekarang peminjam, rencana bisnis unit operasinya, proyeksi ekonomi ekonom dan perencanaan strategiknya.
Diversifikasi portofolio pinjaman dan teori portofolio modern
Untuk menghitung atau menirukan pengembalian pinjaman atau obligasi, maka manajer dapat menggunakan model diversifikasi portofolio untuk mengukur dan mengontrol eksposur risiko kredit agregat FI. Pelajaran mendasar atas teori portofolio modern (MPT) adalah bahwa dengan mengambil keuntungan atas ukurannya, FI dapat mendiversifikasi jumlah yang dapat dipertimbangkan atas risiko kredit sepanjang pengembalian atas asset-aset yang berbeda adalah berkorelasi tidak sempurna. Diversifikasi portofolio terbaik adalah yang memenuhi syarat:
dengan risiko minimum akan menghasilkan dan pengembalian tertentu.
dengan risiko tertentu akan akan menghasilkan pengembalian tertinggi.
Kebanyakan manajer portofolio menginginkan untuk menerima risiko lebih jika mereka dikompensasi dengan pengembalian diharapkan lebih tinggi.
Aplikasi parsial atas teori portofolio
Model berdasarkan volume pinjaman: aplikasi langsung atas teori portofolio modern seringkali sulit untuk lembaga depositori yang kekurangan informasi harga pasar asset karena beberapa aset seperti pinjaman tidak dibeli atau dijual dalam pasar yang mantap. Data volume pinjaman cukup mungkin tersedia yang memungkinkan para manajer untuk mengonstruksi modifikasi ataun penerapan parsial atas MPT untuk menganalisis semua eksposur konsentrasi atau risiko kredit FI.
Data volume pinjaman meliputi:
laporan segera bank komersial
data atas kredit rasional yang dibagi.
Data ini selanjutnya menyediakan patokan pasar dengan mana suatu bank individual dapat membandingkan alokasi internal miliknya dengan pinjaman silang sector-sektor pinjaman utama seperti pinjaman real estate. Model berdasarkan rasio kerugian pinjaman portofolio pinjaman total bank yakni dalam model ini melibatkan estimasi risiko kerugian pinjaman sistimatis atas sector atai industri khusus relative terhadap risiko kerugian pinjaman portofolio pinjaman total bank. Risiko kerugian sistimatis dapat diestimasi dengan regresi seri waktu yang berkelanjutan atas tingkat kerugian tiga bulanan dalam sector ke-I atas tingkat kerugian tiga bulanan portofolio pinjaman bank total.
Kesimpulan
Berdasarkan pada penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa risiko usaha dari sebuah intermediasi keuangan merupakan tingkat ketidakpastian mengenai pendapatan yang akan diterima. Semakin tinggi ketidakpastian pendapatan yang diperoleh suatu intermediasi keuangan, semakin besar kemungkinan risiko yang dihadapi dan semakin tinggi pula premi risiko atau bunga yang diinginkan.
Sebagai lembaga intermediasi keuangan berbasis kepercayaan sudah seharusnya bank dan lembaga keuangan lainnya menerapkan sistem manajemen risiko. Baik untuk menekan kemungkinan terjadi kerugian akibat risiko maupun memperkuat struktur kelembagaan, misalnya kecukupan modal untuk meningkatkan kapasitas, posisi tawar, dan reputasinya dalam menggaet nasabah,. kewajiban penerapan manajemen risiko oleh Bank Indonesia (BI) akan disusul oleh ketentuan kecukupan modal yang memasukkan unsur risiko operasional dan risiko pasar yang mengoreksi kecukupan modal dan menambah beban penghitungannya yang sejauh ini dinilai cukup kompleks.
penerapan risiko manajemen pada perbankan mempunyai sasaran agar setiap potensi kerugian mendatang dapat diidentifikasi oleh manajemen sebelum transaksi atau pemberian kredit dilakukan. Dengan demikian keputusan melakukan suatu transaksi benar-benar sudah mempertimbangkan potensi kerugian yang mungkin timbul serta rencana pengendalian dan mitigasi atas risikonya. berbagai faktor baik internal maupun eksternal dapat memengaruhi besar risiko suatu bank sehingga pengendalian atas risiko tersebut bersifat dinamis. Dengan begitu sesuai dengan perubahan portofolio bank dan variabel risikonya.
Jika anda merasa bahwa pembahasan risiko intermediasi keuangan dalam pembentukan portofolio pinjaman ini membingungkan atau kurang meyakinkan, maka anda tidak sendirian. Sesungguhnya penulis juga sedikit kesulitan mencari bahan materi tentang resiko intermediasi keuangan sedangkan kebanyakan bahan yang diambil dari permasalahan risiko pada perusahaan dan sediki tentang intermediasi keuangan dan juga tentang portofolio pinjaman. Penulis menyebut portofolio sebagai sekumpulan investasi sehingga risiko apa yang akan terjadi dalam investasi sudah bisa diidentifikasi jenisnya dan bagaimana cara pengelolaan risikonya.
Daftar putaka
Cornet, MM dan A saunders. 1999. Fundamental of Financial Institutions Management. First edition. Singapore: Mc graw hill companies.
Djohanputro, bramantyo. 2006. Manajemen Resiko Korporat. Jakarta : penerbit PPM.
Fabozzi, frank. Franco Modigliani dan Michael G ferry. 1999. pasar dan lembaga keuangan. Edisi pertama. Jakarta: salemba empat.
Husnan, suad. 2001. Dasar-dasar Teori Portofolio dan Analisis Sekuritasnya. Yogyakarta : AMP YKPN
Kasmir. 1998. Bank dan Lembaga Keuangan lainnya. Jakarta: Radja Grafindo Persada.
Manurung, Mandala. 2004. Uang, Perbankan dan Ekonomi Moneter. Jakarta: FEUI
Madura, Jeff. 2001. Financial Market and Institutions. America: South Western
Siamat, Dahlan. 2002. Manajemen Lembaga Keuangan, edisi ketiga. Jakarta: lembaga penerbit FEUI.
Simorangkir. 2000. Pengantar Lembaga Keuangan Bank dan non Bank. Jakarta: Ghalia Indonesia
www.kompas.com. 2006. Manajemen Risiko dan Tata Kelola Masih Rendah
Biodata penulis
Amiruddin Prisetyadi, lahir di Gresik, 18 September 1986. Penulis menyelesaikan pendidikan Dasar tahun 1998 di Gresik, pendidikan SLTP tahun 2001 di Gresik, pendidikan SLTP tahun 2001 di Gresik, pendidikan SMA tahun 2004 di Gresik, sampai saat ini penulis masih menempuh studi S-1 di Universitas Muhammadiyah Malang, Fakultas Ekonomi, Jurusan Manajemen.

Daftar Isi Buku "Matinya Dunia Cyberspace"

DAFTAR ISI
Persembahan
Pengantar Redaksi
Ucapan Terima Kasih
Pengantar Penulis
Daftar Isi
BAB I: MENAPAK JEJAK-JEJAK CYBERSPACE
A. Embrio Raksasa Teknologi Komunikasi
B. Membedah Wacana Diskursif
1. Cyberspace
2. Media Realitas Virtual
3. Komunikasi Massa dan Internet
4. Bahasa dan Peran Hermeneutika
5. Etimologi Hermeneutika
C. Organisasi Studi
1. Kritik
2. Dunia Cyberspace
3. Studi Hermeneutika
D. Batasan Tematik
E. Telaah Pustaka
F. Kerangka Metodis
G. Analisis Hermeneutika Teks Paul Ricoeur
BAB II: MARK SLOUKA DAN BUDAYA POP MEDIA
A. Biografi Singkat Mark Slouka
B. Karir dan Alur Pemikiran Mark Slouka
C. Slouka dalam Arus Budaya Pop
BAB III: KRITIK MEDIA DALAM PARADIGMA BAHASA
A. Menimbang Bahasa Cyberspace
1. Bahasa Cyberspace
B. Tawaran Hermeneutika
1. Teks dalam Hermeneutika
C. Peran Bahasa dalam Dunia Kritik Media
1. Hermeneutika dalam Kritik Media Mutakhir
BAB IV: INTERPRETASI TEKS KRITIK MARK SLOUKA
A. Aspek Metodis: Interpretasi Teks
B. Membaca Teks: Sebuah Prakonsepsi Teknologis
C. Mark Slouka dan Kritik Cyberspace
1. Menimbang Realitas
1.1. Bunuh Diri Hiperealitas
1.2. Realitas Parodi Realitas
2. Pencarian Identitas
2.1. Konsep Identitas
2.2. Identitas Hibrida
3. Membentuk Komunitas
3.1. Konsep Komunitas
3.2. Network Society: Komunitas Sarang Lebah
4. Mengkonstruksi Ruang
4.1. Konsep Ruang
4.2. Ruang Epilepsi: Sebuah Desa Buana
BAB V: MUNCULNYA ERA CYBERISASI
A. Hermeneutika Sebuah Pendekatan Alternatif
B. Cyberspace: Tantangan Media Postmodern
C. Mengamini Teknorealisme
D. Gugatan Hermeneutis
BAB VI: PENUTUP
Kesimpulan
Saran
Glosarium
Daftar Pustaka
Biodata Penulis

Pengantar Buku "Matinya Dunia Cyberspace"

Pengantar Buku
“Matinya Dunia Cyberspace: Kritik Marks Slouka terhadap Jagad Maya”
Mengangkat masalah dunia kritik media, terutama sekali kritik media mutakhir, penulis jadi teringat dengan rangkaian cerita film Terminator 3 dan Matrix Reloaded. Kedua film ini berkisah tentang penyelamatan dunia dari ekspansi koloni makhluk maya cyborg, sebuah embrio raksasa perpanjangan dari badan dalam ruang menuju perpanjangan sistem syaraf digital buatan media dari planet cyberspace. Tapi ini jelas bukan sebuah kisah penyelamatan atau episode apik, bahwa “kebenaran pasti menang”. Ini hanyalah sekelumit wacana (ontologis) yang sedikit mengangkat sisi-sisi subtil kritik media mutakhir melalui lidah tekstual seorang Mark Slouka: bahwa cyberspace mulai mendekonstruksi “sunnatullah” dan mendistorsi “fitrah” manusia melalui jargon (politik) virtualnya.
Pertama, tanpa melewati fase sejarah yang panjang, kita sampai pada kenyataan bahwa computer-mediated-communication (CMC) baru saja dimulai. Adalah sebuah konsekuensi logis bila kemudian jejak-jejak teoretis komunikasi massa menjadi relevan untuk diredefinisi. Dan tidak kurang seriusnya jika ini juga berujung pada varian kritik-kritik baru dunia media. Dengan alasan ini pula, penulis mencoba bergumul dan menengelamkan diri ke dalam “ekstase bermain” dengan kritik-kritik Slouka lewat bahasa penafsiran. Sementara persoalan kritik media dan pencerahan (baca: solusi yang ditawarkan) ala Slouka akan menjadi rumusan dalam kerangka berpikir penulis.
Kedua, dalam buku ini di samping pengenalan tentang diri Slouka, akan disinggung sedikit tentang fenomena media belakangan ini. Pun demikian, karena imperialisme Internet yang tampak semakin subur di tengah hiruk-pikuk lalu-lintas percepatan informasi (information superhighway) dan gelombang posmodernisme media yang begitu dahsyat, maka posisi Slouka, tentunya dalam debat media dewasa ini, layak untuk dikedepankan.
Ketiga, seperti halnya sebuah kritik yang sering kali reduktif, sebuah dialektika penafsiran tidak mungkin lepas dari kendala hermeneutisnya. Kecenderungan subjektif, tidak bebas nilai, dan bahkan keluar dari kerangka metodis episteme modern tentang bagaimana bersikap rasional dan menjadi ilmiah, menjadi momok utama hermeneutika. Apalagi banyak yang menegaskan bahwa hermeneutika bukanlah sebuah metode. Ia hanya berkeliaran dalam dunia utak-atik filsafat. Akan tetapi, sikap ilmiah seorang hermeneut menjadi mungkin saat ia terlibat dalam lingkaran intersubjektif atau interteks. Dan ini ditunjukkan dengan keikutsertaan tematik yang penuh dengan fenomena atau wacana yang diusung oleh pengarang. Selanjutnya, model alternatif pemahaman dari pendekatan abduktif dan analisis hermeneutika teks atau hidangan siap saji “model tafsit tematis” menjadikan tulisan ini “bebas nilai” dan mencapai “keterukuran universal ilmu (epistemologi)”.
Skenario cerita selanjutnya dari tulisan ini adalah bahwa pergumulan seru antara penafsir dan pengarang akan terlihat paling serius dalam episode keempat (Bab IV) dari keseluruhan wacana. Biar tulisan tidak begitu bias dan melebar, penulis mengabduksi karya ini hanya pada tiga pendekatan studi media mutakhir (terutama media digital)—Destopian, Neo-futuris, dan Teknorealis—dengan mengangkat tema-tema semacam konsep realitas, komunitas, identitas dan konsep ruang.
Tutup wacana, hasil dari penulisan tidak happy ending, tidak pula bad ending. Yang ada tinggal undangan bagi kesangsian, bahwa kritik Slouka tetap signifikan dalam kancah kritik media. Yang muncul malah bukanlah sebuah hasil konkret, tapi tantangan-tantangan baru media posmodern atau sekelumit wacana tentang spirit baru dalam cyberspace. Tentang bagaimana kita menyikapinya secara realistis dengan meletakkannya pada posisi antara, mengikuti jalur yang diambil teknorealisme. Dan karena ia merupakan penafsiran yang mau tidak mau akan terus bersambung dan berdialektika. Semacam Terminator atau Matrix yang juga terus berlanjut. Selamat membaca.
Malang, 29 Maret 2007
Penulis
Astar Hadi

Romantisme Mbak Tutut

Romantisme Mbak Tutut*
Oleh: Astar Hadi**
Empat tahun sudah berlalu, bangsa Indoenesia telah melewati fase pertama pemilihan umum (Pemilu) di era reformasi ini. Menurut banyak kalangan, pesta demokrasi saat itu dianggap representasai dari pemilu 1955 yang notabene dianggap paling demokeatis dalam sejarah demokrasi bangsa kita. Kini, kita telah memasuki fase kedua pemilu era reformasi.
Sebuah pertanyaan kembali muncul. Apakah pemilu pada periode ini akan menghasilkan pemilu yang demokratis juga? Atau, mungkinkah pemilu juli ini akan mampu, minimal menyamai prestasi pemilu sebelumnya? Tentunya, pendapat pro-kontra tentangnya menjadi suatu fenomena yang menarik untuk dicermati.
Seperti yang telah kita ketahui bersama, bahwa semangat dan euforia pemilu sebelumnya menafikan anasir-anasir orde baru dengan jargon ’reformasi total’ yang selalu didengungkan banyak pihak. Tapi saat ini, menjelang pesta demokrasi fase kedua ini, urgensi reformasi total yang kita harap-harapkan pada kenyataannya sepertinya harus bertepuk sebelah tangan. Mengapa demikian?
Bukan apa-apa, jika kemudian pernyataan seperti ini kerap mengemuka karena disebabkan konstelasi politikkita saat ini telah memperlihatkan gejala come back-nya partai yang jeles-jelas mengaku berideologi orde baru. Betapa tidak, romantisme historis kembali diusung generasi Soeharto yang dengan lantang mengisahkan bahwa rakyat Indonesia seharusnya kembali pada dinamika ”alamiah” orde baru; sebuah masa di mana ”kemakmuran” dan ”kesejahteraan” rakyat sangat diperhatikan. Sebuah spekulasi dari sisa-sisa masa lalu yang siap menjadikan Indonesia sebagai ”macan Asia”.
Sebuah studi kasus menarik tentang iklan kampanye parpol akan penulis angkat di sini. Tampak dengan jelas dalam iklan di televisi mempertontonkankan sesosok wajah ”ngenes” dan ”semrawut” dari seorang petani desa yang begitu lugu. Berlatarbelakang hamparan sawah yang luas, sang petani mengungkapkan bahwa di xaman orde baru kehidupan rakyat miskin sangat diperhatikan. Kemudian setelah itu, muncul sesosok wajah kontras yang begitu ”kalem” dan ”kharismatik”, dengan senyum manis yang khas dari Soeharto.
Kasus di atas merupakan bait-bait dalam iklan kampanye politik yang disampaikan Siti Hardiyanti Rukamana –Mbak Tutut, melalui partai karya peduli bangsa (PKPB) sebagai kendaraan politiknya.
Tidak mengherankan, sebab janji-janji politik di awal reformasi hampir sama sekali tidak menyentuh aspirasi dan hak-hak rakyat kecil. Dan dalam banyak hal, fenomena paling krusial yang harus diperhatikan dalam setiap agenda kebijakan politik di setiap bangsa di dunia adalah upaya memenuhi kebutuhan ekonomi di setiap negara –terutama di negara dunia ketiga termasuk Indonesia.
Jadi, tidak salah bila dalam flatform politik yang diangkat oleh setiap partai politik yang lolos pemilu, terutama adalah masalah kesejahteraan rakyat kecil. Demikian pula halnya dengan janji-janji politik Mbak Tutut.
Tapi yang jadi persoalan, menyangkut aspek-aspek dan unsur-unsur dalam kasus tersebut, apakah lantas kemudian iklan ini merupakan representasi realitas dari rakyat kecil secara keseluruhan yang mengamini gaya hidup orde baru yang begitu ”damai” dan ”sejahtera” dengan sesosok representasi ikonis semacam Soeharto sebagai simbol yang didambakan –dan atau ”ratu adil.”
Memang sebuah iklan tidak cukup memberikan sebuah jawaban, tidak bisa pula dijadikan sebagai manifestasi representatif yang jujur dari kehidupan bangsa Indoenesia yang begitu besar, kompleks dan plural ini. Artinya, tidak saja ia terlalu sempit atau reduktif, iklan bahkan bisa menjadi sebuah contoh dari rantai pertandaan yang melampui apa saja yang seharusnya menjadi struktur demografis dan atau ideografis masyarakat Indonesia saat ini. Secara semiotik, tanda atau bentuk semacam ini disebut pseudo sign (tanda palsu).
Tapi kita tidak bisa menegasikan, sebuah iklan dengan kompleksitas permainan tanda di dalamnya, merupakan bentuk-bentuk miniatur dari realitas sosial kita yang sesungguhnya.
Dari pemahaman di atas, merujuk pada iklan-iklan kampanye yang ada, sebuah konsekuensi semiotik menjadi penting untuk ditelusuri sebagai bentuk logis dari iklan kampanye, dan tentunya terkait dengan berjalan tidaknya janji-janji politik itu nantinya. Seperti diungkapkan oleh Umberto Eco (Yasraf Amir Piliang, 2003), “bila tanda dapat digunakan untuk menampilkan kebenaran (truth), maka tanda juga dapat digunakan untuk berdusta atau menipu (lie). Kekuatan tanda sebagai penyampai pesan dan informasi yang benar (true information), dapat pula disalahgunakan untuk menyampaikan informasi yang salah (false information).”
Untuk menariknya lebih jauh, asumsi Eco tersebut menemukan senjata picunya pada iklan kampanye parpol dan sekaligus menunjukkan paradoks semiotik iklan; antara tawaran kejujuran dan manifestasi kedustaan janji-janji parpol.
Semiotika Daur Ulang ala Mbak Tutut
Semiotika –sebagai ilmu tentang tanda-tanda dan penggunaannya dalam masyarakat— memandang bahwa, segala produk budaya, sosial dan juga politik, selalu mengikuti rantai pertandaan yang menjadi sandaran representatif dari realitas atau fakta-fakta.
Dalam kasus iklan kampanye Mbak Tutut, dua permasalahan utama yang bisa kita tarik, pertama-tama ia merupakan wujud melemahnya idealisme reformasi total di satu sisi, dan ia juga merupakan respon langsung atas tidak kondusifnya iklim reformasi dalam menjawab euforia demokrasi dan aspirasi-aspirasi utopis tentang ”kesejahteraan” rakyat di sisi lain.
Berhubungan dengan ini, problem-problem yang sering muncul pada tingkat wacana kebanyakan pada ”ketakutan” berlebihan dan sikap over-preventif kita pada ideologi ”pembangunanisme” era Soeharto yang sudah terlanjur kembali melalui berbagai kendaraan politik. Padahal, kita semestinya meletakkan ini hanya sebatas dinamika berdemokrasi.
Dan yang lebih prinsipil, terutama apakah realitas kemunculannya masih relevan dengan konteks ke-Indonesia-an kita sekarang ini.
Dalam tipologi tanda (semiotika), konsep iklan yang diangkat Mbak Tutut bisa dimasukkan dalam kategori tanda daur ulang (recycled signs). Bahwa tanda semacam ini digunakan untuk mengungkapkan peristiwa-peristiwa masa lalu (dengan konteks ruang, waktu, dan tempatnya yang khas), yang kemudian digunakan untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa masa kini yang sesungguhnya berbeda atau tidak berlaku sama sekali.
Kalau kita bicara masalah konteks ruang dan waktu, berarti tanda-tanda, simbol, dan teks yang digunakan dalam iklan tersebut tidak saja tidak efektif, tapi sekaligus menjadi tidak ”bermakna.” Dalam hal ini, pembalikan sejarah menuju orde baru tentu tidak memiliki signifikansi yang kuat dalam mempengaruhi perekonomian nasional atau pun kesejahteraan rakyat. Sebab, persoalan romantisme ”manis” masa lalu seringkali terjebak pada imperatif-imperatif sosial di dalamnya.
Apakah dengan menyandarkan diri pada otoritas orde baru, lantas kehidupan yang kita inginkan kembali sperti semula? Tentu tidak! Sebab, berbagai perubahan, baik ekonomi, politik maupun budaya, tentu juga merubah segalanya. Sehingga, tidak serta-merta kembali pada masa lalu menjadi sebuah jawaban yang tepat dan tidak pula bijak.
Bahwa, hasrat menuju yang ”semula” (layaknya kehidupan di masa kejayaan Rezim Soeharto) seringkali harus berbenturan dengan kompleksitas fakta-fakta normatif di era reformasi tentang alur demokratisasi yang sedang dibangun. Demokrasi ”militer” ala Soeharto tidak lantas kemudian dianggap lebih baik dan dijadikan perbandingan dengan demokrasi ”sipil” ala Reformasi.
Padahal, konteks ”ideal” kekinian tidak saja telah berubah secara empiris, tetapi juga berubah dalam pengertian kita tentang ”kedamaian”, ”kesejahteraan”, ”diperhatikan” dan sebagainya, yang kita dambakan.
*Tulisan ini pernah dimuat di Malang Post, 06 April 2004.
**Astarhadi adalah Alumni Komunikasi, FISIP, UMM. Kini tengah menempuh Program Pasca Sarjana, Program Studi Administrasi Publik, Konsentrasi Kebijakan Publik, Universitas Brawijaya Malang dan Penulis Buku “Matinya Dunia Cyberspace” (LkiS, 2005).

Tuesday, March 27, 2007

Jika-Maka (Puisi)

Jika-Maka…

Selamat datang wahai manusia
Dalam sejarah ruang dan waktu
Tempat mengada saling berpcu
Mengindera segala sesuatu

Jiwa baru saja berkelana
Mencari jejak-jejak fana
Menelusuri rimba raya tanya
Untuk sebuah jawaban, “siapa saya”?

Gunung pun menantang dari ketinggian
Dakilah, ‘ya aku’ sedang mananti puncaknya
Demi pucuk hasrat yang selalu membara
Lembah justru mengejek dari kebawahan
Menyindir realita yang kadang menutup mata dan telinga
Tidak mau mendengar bahasa sukma
Enggan melihat makna dari tanda-tanda
Padahal, ada lubang yang selalu menganga

Tidak kah usia kita sudah beranjak dewasa?
Yang tahu mana tempat kaki berpijak
Ketahuilah, ini bumi,
Segumpal tanah hina
Rumah bagi segala kesempatan menentukan rencana
Tempat bagi ‘jika-maka’ berproses apa saja

Ya, ketahuilah!
‘jika-maka’ tahun berulang adalah sejarah
pasang-surut adalah cermin bagi wajah
haruskah kita berpaling dari fitrah?
Padahal ia bersemayam dalam hati muthmainnah
Yang bisa mengukir akal dalam pancaran hikmah

Jika…
Prosesi langkah yang panjang
Akal yang hikmah ibarat cahaya terang
Jadikanlah ia jalan berjuang

Maka…
Prosesi terungkapnya makna
Hati muthmainnah wujud jiwa yang tenang
Tancapkanlah ia sekuat karang
Inilah sejatinya fitrah!

Malang, 20 Januari 2006, 14.10 WIB

Islam Mazhab Demokrasi (Resensi)

Islam Mazhab Demokrasi

Judul Buku : Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi
Penulis : Abdurrahman Wahid
Tebal : 412 + xxxvi Halaman
Tahun Terbit : Cetakan 1, Agustus 2006
Penerbit : The WAHID Institute
Presensi : Astar Hadi*

Dalam sebuah diskusi bertema Wacana Liberal yang diadakan KAMMI Cabang Malang, Mei 2006, yang lalu, salah seorang peserta bertanya pada saya tentang signifikansi konsep Islam dan demokrasi. Menurutnya, islam (baca: al-Qur’an) telah mengajarkan suatu konsep kemanusiaan universal secara “kaffah” yang di dalamnya mengandung spirit dan nilai-nilai kebenaran, keadilan, kesetaraan (egalitarianisme) dan sebagainya. Ia lantas melontarkan pertanyaan, apakah kita merasa perlu mengagungkan demokrasi, sementara dalam Islam sendiri sudah jauh-jauh hari telah dikumandangkan?
Dengan jawaban yang cukup sederhana saya menjelaskan bahwa tidak ada yang perlu dipersoalkan antara Islam dan demokrasi. Keduanya menyangkut sebuah system kehidupan yang memposisikan dirinya pada pemberdayaan nilai-nilai kemanusiaan universal sebagai titik tolaknya. Dalam hal ini, baik islam maupun demokrasi, sama-sama membela hak-hak ummat dari kekuasaan yang tiranik dan menindas (riba).
Menilik pengertian umum demokrasi yang berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat. Atau, yang lebih kita dengan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kata demokrasi di sini dianggap sebagai kata kunci tersendiri dalam bingkai system politik yang beradab. Indicator penting suatu negara dianggap melaksanakan pemerintahan dengan baik ketika ia menjalankan system demokrasi dalam multiaspek kehidupan.
Sementara itu, al-Qur’an secara tegas meletakkan dasar-dasar “keberimanan” manusia pada Tuhan berdasarkan pemenuhan hak-hak sipil rakyat sebagai amanat yang wajib ditunaikan. Dalam Surah Al-Ma’un di sebutkan bahwa Allah menyindir masyarakat yang mengaku beragama sementara ia tidak pernah mempedulikan kesejahteraan sosial rakyat miskin sebagai orang yang mendustakan agama. Ayat ini menjelaskan, rakyat sebagai “kelas” sosial yang selama ini selalu dikebiri hak-haknya oleh kekuasaan, justru di sisi Allah merupakan orang yang yang harus dibela sekaligus diperjuangkan.
Menurut hemat penulis, reposisi dan redefinisi islam sebagai agama samawi terakhir tidak lagi dipahami sebatas agama formal (organized religion) yang seringkali menjadi tameng “kebenaran” Ilahiah yang justru “menghalalkan” penindasan dan sikap anrkhis terhadap sementara kalangan yang dianggap “sesat”. Formalisme islam semacam ini akan berujung pada sikap melembagakan islam untuk kepentingan tunggal “kebenaran.” Tidak salah bila kemudian Karl Marx melihat dilemma keberagaman kita sebagai “candu” hitam-putih yang merongrong hak hidup orang lain.
Buku Islamku, Islam Anda, Islam Kita, yang merupakan kumpulan tulisan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur di sejumlah media massa ini, adalah ekspresi “rasa galau” dan impresi pemikirannya yang mendalam terhadap dinamika keberagamaan dan kebangsaan rakyat Indonesia secara umum. Cucu pendiri NU KH. Hasyim Asy’ari ini, tentu saja, melihat wajah islam Indonesia sebagai islam “warna-warni” yang harus dilestarikan tanpa ada upaya “menebang” pertumbuhannya baik dengan alasan pembelaan terhadap “agama” Allah sekalipun. Pada posisi inilah Gus Dur berpendapat bahwa yang harus dibela adalah rakyat, sekali-sekali bukan Tuhan.

Membela Rakyat bukan (Negara) Islam
Apa point penting yang bisa kita tarik dari pemikiran Gus Dur? Dalam petikan wawacaranya pada acara “Topik Minggu Ini” SCTV (20/09/2006) bertema judul bukunya tersebut, Ketua Dewan Syuro PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) ini menegaskan bahwa formalisme Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sangat tidak tepat. Di samping karena konsep Negara Islam dalam al-Qur’an itu tidak pernah ada, Nabi Muhammad sendiri tidak pernah berniat untuk mendirikan negara Islam.
Menurutnya, dasar dari pendapat konsep negara Islam dalam dunia Islam tidak ada yang baku. Pertama, islam tidak tidak mengenal pandangan yang jelas dan pasti tentang pergantian pemimpin (hal. 81). Artinya, setelah Nabi Muhammad wafat, proses pergantian kepemimpinan dari zaman Khulafa’ al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman dan Ali bin Abu Thalib) tidak secara persis sama. Lebih-lebih, Nabi sendiri tidak pernah menetapkan/menunjuk calon pengganti yang berhak meneruskan kepemimpinan dalam Islam. Kedua, besarnya negara yang dikonsepsikan menurut Islam tidak jelas ukurannya (hal. 83). Hal ini menunjuk pada tidak adanya batasan konseptual sampai sejauh mana konsep Negara Islam tersebut dibentuk, apakah ia merupakah sebuah negara yang mendunia (nation-state) ataukah sebatas negara kota (city state).
Untuk tidak mengatakan alergi, Gus Dur dengan tegas menolak ideologisasi Islam dalam konteks pemerintahan. Karena menurutnya, ideologisasi hanya akan menghasilkan “monopoli” kebenaran dari satu sisi saja. Posisi rakyat sebagai “pemimpin tertinggi” pemerintahan demokratis menjadi terpinggirkan oleh kuasa idelogis yang, tentu saja, akan –lebih banyak— memihak pada justifikasi ideologis tertentu untuk menjalankan pemerintahan.
Di samping itu, ideologisasi islam atau formalisasi Syari’at bisa jadi terjebak pada orientasi teokratis dalam negara (Islam) yang –dalam realitas akhir-akhir ini— merepresi dan memaksa pluralitas keberagamaan untuk tunduk dan patuh dalam monokultur “Islam” yang dianggap sebagai sibghat (celupan) ajaran-jaran Tuhan.
Bagi Gus Dur, proyeksi Islam ke depan sama halnya dengan amanat yang diemban oleh Rasulullah, bahwa Islam mengusung misi rahmatan li al-alamin. Dalam pengertian ini, kontekstualisasi atau pribumisasi islam menjadi sangat penting, mengingat besarnya pluralitas kultur yang dimiliki umat islam secara mondial. Karena itu, penekanan Gus Dur terhadap kulturasi corak Islam sebagai hal yang tidak bisa ditolak.
Nilai-nilai kebenaran universal Islam dan atribut yang menyertainya, seperti keadilan, kesejahteraan social, harus dimaknai pada lingkup budaya yang menopang pola hidup masyarakat suatu negara. Sehingga berbagai bentuk ideologisasi Islam dalam negara menjadi tidak relevan, lebih-lebih menyangkut NKRI yang memiliki wilayah yang sangat luas dan terdiri atas berbagai ragam budaya, suku, agama yang sangat beragam. Lantas, bagaimanakah corak Islam yang diinginkan Gus Dur?

Islam Demokratis Gus Dur
Islamku merupakan manifestasi keberagaman seorang terkait dengan pengalaman dan pemikiran pribadinya sebagai suatu yang khas dan tidak bisa digeneralisasi menjadi “kebenaran” bagi yang lain. Pun demikian, makna aku menyiratkan nilai dan spirit pencarian suatu kualitas keber-Islam-an yang selalu dalam proses menjadi (process of becoming). Sehingga, dalam proses ini, setiap orang berhak untuk mempelajari dan menelaah “keakuan” Islamnnya tersebut merupakan suatu yang “kaffah.” Bayangan tentang malam seribu bulan (Lailatul Qadr) yang termaktub dalam al-Qur’an bisa dimaknai sebagai “inilah islamku”.
Islam anda mengusung semangat keberagaman (pluralitas) yang menghargai keyakinan komunitas tertentu terhadap sesuatu nilai yang dianutnya. Kata Anda menunjuk pada suatu “kebenaran” yang diyakini bersama oleh sementara orang terhadap suatu hal yang diperolehnya atas dasar kenyataan bahwa mereka percaya terhadap konstruksi nilai yang disampaikan pada mereka sebagai yang “Islami” tanpa reserve. Pada konteks ini, Gus Dur melihat kenyataan di masyarakat akan adanya –dalam Istilah bapak komunikasi Marshall McLuhan— happening. Bahwa pola happening sering kita dapatkan dalam kehidupan masyarakat tradisional tentang betapa berharganya tradisi/ritual keberagamaan mereka, terlepas itu rasional atau tidak. Di sini, Gus Dur ingin mengamini “kearifan lokal” betapa pun ia dianggap irasional, tetap saja merupakan kenyataan yang “tak terbantahkan” yang semestinya dihargai. Mengutip seorang Antropolog, Levis Strauss, yang dalam petualangannya bertahun-tahun di pedalaman Amerika Latin menemukan, bahwa betapapun sesuatu itu dianggap mitos, tetapi tetap memiliki makna bagi masyarakat tersebut, yang, tentu saja tidak cukup hanya dilihat dengan kacamata epistemologi modern.
Sementara itu, Islam Kita terkait dengan upaya memikirkan masa depan Islam secara menyeluruh. Makna kita berarti bentuk ekspresi kepedulian terhadap jangkauan islam dalam menghadapi tantangan zaman yang sedemikian kompleks. Ia dirumuskan oleh karena rasa prihatin terhadap masa depan agama, bagaimana mewujudkan kemaslahatan bersama kaum muslimin. Dalam islam kita ini dibutuhkan seorang yang mampu berpikir dan merumuskan agenda umat selanjutnya. Inti dari Islam kita adalah upaya “merangkul” Islamku dan Islam Anda. Apakah mungkin? Gus Dur sendiri menyadari tidak kurang sulitnya merumuskan islam kita itu sendiri. Karena justru islam kita memiliki kecenderungan memnopoli tafsir terhadap realitas “kebenaran”.
Di satu sisi islamku jelas berbeda dengan islam anda baik dari segi bentuk dan isinya. Islamku bertitik pangkal pada process of becoming berupa pengalaman pribadi seperti yang dialami dan dilakukan Gus Dur, sementara Islam Anda berujung pada sebentuk “keyakinan” yang diterima masyarakat sebagai suatu “kebenaran” seperti halnya tentang seorang Gus Dur sebagai tokoh bangsa yang bisa saja dianggap “wali” oleh komunitas tertentu sehingga –bisa saja— masyarakat dengan rela berduyun-duyun sekadar untuk bersalaman dengannya, betapa pun M. Syafi’i Anwar –penulis untuk pengantar untuk buku ini— menganggapnya sebagai manusia biasa yang mustahil can do no wrong. Pada akhirnya pengarang buku ini adalah orang yang sangat mungkin ditunjuk sebagai Islam Kita atas kontribusi pemikirannya bagi kepentingan islam ke depan. Pada titik wajah pemikiran Islam “serba” Gus Dur inilah buku ini menjadi penting untuk dibaca dan dikritisi.
*Presensi adalah mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Brawijaya Malang dan Penulis Buku Matinya Dunia Cyberspace (LKiS, 2005) yang saat ini sedang aktif dalam komunitas diskusi Mazhab Tlogomas.

Playboy dan Quo Vadis “Kearifan” Lokal

Playboy dan Quo Vadis “Kearifan” Lokal
Oleh: Astar Hadi*

Dari pro-kontra kasus goyang ngebor Inul, 2003 silam, maraknya fenomena majalah Playboy Indonesia yang telah memperoleh izin penerbitan sejak akhir November 2005 lalu, sampai silang-sengkarut penggodokan undang-undang Anti Pornografi yang sedang dibahas wakil-wakil kita di DPR, menunjukkan bahwa dunia seni masih akan terus menyisakan perdebatan alot pada lingkup definitifnya.
Persoalan seni, dalam hal ini, seni tubuh, tidak saja melingkupi persoalan estetika yang berujung pada eksploitasi “keindahan” tubuh seksual pria-wanita, alih-alih, ia terkait konteks budaya lokal, bahwa setiap produk seni tidak menganut prinsip-prinsip normatif selama wacana lokal dan konteks zaman membenarkan dan atau bersikap permisif dalam setiap kemunculannya.
Contoh kasus, wanita-wanita “primitif” di Papua dengan bebas bertelanjang dada di tempat umum, sementara kaum pria hanya mengenakan koteka –penutup (maaf) kemaluan. Mandi bersama antara pria dan wanita di sungai dengan tubuh tanpa busana merupakan pemandangan lumrah di sejumlah tempat di Bali.
Fenomena “vulgarisme” yang ada di beberapa wilayah di Indonesia seringkali menjadi acuan justifikatif untuk membenarkan pemberlakuan berbagai tayangan yang menjurus pada pornografi atau porno aksi.
Di samping itu, tanpa menafikan pentingnya pendidikan seks sejak dini, alasan-alasan yang mengatasnamakan seks untuk “pendidikan”, telah menjadi sebuah hegemoni yang memayungi realitas kita. Bahwa Indonesia saat ini bukanlah era di mana seks merupakan fenomena tabu. Alih-alih mengandung nilai edukatif, seks justeru sebuah paradoks yang merupakan manifest kesenangan bermain dengan (pendidikan) seks itu sendiri. Dan tampaknya, inilah strategi fatal (fatal strategy) –ala Jean Baudrillard— yang harus kita jalani, yaitu bergulat dengan ekstasi (seks) sebagai sebuah realitas “takterhindarkan.”
Kita diajak untuk berkomunikasi dengan pendidikan seks, tetapi kita justeru tidak punya cukup firewall –layaknya sebuah program di internet untuk melindungi email dari sampah (spam) komunikasi, yang ternyata seringkali tembus dengan masuknya situs-situs porno ke email kita. Sehingga, bukannya nilai yang kita peroleh, akan tetapi kemungkinan terjerumus dalam lembah hasrat dengan berjuta “referensi” seks yang salah satunya ditawarkan dengan menghadirkan playboy-playboy lokal, khas Indonesia.
Ironi Playboy Lokal
Menurut sejumlah kalangan di DPR, terutama Komisi VIII, berharap agar desain majalah Playboy yang edisi perdannya akan terbit pada bulan Maret 2006 tersebut nantinya tidak seperti desain Playboy yang beredar di AS. “Jika desain Playboy di Indonesia seperti yang ada di Amerika Serikat, saya tidak setuju. Saya akan menggalang protes bersama dengan kawan-kawan,” tegas anggota DPR Komisi VIII, Yunus Yusroh, yang juga anggota Fraksi PKS ini, seperti dikutip Detikcom (12/1/2006).
Menarik memang apa yang dilontarkan Yusroh tersebut. Menurutnya, batasan telanjang yang “halal” dalam UU Pornografi dan Pornoaksi nantinya, harus sesuai dengan budaya bangsa, seperti koteka untuk pria dan telanjang dada untuk wanita di Papua, serta Kemben di Jawa Tengah. Bahkan untuk majalah Playboy sendiri harus mengikuti persyaratan tersebut untuk mendapatkan “label halal”, layaknya produk makanan.
Terlepas dari peluang pasar potensial Playboy di Indonesia dengan seabrek persyaratan lokalitas yang ditawarkan, apakah ia lantas menjadi sebuah jaminan bahwa pemberian cap “label halal” mampu memberi alternatif lain bagi dinamika dan dialektika bahwa seks masih merupakan wilayah privat setiap orang? Sementara gerak-laju seks sebagai imbas globalisasi media massa bukankah semakin melampui tapal batas tabu sosial bangsa kita dengan berbagai dalih dan persyaratan yang ada.
Penulis tidak melihat adanya kesinambungan fungsional antara sikap permisif terhadap masuknya Playboy dalam desain lokal dan dalam hubungannya dengan “identitas” bangsa sebagai bangsa yang lengkap dengan atribut malu-malu (tapi mau dong!). Artinya, Playboy yang jelas-jelas sebuah majalah yang elemen utamnya wanita, bikini, pakaian dalam, gaun malam berpotongan seksi dan berbagai unsur sensualitas lainnya, akan menjadi ironis ketika harus dihubungkan dengan kualitas lokal yang secara tegas “tidak mengamini” vulgaritas dan eksploitasi tubuh.
Playboy Indonesia akan didesain dengan format lokal? Seperti apa bentuknya tentunya belum kita ketahui secara pasti. Mungkin, bayangan kita tentang model identitas Playboy lokal bertalian dengan identitas bangsa kita sejatinya. Penampilan gambar, setting layout, dan bahasa yang dikemas nantinya, yang benar-benar meng-Indonesia itu seperti apa juga sulit untuk didefinisikan.
Yang pasti, Playboy versi Indonesia bukan sebuah semangat counter culture terhadap induk semang Playboy di Amerika Serikat. Keduanya akan saling berkelindan untuk kepentingan pasar. Logikanya, ketika pasar yang bicara, maka segala aspek yang bertalian dengan etika bukan tujuannya.
Alih-alih, kesuksesan majalah ini meraih keuntungan sampai jutaan dollar terutama sekali karena eksploitasi sensualitas tubuh manusia pada batas-batas yang paling ekstrim; yaitu menghadirkan gejolak paradigma seksual dengan semangat dekonstruksinya dan menghadapkan kita pada pencitraan-pencitraan langsung tanpa pagar pembatas, yaitu politik “jual-beli” tubuh. Dengan demikian, majalah Playboy baik versi Indonesia atau yang lain merupakan suatu bentuk pengeksploitasian wilayah-wilayah seksual sebagai konsumsi masyarakat, sebagai komoditas dan sebagai komodifikasi gaya hidup global generasi kita saat ini.
Dewasa ini, di dalam masyarakat pascaindustri atau era informasi, yang ditandai dengan semangat dekonstruksi terhadap kompleksitas permainan tanda dan simbol (semiotika dekonstruktif Derrida), tempat berbaurnya aneka permainan bahasa (language game ala Witgenstein), dan meleburnya polarisasi antara baik/buruk (logika oposisi biner Jean Jacques Lacan), dibongkar sedemikian rupa dengan struktur dan kode bahasa tertentu (lokal), sehingga menciptakan satu permainan tanda yang tanpa akhir dan tanpa makna akhir.
Dalam semiotika dekonstruktif yang dikembangkan Derrida dalam Teori Dekonstruksinya, ingin melegitimasi pentingnya ruh lokalitas untuk memahami sejauhmana tanda-tanda atau teks –dalam hal ini Pornografi— itu mempermainkan dirinya sebagai proses yang terus menjadi. Sehingga makna hadir tidak dalam sebuah bentuk final, tetapi selalu terjebak dalam permainan tanpa akhir. Makna akan hadir pada posisi differ(a)ence, yang berarti –meminjam Al-Fayyadl (2005)— menghormati yang beda dalam keberbedaannya dan dan yang lain dalam kelainannya.
Apa artinya? Playboy atau yang sejenis dengannya, adalah sebuah pengembaraan semiotik atas teks atau wacana lokal (kini dan di sini) yang dikembangkannya dengan “mengelabui” objek-objek yang ditandai (baca: masyarakat Indonesia) melalui kemasan secara lokal. Persoalan lokalitas kemudian menjadi “senjata picu” yang akan menjustifikasi berbagai pembongkaran terhadap imperatif global, menjadi imperatif-imperatif baru, berbeda, dari yang aslinya, yaitu Playboy Amerika.
Kalau di Amerika, gambar-gambar visual yang disodorkan pada konsumen kemungkinan dengan kemasan gaya hidup bebasnya; liar (hardcore), nakal, pose tubuh yang menantang dan sebagainya. Sementara untuk konsumsi lokal, bisa saja menampilkan streotip tubuh dengan senyuman yang ramah, malu-malu (kedua tangan jadi BH-nya), dan dengan pose yang lembut tapi genit.
Apa yang harus kita sepakati dari keduanya? Sama-sama mempertontonkan dirinya sebagai pemuasan hasrat seksualitas yang “bersembunyi” dibalik jubah seni. Seperti diasumsikan orator-orator posmodernis, Playboy telah menemukan padanannya pada wilayah seni, yaitu seni posmodern. Seni posmodern tidaklah mempertentangkan polarisasi antara baik dan buruk, tidak mengenal adanya batasan-batasan normatif; moral dan etika. Seni postmodern membatasi dirinya pada sejauhmana jangkauan “kualitas” estetik yang bisa dicapai. Nilai-nilai yang diusungnya adalah estetika bukan etika, bukan pula moralitas akan tetapi kreatifitas.
Akhirnya, mengutip Detik.com (12/1/2006), untuk menyambut edisi perdananya yang beredar Maret 2006 ini, Playboy Indonesia akan menggelar audisi “Playmate”. Syaratnya antara lain, model harus berusia 18 tahun (masih segar-segar bukan?, pen). Peserta audisi diwajibkan membawa bikini, juga pakaian dalam, gaun malam berpotongan seksi, dan sepatu berhak tinggi.

*Astar Hadi adalah Mahasiswa Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang dan penulis buku Matinya Dunia Cyberspace (2005)

Paradoks UAN yang Kebablasan

Paradoks UAN yang Kebablasan
Oleh: Astar Hadi*
Apakah yang sementara ini kita pahami tentang pendidikan? Pendidikan tentunya merupakan sebuah ajang untuk menumbuhkembangkan ilmu pengetahuan dan bakat intelektualitas alamiah manusia, di samping untuk menanamkan nilai-nilai dan ajaran normatif-etis sebagai pembentukan kesadaran dalam bingkai ‘mencerdaskan bangsa’ di satu sisi dan membangun nilai luhur ‘memanusiakan manusia’ secara global di sisi lain.
Oleh karena itu, pendidikan sangatlah penting bagi manusia baik sebagai nalar imaginatif ataupun nalar praktis. Pendidikan berfungsi secara imaginatif sebagai pengasah karakter dan eksistensi setiap manusia dalam memformat dan me-manage pola pikir secara reflektif. Dan secara praktis, pendidikan berfungsi sebagai alat pencapaian aktual terhadap berbagai kebutuhan hidup yang menuntut adanya keahlian (skill) –dan ini seyogyanya ditunjang oleh pendidikan yang memadai.
Dengan demikian pendidikan membutuhkan sebuah lokus yang mewadahinya, yang sampai saat ini kita sebut sekolah. Sebagai wadah formal pendidikan, sekolah, dalam hal ini, sekolah menengah, memilki sekian kebijakan yang menentukan suatu standarisasi pendidikan secara nasional.
Dalam kaitannya dengan bahasan di atas, bentuk standarisasi paling gamblang dalam dunia pendidikan bangsa kita saat ini adalah pelaksanaan ujian akhir nasional (UAN) secara simultan di seluruh wilayah hukum Indonesia tanpa terkecuali. Kita ketahui, UAN sebagai prasyarat lulus atau tidaknya siswa sekolah menengah menetapkan standar nilai minimal 4,01 untuk setiap mata pelajaran yang di-UAN-kan.
Akan tetapi, kebijakan yang diambil lembaga pendidikan kita ini menuai badai kritik dari berbagai kalangan, baik pengamat, pengelola pendidikan, guru dan siswa itu sendiri. Langkah ini dianggap kontroversial karena bisa memicu angka atau presentase ketidaklulusan yang cukup besar –kalau bukan sangat besar— bagi siswa sekolah menengah. Karena pada saat sebelumnya, dengan standar nilai 3, 01 pada UAN priode 2002-2003 menyebabkan kurang lebih 600 % siswa (Jawa Timur) tidak lulus. Lantas, apakah kebijakan baru UAN ini relevan dengan kondisi pendidikan sekolah menengah di Indonesia?
Memang, tujuan dari diselenggarakannya standar tersebut sangat mulia, yaitu untuk mencari sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas. Apalagi, dalam arus globalisasi dan pasar bebas, mencari kualitas pendidikan yang handal dan unggul bisa dikatakan sangat mendesak, mengingat tantangan-tantangan yang akan kita hadapi nantinya tidak saja usaha membangun sebuah “generasi emas” pendidikan, ia juga melibatkan unsur-unsur tersebut (baca: kualitas) untuk mengantisipasi membludaknya persaingan ketat di era informasi sekarang ini.
Masalahnya, UAN yang sedianya akan diselenggarakan pemerintah nantinya, dianggap oleh banyak kalangan sebagai bentuk nyata dari praktek yang hanya menguntungkan minoritas orang kaya dan mengorbankan mayoritas orang miskin yang jelas-jelas sangat membutuhkan pendidikan untuk meningkatkan derajat atau taraf kehidupannya.
Betapa tidak, proyek UAN yang berdalih untuk meningkatkan mutu pendidikan harus terjebak pada batu karang fakta bahwa anggaran UAN sekitar Rp. 250 miliar tersebut hanya akan menghancurkan generasi muda pendidikan hanya karena standarisasi yang kebablasan untuk “ukuran intelektualitas” masyarakat Indonesia secara umum.
Sebab, dapat diduga sebagian dari mereka yang akan gagal nantinya kemungkinan besar dari masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah. Bahwa tentunya asumsi tidak hadir dengan sendirinya, tetapi kenyataan membuktikan bahwa sekolah-sekolah favorit (unggulan) yang secara pasti lebih mahal dan ditunjang dengan fasilitas serba “wah” dan juga pengajar berkelas-berkualitas menjadi sangat memungkinkan untuk mecapai –kalau bukan melampui— standar 4,01 yang ditetapkan.
Tetapi bagaimana dengan keadaan siswa yang “pas-pasan”, yang hanya mampu membayar sekolah kelas dua atau kelas tiga dan seterusnya, dan dengan fasilitas sekolah maupun pengajar “ala kadarnya”? Padahal mayoritas pendidikan (sekolah) kita masih berada di bawah standard dan di huni oleh siswa-siswa yang miskin secara financial. Logika ini berarti bahwa orang tua atau wali murid tidak mempunyai pilihan lain kecuali memasukkan anak-anak mereka di sekolah yang tidak diunggulkan.
Di beberapa tempat diprediksi akan mengalami ketidaklulusan cukup besar tahun ini, mencapai 40 persen (lihat “Angka Ketidaklulusan akan Tinggi, Kompas, 21 april 2004). Jika kita harus berkaca pada dugaan ini, tentu saja, kesenjangan pendidikan antara si kaya dan si miskin memang sangat sulit untuk dielakkan. Pemerataan mutu pendidikan yang diinginkan dengan standar UAN yang baru ini justru menghasilkan kuota kesenjangan yang semakin besar dan tidak bisa dihindari. Sebab, hampir mustahil, sekolah dengan fasilitas dan pengajar “seadanya” mampu mengangkat kualitas peserta didik untuk menyamai kualitas siswa yang notabene berada di lingkungan sekolah unggulan.
Dalam bahasa Sindhunata, pendidikan yang seharusnya mencerdaskan malah berbalik menjadi “menindas”. Artinya, kriteria 4,01 menjadi sangat paradoks menilik kondisi pendidikan kita selama ini. UAN yang pada dasarnya bertujuan untuk mencetak SDM berkualitas, alih-alih, ia malah menderitakan dan memojokkan sebagian besar siswa untuk berprestasi.
Penjelasan di atas berarti, oleh karena hanya “kecongkakan” pihak pemerintah yang ingin mengangkat Indonesia “setinggi langit” di mata publik internasional, sementara itu, pemerintah sendiri tidak berusaha melihat secara mendalam dan bijak terhadap persoalan krusial pendidikan kita yang masih dalam taraf “belajar’.
Kalau kita mau menyadari, terutama bagi pihak decision maker, bahwa dalam proses penggodokan standar nilai UAN, yang justru paling urgent dan signifikan untuk diangkat adalah persoalan bagaimana mencocokkan standar nilai tersebut dengan pertimbangan antara tingkat kesulitan dan kualifikasi umum pendidikan kita, bukan dengan melihat realitas mutu pendidikan bangsa lain yang notabene masih berada di atas kita. Sehungga, tidak lantas kita dengan membabibuta menentukan standar yang pada kenyataannya belum “siap” untuk diterapkan di Indonesia saat ini.
Akhirnya, pendiidikan yang pada hakikatnya bertujuan mulia ini, pendidikan yang bertujuan memanusiakan manusia sebagai wahana membangun kesadaran, pembebasan dan pencerahan ini, jangan sampai harus ternodai oleh kebijakan yang tidak berpihak pada rasa keadilan masyarakat dan sisi humanisme pendidikan itu sendiri. Wa Allahu A’lam.
*Astar Hadi adalah calon Sarjana Ilmu Sosial, Jurusan Ilmu Komunikasi, Konsentrasi Jurnalistik, FISIP, Universitas Muhammadiyah Malang. Penulis juga adalah pengarang buku “Matinya Dunia Cyberspace” (LKiS, 2005)

Mutiara Kata

Mutiara-Mutiara Perlawanan

Sesungguhnya jihad yang besar adalah berkata benar kepada penguasa yang zalim
(Rasulullah SAW)

Saya ingat situasi sulit daripada orang-orang idealis (seperti saya??) yang barangkali harus bertempur dua front melawan lingkungannya sendiri dan melawan musuh-musuhnya di luar didupnya adalah kesepian yang abadi.
(Soe Hok Gie)

…teman adalah orang yang menerima anda dalam keadaan terburuk tetapi memberi anda inspirasi untuk menjadi orang yang lebih baik.
(Goethe)

Tidakkah kalian saksikan, bahwa kebenaran sudah tidak lagi diamalkan dan kebatilan tidak lagi segera dicegah? Maka hendaknya seseorang mukmin lebih suka berjumpa dengan Allah (syahid)
(Imam Husain bin Ali bin Abi Thalib)
Demi Allah! Aku berjanji bahwa kalian tidak akan mendapatkan keselamatan di hari akhir nanti, kecuali kalian bisa menghalangi kaum zalim untuk berbuat zalim.
(Al-Hadits)

Dengan kekayaan, tanah asing adalah negeri sendiri, sedang kemiskinan bahkan tanah sendiri menjadi negeri yang asing.
(Imam Ali bin Abi Thalib)

Dunia penuh ketidakadilan, dan mereka yang memperoleh keuntungan dari ketidakadilan itu juga berwenang memberikan ganjaran serta hukuman. Ganjaran didaptkan oleh mereka yang bisa menemukan dalih-dalih yang pintar untuk mendukung ketidakadilan, dan hukuman didaptkan oleh mereka yang mencoba menghilangkan ketidakadilan tersebut.
(Betrand Russel)

Wahai manusia yang berdahi hitam (karena terus-menerus sujud), kami kira shalatmu yang tekun tanda penolakanmu terhadap dunia dan kerinduanmu untuk bertemu Tuhan, namun sebaliknya, aku melihat kamu lari dari kematian demi kehidupan di dunia ini.
(Celaan Asytar pada kaum Khawarij)

Mereka mengingatkan kami bahwa perjuangan kebebasan bukan hanya masalah mengucapkan pidato, melakukan pertemuan, menyusun resolusi-resolusi, dan mengirim utusan. Tetapi, bahwa perjuangan memerlukan organisasi yang sangat teratur, tindakan massa yang militant, dan di atas segalanya, memerlukan kesediaan untuk menderita dan berkorban.
(Nelson Mandela)

Merasa kasihan tanpa berbuat sesuatu adalah suatu kemewahan yang tidak berguna. Kalau benar perasaan itu, orang harus membantunya, apakah dengan pikiran, perbuatan atau pertolongan.
(Pramoedya Ananta Toer, Nyanyian Sunyi Seorang Bisu 2)

Di sini masalahnya bukan zakat, masalahnya menyangkut seseorang yang menimbun emas dan perak dan tidak memberikannya pada jalan Allah.
(Abu Dzar Al-Gifari)

Tuhan bagi orang-orang yang berjuang untuk memperoleh penghidupan adalah Tuhan kaum tertindas, bukan Tuhan kaum sufi.
(Abdul Karim Soroush)

Salah satu penyakit teoritis di Dunia Islam yang paling berat, pada umumnya, adalah bahwa orang lebih memahami Islam sebagai kebenaran.
(Abdul Karim Soroush)

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ‘kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang berdusta.
QS. Al-Ankabut: 2-3)

Barangsiapa berjalan untuk memenuhi keperluan saudaranya pada satu saat di siang hari atau malam hari, ia berhasil memenuhinya atau tidak berhasil, itu lebih baik baginya daripada I’tikaf dua bulan
(Hadits Riwayat Al-Hakim dan Al-Thabrani)

Kau belum cukup belajar dan berlatih adil, sampai adil itu menjadi watakmu.
(Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa)

Kini mereka telah menghianati perjuangannya sendiri. Kita generasi muda ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau
(Soe Hok Gie)

Diriwayatkan dari Said bin Zaid r.a, ‘aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘siapapun yang merampas tanah orang lain dengan tidak adil, lehernya akan ditelikung dengan tujuh bumi (pada hari kiamat).
(HR Bukhori)

Dalam perkara uang semua orang mempunyai ‘agama’ yang sama.
(Voltaire)

Seonggok jagung di kamar
Tidak akan menolong seorang pemuda
yang pandangan hidupnya berasal dari buku,
dan tidak dari kehidupan.
Yang tidak terlatih dalam metode,
dan hanya penuh hapalan kesimpulan,
yang hanya terlatih sebagai pemakai,
tetapi kurang latihan bebas berkarya.
Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan
(W.S. Rendra)

Aku bertanya:
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing
di tengah kenyataan persoalannya?
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya mendorong seseorang
Menjadi layang-layang di ibukota
kikuk pulang ke daerahnya?
Apakah gunanya seseorang
belajar filsafat, sastra, teknologi,
ilmu kedokteran, atau apa saja,
bila pada akhirnya,
ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata:
“Di sini aku merasa asing dan sepi!”
(W.S. Rendra)

Jika saja akhir dari kehidupan di depanku
Dalam hitungan lima belas kaki
Sedang aku masih memiliki kesempatan sekadar
menanam biji kurma untuk masa depan anak-anakku,
maka aku pun akan menanamnya
Sehingga kehidupan itupun menghampiriku
(Ali Bin Abu Thalib)

Demi Rukun Iman Keenam

Demi Rukun Iman Keenam
Dulu…
Air mengalir bening menyejukkan suasana
Api selalu menyulut kehangatan tutur sapa
Angin sepoi-sepoi membelai jiwa
Tiba-tiba kini…
Alam telah berontak, penuh angkara
Air berubah jadi banjir air mata
Api berkobar membakar amarah warga
Angin beringas mengusik kesadaran jiwa
Gara-gara makhluk asing datang membawa bencana
Alam Indonesia tidak rela,
Melihat tanah moyangnya dinjak kaki-kaki jumawa,
Banjir Lombok, Jember, ada di mana-mana
Gempa Tsunami Aceh, sesungguhnya (juga) terjadi di Minahasa
Kebakaran hutan Kalimantan telah menyulut kobaran api di Papua
Semuanya terjadi bukan atas nama bencana
Tidak pula takdir Sang Pencipta
Karena Tuhan bukanlah Sang Perusak
Sejatinya, Tuhan adalah Asma’ Al-Husna
Apakah kita masih bimbang?
Apakah kita masih takut dikatakan orang beriman?
Yang beriman, alam Indonesia untuk Indonesia
Yang beriman, penggalan surga ini bukan untuk dibawa Amerika atau lain bangsa
Maka tunaikanlah Rukun Iman yang Keenam ini
Percaya pada qada’ dan qadar bahwa,
Indonesia ditakdirkan Tuhan untuk kemaslahatan rakyat Indonesia

(Malang, 31 Maret 2006)

Generasi Dahlan Tidak Perlu Alergi Pemikiran Liberal

Generasi Dahlan Tidak Perlu Alergi Pemikiran Liberal
*Astar Hadi, S.Sos.
Muktamar Muhammadiyah sebentar lagi akan melahirkan seorang pimpinan baru untuk periode 2005-2009. Kebanyakan isu-isu yang berkembang dalam Muktamar 45 Muhammadiyah yang digelar di Malang kali ini. Seperti diungkapkan Mutohharun Jinan dalam artikel berjudul Pimpinan Muhammadiyah, Ulama atau Intelektual? (Kompas, 4 Juli 2005), pesan yang banyak berkembang sebatas mencuatnya kembali fenomena pemunculan kembali figur ulama yang dalam satu dasa warsa terakhir cukup “terpinggirkan” dengan gaung kepemimpinan dari kalangan intelektual.
Benar tidaknya fenomena ini, sejumlah kalangan bisa saja menilai asumsi yang disodorkan Mutohharun itu tidak cukup relevan jika menilik pada dua sosok kandidat terkuat pimpinan Muhammadiyah yang justeru datang dari kaum intelektual, Malik Fadjar dan Dien Syamsuddin.
Apapun hasilnya, permasalahan atau substansi utama Muktamar kali ini tidak serta merta mengalihkan dirinya dari jargon Tajdid “kembali ke pelukan al-Qur’an dan al-Sunnah”, yang sejauh ini selalu menjadi seruan moralnya. Tentu saja jargon ini yang tidak boleh dilepas oleh para kandidat an sich.
Walaupun demikian, apa yang dikatakan Mutohharun itu menjadi semakin menarik ketika melontarkan penolakan warga/aktivis terhadap JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah) dan tokoh-tokoh Muhammadiyah yang dianggap penganut paham liberalisme. Lebih-lebih, dengan menjamurnya kembali faham “salafisme” baru di Muhammadiyah yang begitu getol malakukan aksi penolakan terhadap kehadiran pemimpin dari kalangan intelektual yang nobane dianggap penyebar virus ilmu-ilmu dari Barat yang bukan bersumber dari al_qur’an dan al-Sunnah
Bahwa sejak awal, seperti yang digaungkan sendiri oleh KH. Ahmad Dahlan –selanjutnya disebut Dahlan, Muhammadiyah secara terus-menerus mendobrak pola pikir yang jumud dari tokoh-tokoh Islam waktu itu dengan alam pikir yang serba modern dan rasional. Sehingga citra sebagai pengusung islam modern dan rasional inheren pada persyarikatan tersebut hingga kini.
Tidak salah, bila kemudian Muhammadiyah memiliki citra dan arti yang sangat penting dalam pergulatannya dengan Negara. Bisa dibayangkan, perubahan yang dialami masyarakat (baca: Islam) Indonesia dari transisi feodalistik menuju modernitas, tidak akan lahir “tanpa” peran besar pemikiran-pemikiran serba modern dari tokoh-tokoh Muhammadiyah sejak awal. Lantas bagaimana posisi tajdid dan ijtihad itu sesungguhnya bila dikaitkan dengan Muhammadiyah saat ini dan esok?
Pemikiran Liberal Itu Manusiawi
Pada hari Senin Sore (4 Juli), beberapa hari yang lalu, iseng-iseng saya jalan-jalan di seputar bazar muktamar yang berlokasi di Lapangan Sepak Bola Universitas Muhammadiyah Malang. Di sana saya kemudian memasuki sebuah stan bertuliskan Pojok Anti Liberal, yang menjual sebagian besar buku-buku yang bermuara pada ketidak berpihakan terhadap (pemikiran) Islam Liberal. Bisa jadi ini adalah sebuah sikap dan semangat penolakan terhadap urgensi pemikiran liberal yang kini mulai menjangkiti sebagian generasi muda Muhammadiyah, yang salah satunya ditopang oleh JIMM. Apakah ini lantas merupakan inti dari semangat tajdid pada muktamar Muhammadiyah ke 45 seperti yang ditulis Mutohharun?
Babakan baru sejarah telah menunjukkan betapa Muhammadiyah telah mencapai puncak keemasannya saat ini. Sejumlah banyak –untuk tidak mengatakan keseluruhan— tokoh Nasional lahir dari rahim ormas bernama Muhammadiyah ini. Seorang Amien Rais menjadi contoh konkretnya.
Sebagian kalangan menilai sebuah transisi modernitas kembali ke Khittah berarti mengembalikan orientasi Muhammadiyah dari kemelut (pemikiran) liberalisme menuju setting Arab zaman Muhammad Abduh dan atau Jamaluddin Al-Afghani yang notabene “guru” bagi sang Pendiri. Dan dengan segala keistimewaan yang dimiliki oleh Abduh, Al-Afghani ataupun Dahlan sendiri, maka aspek indoktrinasi Islam yang melekat pada ketiganya menjadi klaim “kebenaran” yang niscaya jika Muhammadiyah dilihat pada tataran lokal dan kekinian.
Bukan dalam arti mempersempit nilai-nilai yang telah diusung Muhammadiyah di awal pendiriannya, bahwa Konsekuensi logis yang paling niscaya jika saja Muhammadiyad bersikap taken for granted terhadap pemikiran keislaman Abduh atau Afghani, maka tidak saja kita telah “mengebiri” hasrat tajdid dan ijtihad yang juga telah sejak lama diproklamirkan Ahmad Dahlan sendiri melalui pemikiran-pemikirannya yang pada saat itu masih terlalu modern –dan juga “kontroversial”— bagi masyarakat Islam di masanya. Artinya, logika pemikiran mereka seharusnya diletakkan sebagai seutas benang merah yang untuk dirajut kembali dalam simpul saat ini.
Persoalan di atas adalah sebuah dialektika sejarah yang dalam ungkapan hermeneutis dianggap sebagai semangat emansipatoris Dahlan terhadap pembacaan teks-teks al-Qur’an dan al-Sunnah ke dalam bingkai kontekstual, yaitu apa makna yang terkandung di balikk teks. Lebih jauh, dalam logika Hermeneutika Heidegger, Muhammadiyah yang inheren dengan Dahlan-isme, berarti memposisikan al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai rumah (house of being) untuk dan tempat menjadi segala bentuk penciptaan Allah. Hal ini menunjukkan al-Qur’an dan al-Sunnah merupakan sebuah ajang gaul kompleksitas pemikiran keagamaan (baca: Islam) baik yang menamakan dirinya Wahabiyah, Mu’tazilah, Sunni, Syiah dan –yang terakhir— faham Liberal sekalipun, untuk kemudian dinterpretasikan dengan semangat al-Qur’an dan al-Sunnah dan mencari maknanya secara bersama-sama tanpa sikap yang cenderung tendensius.
Sebuah tendensi “bengis” bila kemudian Muhammadiyah yang terkenal modern menganak-tirikan generasi muda yang coba merefleksikan kehendak “hati” Dahlan dalam bentuk dan pengungkapannya yang paling liberal sekalipun. Karena seharusnya diketahui, rasa alergi atau phobia terhadap virus yang dianggap menyesatkan Islam seperti JIMM-nya Pradana Boy atau JIL-nya Ulil Abshar Abdallah, bisa jadi merupakan bentuk Islamophobia jilid baru yang sering dilekatkan pada cendekiawan Muslim didikan Barat atau yang serupa dengannya. Apakah ini sebuah contoh ketakutan naïf pergulatan Islam VS Islam?
Artinya, Muhammadiyah tidak perlu takut dengan pluralisme pemahaman dalam persyarikatannya. Kecil atau besar pengaruh yang ditimbulkan nantinya tetap saja memiliki makna positif untuk “kedewasaan” berpikir dan beraksi untuk umat Islam Indonesia ke depan. Karena Dahlan masa kini adalah Dahlan masa lalu yang mendambakan pembaharuan ke depan yang berpretensi pada Islam Kaffah. Dan tentunya, Muhammadiyah harus siap dengan kejutan-kejutan impulsif multipemahaman islam yang di setiap kemunculannya selalu berbau kontroversial dan “menyesatkan” bagi pemegang status quo kekuasaan.
Patut kita simak jawaban seorang Jalaluddin Rakhmat saat ditanya seorang Mahasiswa soal citra Syiah-nya, ia menjawab bahwa dealektika sejarah membuktikan sesuatu yang pada awalnya devian (kecil, terpinggirkan) dan selalu diobok-obok oleh rezim (baca: pemikiran) mayoritas, bisa mengambil alih yang mayoritas ke posisi devian, dan begitu seterusnya.
Akhirnya, siapapun pemimpin baru hasil Muktamar nantinya, sensivitas terhadap beraneka ragam pemikiraan tetap diletakkan pada posisi tawar sebuah peradaban Islam yang oleh Dahlan sendiri dilakukan pada saat masyarakat (Islam) Indonesia masih dalam kondisi “jahiliah”. Thus, apakah di saat usia menjelang satu abad ini, Muhammadiyah yang begitu besar dan dewasa itu malah menjadi seperti seorang Bapak yang egois dan pemarah hanya gara-gara pemikiran agak berbeda dari segelintir anak-anak mudanya yang lahir di tengah “kemelut” gairah tajdid dan ijtihad yang justeru semangatnya telah dikrarkan Dahlan pada awal berdirinya Muhammadiyah, 18 November 1912 silam? Wa Allahu A’lam.
*Astar Hadi, S.Sos., Mantan Wartawan dan mahasiswa baru Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang

MEMBACA MICHAEL HOWLETT: MENUJU IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SOSIAL POSMODERN

MEMBACA MICHAEL HOWLETT: MENUJU IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SOSIAL POSMODERN*
(Review Beyond Good and Evil in Policy Implementation: Instrument Mixes, Implementation Styles, and Second Generation Theories of Policy Instrument Choice Karya Michael Howlett)


Oleh: Astar Hadi***

ABSTRAK
Selama ini, proses implementasi kebijakan seringkali bersandar pada realitas teknis sebagai resolusi atas problem-problem sosial. Kecenderungan positivistik, market oriented, model top-down, merupakan siklus “lingkaran setan” yang selalu memayungi setiap proses politik (kebijakan).
Melampui semua itu, implementasi kebijakan Generasi Kedua merupakan alternatif lain yang melampui pendekatan-pendekatan teori kebijakan yang selama ini dipakai. Bahwa model ini berupaya mengamini kompleksitas nilai-nilai sosial, politik, ekonomi, yang tidak semata-mata jatuh pada tendensi ilmu alam yang bersifat “objective measurenment” dan analisis rasionalitas instrumental untuk menyelesaiakan persoalan masyarakat luas. Tapi ia merupakan kombinasi di antara berbagai pendekatan, baik yang natural atau sosial.
Dan, kebijakan postmodern, sebagai sebuah pendekatan baru, yang juga banyak melangsir kritik kritisnya terhadap kebijakan modern yang “murni” positivistik dan teknis, menjadi sebuah alternatif “bijak” dalam menghadapi persoalan implementasi kebijakan yang sedemikian komples, dengan menawarkan model-model partisipatif untuk kepentingan publik secara umum.

Kata Kunci: implementasi kebijakan, Teori Generasi Kedua, kebijakan sosial postmodern

ABSTRACT


Policy implementation processes are often laying on technical reality as it resolution in solving the social problems. Positivistic minded, market oriented and top-down model are the “evil circle” which is always happened in every political (or policy) processes. Beyond those, there is a new alternative, so called ‘the second generation theory’ of policy implementation.
This model tries to move into social values complexity, politics, economics and any others that is not only corrupted by natural sciences as its “objective measurenment” and it is not also monopolied by an instrumental rationality model.
As new public policy approach, the term ‘postmodern’ –as parallel as what Michael Howlett called ‘the second generation theory’— vis a vis the ‘modern’ policy, tries to propose a partisipative and democratic model to criticize positivistic and technical model.

Keywords: policy implementation, Second Generation Theory, postmodern policy

Pendahuluan
Kajian implementasi merupakan suatu proses merubah gagasan atau program mengenai tindakan dan bagaimana kemungkinan cara menjalankan perubahan tersebut. Dalam menganalisis bagaimana proses implementasi kebijakan itu berlangsung (secara efektif) dapat dilihat dari berbagai model implementasi kebijakan.
Beberapa pandangan tentang model implementasi kebijakan yang dipengaruhi oloeh ruang dan waktu yang berusaha menggambarkan proses implementasi kebijakan untuk bisa dilaksanakan secara efektif. Misalnya pandangan yang dikemukakan Parson (1997: 463) yang membagi garis besar perkembangan model implementasi menjadi empat tahap yaitu: pertama, model analisis kegagalan, memandang implementasi sebagai proses interaksi antara penyususnan tujuan dengan tindakan (Pressman dan Widalvsky: 1973); implementasi sebagai politik adaptasi saling menguntungkan (MC Laughlin: 1975); implementasi sebagai bentuk permainan.
Kedua, model rasional (top down) untuk mengidentifikasi faktor-faktor mana yang mermbuat implementasi sukses; Van Mater dan Van Horn (1975) memakai pandangan bahwa implementasi perlu mempertimbangkan isi atau tipe kebijakan; sementara Hood (1976) memandang implementasi sebagai administrasi yang sempurna: Sebatier dan Mazmanian (1979) melihat implementasi dari kerangka analisisnya; Grindle (1980) memandang implementasi sebagai proses politik dan administrasi.
Ketiga, kritikan dari pendekatan buttom up terhadap model pendekatan top-down dalam kaitannya dengan pentingnya faktor-faktor lain dan interaksi antara pemerintah dengan warganya (Lipski 1971); implementasi sebagai proses yang disusun melalui konflik dan tawar menawar (wetherley dan Lipski; 1977); implementasi harus memakai multiple frameworks (Elmord 1978, 1979); implementasi harus dianalisis dalam konteks institutional structures (Hjern et. Al, 1978); implementasi merupakan proses alur (Smith, 1973).
Keempat, teori-teori hasil sintesis hybrid theories), di mana implementasi dianggap sebagai evolusi (Majone dan Wildavsky, 1984); implementasi9 sebagai pembelajaran (Browne dan Wildavsky 1984); implementasi sebagai policy action continuum (Lewis dan Flynn, 1978, 1979; Barrel dan Fudge, 1981); implementasi sebagai sircular leadership (Nakamura dan Smallwood 1980); implementasi sebagai hubungan antar organisasi (Toole dan Montjoy 1984); implementasi sebagi teori kontigensi (Alexander 1985) dan lain sebagainya.
Dari sejumlah model teoritis terhadap implementasi kebijakan di atas, bila dikaitkan dengan dikotomi yang terjadi dalam setiap proses implementasi kebijakan yang disung oleh “Generasi Pertama” menyebutkan bahwa pada dasarnya alat-alat pemereintah secara luas memberi perhatian pada studi hubungan bisnis dan pemerintah dan pengaruh regulasi Negara dan bagaimana kaitannya dengan kebijakan ekonomi/bisnis yang efesien. Dikotomi antara dua kekuatan, pasar dan pemerintah merupakan dilemma utama yang sampai saat ini menjadi perdebatan yang hamper –untuk tidak mengatakan keseluruhan—selesai. Indikasi ini diperkuat oleh besarnya peran pasar, dalam hal ini sector swasta, dalam mengambil alih kebijaka-kebijakan yang sifatnya financial.
Contoh di Indonesia, Revisi UU No. 13/2003 mengenai Ketenagakerjaan dan Perburuhan beberapa waktu yang lalu, diamini oleh sejumlah kalangan bahwa besarnya peran sektor bisnis terhadap kebijakan ekonomi Pemerintahan Rezim SBY melampui kekuatan-kekuatan yang seharusnya melibatkan sektor pemerintah, sipil dan swasta. Indikasi ini memperkuat adanya hubungan ‘TTM’ (teman tapi mesra) yang dijalankan pemerintah dan pelaku ekonomi dengan mereduksi peran buruh dan rakyat sipil pada posisi yang periferial. Inilah yang kemudian dikenal sebagai model top-down dalam proses implementasi.
Sementara itu, dalam paper berjudul Beyond Good and Evil in Policy Implementation: Instrument Mixes, Implementation Styles, and Second Generation Theories of Policy Instrument Choice, yang ditulis oleh Michael Howlett, menegaskan bahwa sudah saatnya bagi para praktisi dan akademisi untuk melalmpui batas-batas antara yang baik dan buruk dalam memberikan penilaian terhadap pilihan intrumen dan rekomendasinya terhadap seleksi instrument dalam implementasi kebijakan. Menurut Howlett, dalam proses implementasi kebijakan, kita harus beranjak dari dikotomi-dikotomi atau bahkan trikotomi tersebut dengan menunjuk pada hubungan yang berkelindan antara alat-alat kebijakan alternative itu sendiri.
Oleh karena itu, masih menurut Howlett, desain kebijakan yang inovatif menuntut bahwa parameter-parameter pilihan instrument yang ada harus benar-benar dipahami, supaya mampu mengurangi resiko gagalnya sebuah kebijakan dan untuk meningkatkan kemungkinan suksesnya kebijakan itu sendiri.

Melampui yang Baik dan Buruk: Sebuah Kritik Terhadap Kelemahan Teori Generasi Pertama
Apa yang kita pahami dengan melampui implementasi kebijakan yang buruk? Bahwa para pakar yang masuk dalam lingkaran teori generasi kedua menegaskan bahwa dalam proses implementasi kebijakan dibutuhkan suatu bentuk desain yang tepat berupa instrument campuran. Teori generasi kedua berusaha memfokuskan diri pada sejumlah kecil kunci dasar implementasi yang berwujud pendekatan “pisau bedah” terhadap penggunaan instrument kebijakan tersebut, yaitu:
Pentingnya mendesain kebijakan yang melibatkan suatu campuran instrument kebijakan yang dipilih secara hati-hati untuk menciptakan interaksi positif satu sama lain dan untuk merespon pada yang sifatnya khusus/particular, yaitu sector kebijakan yang bergantung pada konteks implementasinya
Pentingnya mempertimbangkan cakupan isntrumen kebijakan yang luas ketika merancang campuran tersebut daripada mengasumsikan bahwa suatu pilihan harus dibuat di antara regulasi dan pasar (Sinclair 1997).
Dalam konteks tekanan berkelanjutan pada pemerintah untuk mengerjakan yang lebih dengan yang sedikit, perlu mengupayakan penggunaan instrument berbasis insentif, perlunya beraneka bentuk regulasi yang dilakukan oleh industri itu sendiri, dan perlunya kebijakan-kebijakan yang bisa melibatkan pihak ketiga secara komersial dan non-komersial untuk mencapai pemenuhan, seperti misalnya para supplier dan pelanggan.
Pentingnya mencari jaringan kerja baru yang sesuai dengan instrument kebijakan procedural yang ditekankan dalam menghadapi tantangan-tantangan pemerintahan. Instrument kebijakan “generasi selanjutnya”, semisal instrument informasi, dan beraneka teknik jaringan kerja manajemen misalanya dengan menghadirkan komite penasehat dan konsultan public dalam keadaan tertentu menjadi cukup penting di sini (Gunningham dan Sinclair 2002).
Empat poin yang menjadi landasan dari teori generasi kedua menunjukkan bahwa dalam setiap proses implementasi kebijakan dituntut untuk lebih fleksibel, inovatif, adaptif dan interpretative sehingga tujuan suatu kebijakan dapat singkron cara mencapai tujuan tersebut serta kelompok sasarannya.
Di samping itu semua, dapat dipahami bahwa formulasi kebijakan adalah proses yang terintegrasi dengan implementasi dan evaluasi sehingga membentuk sebuah siklus yang menyebabkan tidak jelasnya batas-batas antara formulasi, implementasi dan evaluasi.
Terkait dengan penjelasan di atas, para pakar Teori Generasi Kedua mensinyalir bahwa model implementasi kebijakan yang dikembangkan oleh Generasi Pertama cenderung menyederhanakan pilihan instrument dalam wilayah politik hanya pada batas-batas generalisasi antara penggunaan dan desain instrument semata tanpa melihat kompleksitas proses implementasinya. Hal ini bisa dilihat pada bentuk penilaian dikotomis terhadap proses implementasi kebijakan ekonomi yang cenderung mengidentifikasi “kegagalan pasar” dengan serta merta menjatuhkan vonis bahwa pasar tidak sanggup berjalan tanpa adanya intervensi dari pemerintah.
Dari sini dapat di jelaskan bahwa model implementasi yang merujuk pada penilaian “baik dan buruk” justeru tidak mampu menyelasaikan persoalan publik yang sangat kompleks. Artinya, alih-alih menghasikan model implementasi yang “ideal.” Teori Generasi Pertama cenderung menyikapi problem implementasi secara reaksioner, yaitu melihat setiap tindakan implementasi hanya pada permukaannya saja tanpa merespon “sesuatu” yang berada dibalik “kegagalan” implementasi itu sendiri. Sehingga, permasalahan sebenarnya yang mengakibatkan “buruknya” implementasi kebijakan publik tidak bisa diselasaikan.
Lebih-lebih, logika yang digunakan dalam setiap proses implementasi cenderung pada hitungan “cost-benefit” dan melulu menyangkut hitungan “kalkulus politik” dan “kepentingan ideologis” kelompok/partai tertentu yang justeru tidak mampu memberi manfaat bagi publik. Howlett menulis:
First generation studies of policy instruments conducted by political scientists thus tended to be motivated precisely by the desire to understand what economists assumed the rationale for policy instrument choice. public policy makers were not generally thought to be driven by question of theoretical purity -especially when, as is the case with economic theory, the theory is contested -but rather by a more overt political calculus of electoral or ideological cost and benefit

Generasi Kedua: Mengamini Fleksibilitas Implementasi
Beranjak dari kelemahan generasi pertama yang hanya terfokus pada model instrument kebijakan “tunggal” yang bersifat vis a vis, Howlett menyandarkan analisisnya pada model anlisis implementasi kebijakan yang dikembangkan oleh generasi kedua. Di mana, dalam model ini, instrumen dikotomis digantikan dengan model yang melibatkan aspek komplementer dan aspek konflik di dalam instrument campuran dan mengadopsi pendekatan yang lebih fleksibel dan tidak (terlalu) ideologis. Mengapa harus melibatkan aspek komplementer dan aspek konflik? dan mengapa harus menggunakan pendekatan yang lebih fleksibel?
Howlett menegaskan bahwa pentingya mencari menu altrnatif dalam menentukan pilihan instrument tidak terlepas dari perubahan budaya politik secara terus menerus dan perkembangan teknologi informasi (information technology) yang, mau tidak mau, merubah –meminjam istilah Immanuel Kant— kategori imperatif (categorical imperative) dari model-model tradisional menuju desain kebijakan yang inovatif dan serba kompleks.
Senada dengan Howlett, Berman menandaskan, dengan memandang implementasi sebagai pertautan antara strategi implementasi dan situasi kebijakan serta dampak kebijakan bergantung pada interaksi antara strategi implementasi serta berbagai kendalanya, maka hendaknya strategi implementasi dirancang-bangun berdasarkan situasi dan kendala-kendala tersebut (Berman, 1980).
Dalam hal ini, Berman menawarkan dua macam strategi implementasi kebijakan, yaitu “programmed and adaptive” yang didasarkan pada “situational parameter”. Menyangkut situational parameter strategi implementasi ini Berman lantas menjelaskan bahwa, jika situasi kebijakan dicirikan oleh konteks implementasi kebijakan yang disepakati bersama dan konflik yang kecil maka pendekatan programmed menjadi relevan. Sementara jika situasi kebijakan berbanding terbalik, yaitu terjadinya konflik yang besar antara anggota dari system implementasi dan tidak adanya struktur koordinasi terpecah-pecah serta ketika lingkungan implementasi tidak stabil, maka pendekatan adaptive cocok untuk strategi implementasi ini.
Lebih jauh, apabila situasi kebijakan sudah sedemikian kompleks dan situational parameter-nya tidak bisa diidentifikasi dengan jelas, baik Berman maupun Howlett, menyarankan untuk dipilah-pilahnya situasi dan lingkungan kebijakan dalam konteks yang lebih kecil sehingga “mixed strategic approach” dalam masing-masing situasi dapat diterapkan.
Dengan demikian, situasi kebijakan pada level pemerintahan dapat saja berbeda sehingga menuntut strategi yang berbeda pula. Artinya, pendekatan atau strategi yang fleksibel sangat diperlukan sesuai dengan situasi dan level organisasi di mana implementasi itu berlangsung.

Dari Modernisme Menuju Posmodernisme: Sebuah Kritik Kebijakan
Apa yang membedakan kebijakan postmodern dari kebijakan modern? Merujuk pada perkembangan dalam administrasi publik berawal dari tiga pandangan hirarkhis Administrasi Publik Lama (Old Public Administration) vis a vis Manajemen Publik Baru (New Public Management). Pertama, administrasi public ortodok (lama) yang dimotori oleh Woodrow Wilson, Frederick Taylor, Luther Gullick dan Herbert Simon. Menurut mereka, administrasi public netral dari nilai-nilai, yang dalam banyak hal, terkait dengan model normative. Di mana, model normative menunjuk pada apa yang seharusnya dilakukan seorang administrator dalam merumuskan kebijakan public. Dalam hal ini, khususunya dalam hubungannya dengan proses politik (atau kebijakan), persoalan efisiensi (yang dilawankan dengan sifat responsifitas proses kebijakan/politik) merupakan criteria utama dalam menilai suatu kerja administrative. Di samping itu, desain publiknya bersifat system tertutup (closed system) dengan menyandarkan pada control tunggal eksekutif sebagai otoritas tertinggi yang beroperasi secara top-down. Sementara fondasi teoritis utama yang digunakan oleh penganut aliran Administrasi Publik Lama adalah teori pilihan rasional (rational choice theory).
Kedua, kritik terhadap model normative aliran Administrasi Publik Lama, yang dianggap sebagai sebuah model yang tertutup. Para ahli teori dan praktisi, seperti Marshall Dimock, Robert Dahl, dan –yan termasyhur— Dwight Waldo, menganggap model normative tidak memberikan ruang gerak yang luas bagi adanya keterbukaan, tidak adanya partisipasi public oleh karena modelnya yang sangat sentralistik, yang terpusat pada satu otoritas dan bersifat top-down. Walaupun demikian, kritik terserbut hanya bisa diterima dalam situasi tertentu karena ide-ide kritis mereka “tenggelam” oleh model yang berlaku ketika itu, dan, secara umum mereka tetap patuh pada model normative tersebut.
Ketiga, pada perekembangan selanjutnya dikenalakan model alternative terhadap birokrasi tradisional dengan memasukkan unsur-unsur bisnis yang sifatnya privat untuk urusan-urusan yang sifatnya public, yang kemudian dikenal dengan aliran Manajemen Publik Baru (New Public Management). Salah satu tokoh yang terkenal dari aliran ini adalah Todd Gaebler dan David Ousborne dengan karya monumentalnya, yaitu Reinventing Government. Model ini menawarkan mekanisme pasar atau ekonomi sebagai alternative “terbaik” dalam mendesain dalam melaksanakan kebijakan publik. Dalam rekomendasi awal, ada semacam komitmen teoritis bahwa yang penting untuk menyelenggarakan desain dan implementasi (kebijakan) publik adalah ide tentang teori pilihan public (public choice theory), teori agency (agency theory), yang secara umum berpusat pada model okonomi.
Pada kenyataannya, baik model Administrasi Publik Lama maupun Manajemen Publik Baru memiliki banyak kesamaan, terutama pada tingkat ketergantungan dan komitmen yang sama pada model-model pilihan rasional. Pertanyaan utama yang kemudian muncul adalah, apakah struktur insentif cukup tepat dalam rangka mengobati atau mendamaikan suatu korporasi/kerja sama atau bahkan komplain-komplain yang muncul dari pegawai/pekerja rendahan?
Berbeda dengan dua mainstream Administrasi Publik Lama dan Manajemen Publik Baru yang berakar pada gagasan tentang pilihan rasional, alternative terbaru yang sampai saat ini secara massif diwacanakan, yaitu Pelayanan Publik Baru (New Public Service). Ada empat wacana kontemporer yang menjadi focus dari aliran ini, yaitu: (1) teori tentang kewarganegaraan demokratis, (2) model-model komunitas dan masyarakat sipil, (3) humanisme organisasi, dan (4) administrasi public postmodern.
Lantas, apa kaitan antara ketiga aliran di atas, bila dibawa pada wilayah perdebatan antara kebijakan yang lekat pada watak modernisme di satu sisi dan posmodernisme di sisi lain? Dari penjelasan singkat soal perkembangan teoritis administrasi publik di atas, pendekatan (kebijakan) modern oleh sejumlah pakar disematkan pada model kebijakan dalam Administrasi Publik Lama dan Manajemen Publik Lama yang bersandar pada teori pilihan rasional, pilihan ekonomis, rasionalitas instrumental (dalam bahasa Max Webber) dan atau rasionalitas teknokratis-teknologis dalam bahasa Jurgen Habermas. Dalam hal ini, seperti halnya kritik Habermas, domain modernisme memandang hampir setiap persoalan sosial selalu menggunakan pendekatan yang positivistik –bersandar pada logika ilmu-ilmu alam (natural sciences) yang dikenalkan Bapak Sosiologi Auguste Comte— dalam membaca dan menyelesaikan persoalan sosial yang begitu kompleks.
Paralel dengan pendekatan positivisme, modernisme menyandarkan klaim universal bahwa ilmu-ilmu sosial bisa dipahami dengan menggunakan pendekatan yang sama dengan pendekatan yang digunakan dalam ilmu alam. Dalam pengertian lain, fakta-fakta sosial atau kehidupan organisasional bisa dipisahkan dari nilai-nilai, norma dan moral; bahwa peranan ilmu memfokuskan dirinya pada fakta ketimbang nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.
Sementara itu, Pelayanan Publik Baru dipahami sebagai alur dari wacana (kebijakan) postmodern. Inti dari kebijakan postmodern terletak pada spirit utama dalam filsafat administrasi publik, bahwa yang paling penting dalam setiap proses politik (kebijakan) adalah bagaimana kebijakan tersebut efektif dan partisipatif. Dalam melihat kehidupan sosial, kebijakan postmodern memandang, baik fakta ataupun nilai sangat sulit untuk dipisahkan, alih-alih, dalam banyak kasus, persoalan nilai ternyata lebih berharga ketimbang fakta-fakta dalam memahami tindakan manusia. “… postmodern public administration theorist have a central commitment to the idea of “discourse”, the notion that public problems are more likely resolved through discourse than through “objective” measurenment or rational anlysis” (Mc Swite 1997, 377).
Administrasi publik posmodern memandang, ide tentang diskursus menunjuk pada pentingnya konstelasi pertarungan wacana social sebagai sikap kritis terhadap dinamika publik yang kompleks untuk disikapi secara arif oleh para penntu kebijakan. Bahwa diskursus memandang administrator dan warga negara saling terlibat satu sama lain, tidak hanya sebatas pada hubungan kepentingan pribadi yang rasional, lebih-lebih mereka terlibat sebagai partisipan yang membangun relasi layaknya antar sesama manusia.
Dalam konteks pelayanan publik (public service), diskursus berarti suatu bentuk pelayanan publik yang mengakomodasi “pertarungan” wacana publik sebagai agenda setting para pembuat kebijakan (stakeholders) terhadap problem-problem yang ada melalui proses tindakan komunikasi aktif dengan warganegara tanpa adanya dominasi sepihak.
Seperti diungkapkan Wahab (1998), penggunaan nomenklatur pelanggan atau konsumen dalam konteks pelayanan publik mengandung makna bahwa hakikat dan pendekatan dalam pemberian pelayanan publik yang semua berkiblat pada kepentingan birokrasi (bureacratic-oriented) atau berorientasi pada produsen (producer-oriented) berubah menjadi berorientasi pada konsumen (consumer-driven approach). Mengikuti Pollitt (1988:86), Wahab menegaskan, bahwa tujuan utamanya bukan sekedar untuk menyenangkan hati para penerima pelayanan publik, melainkan untuk memberdayakan mereka. Sebab, orientasi kearah pelayanan publik yang lebih baik (better public service delivery) juga mencerminkan penegasan akan arti penting posisi dan perspektif para pengguna dalam sistem pelayanan publik tersebut. publik tidak hanya diperlakukan sebagai obyek (sebagai klien jasa pelayanan semata), tetapi juga sebagai warganegara yang aktif (active citizen). Bagi pembuat kebijakan dan administrator publik (pada semua level) perspektif demikian membawa konsekuensi mendasar atau berupa kewajiban ganda yang harus mereka pikul sebagai perwujudan akuntabilitas kepada publik (lihat Abdul Wahab, 1998).
Ada beberapa crucial point yang membedakan antara kebijakan postmodern dari kebijakan modern, yaitu:
1. Serve citizens, not customer: kepentingan public merupakan hasil dialog bersama tentang nilai-nilai kebersamaan ketimbang agregasi kepentingan pribadi setiap individu. Oleh karena itu, pelayan public tidak hanya respon terhadap permintaan “pelanggan” akan tetapi lebih focus pada hubungan-hubungan saling percaya dan kolaborasi aktif dengan dan antara warga Negara.
2. Seek the public interest: administrator public harus berkontribusi untuk membangun kolektifitas terhadap kepentingan public. Tujuannya tidak ditujukan untuk memperoleh solusi yang cepat yang (hanya) dimotori oleh pilihan pribadi. Lebih dari itu, adanya kreasi kepentingan dan pertanggungjawaban yang lahir atas dasar nilai-nilai saling berbagi.
3. Value citizenship over entrepreneurship: kepentingan public lebih baik jika dijalankan dengan komitmen pelayan public dan warga Negara dalam menciptakan kontribusi yang bermakna terhadap masyarakat daripada dikemudikan oleh manajer wira usaha yang lebih banyak bertindak sebagai “uang” public yang sifatnya kembali pada kepentingan pribadi manajer tersebut.
4. Think strategically, act democraticly: kebijakan dan program yangmempertemukan kebutuhan-kebutuhan public akan sangat efektif dan responsible jika dicapai malalui upaya kolektif dan proses kolaboratif.
5. Recognize that accountability is not simple: pelayan public seharusnya memiliki atensi yang lebih besar dari pasar; mereka juga bergerak berdasarkan hukum dan undang-undang, nilai komunitas, norma politik, standar professional dan pada kepentingan warga Negara.
6. Serve rather than steer: sangat penting bagi pelayan public untuk bekerja berdasarkan jiwa kepemimpinan yang berbasis nilai untuk membantu warga Negara dalam mengartikulasikan dan memperoleh kepentingan mereka ketimbang upaya untuk mengontrol dan menyetir masyarakat dalam tujuan-tujuan baru.
7. Value people, not just productivity: organisasi public dan jaringan di mana mereka berpartispasi akan memberi hasil jangka panjang yang baik jika saja mereka bekerja melalui proses-proses kolaboratif dan memimpin berdasarkan rasa hormat terhadap seluruh masyarakat.
Bila kebijakan Posmodern ini dikaitkan dengan pandangan Howlett soal implementasi kebijakan, maka dapat dipahami bahwa teori Generasi Kedua beranjak pada wilayah yang tidak lagi melihat pada batas-batas “baik dan “buruk” suatu kebijakan sosial. Artinya, menurut Howlett, Generasi Kedua mencanangkan model implementasi kebijakan yang mendekontruksi dikotomi tersebut pada suatu pemahaman yang tidak bersifat teknis semata dan tentunya, harus mempertimbangkan aspek-aspek sosial, ekonomi dan politik sebagai pilihan instrumennya.
Dari sini, menurut hemat penulis, Howlett memandang Generasi Kedua pada fokusnya pada model implementasi kebijakan yang tidak lagi terjebak pada mekanisme pasar dan atau orientasi ortodoks “campur tangan” pemerintah, akan tetapi yang dikedepankan adalah mempertemukan berbagai kepentingan sosial warga Negara, kelompok komunitas, pihak swasta, dan sebagainya, sebagai bagian dari sasaran implementasi kebijakan yang partisipatif, responsive dan demokratis. Pada titik ini, Pelayanan Publik Baru atau Kebijakan sosial postmodern menjadi “pengantin” baru bagi teori Generasi Kedua yang, pada dasarnya tetap memandang penting model-model Administrasi Publik Lama dan Manajemen Publik Baru dengan mendekonstruksinya pada wilayah yang tidak melulu positivistik, teknis, teknokratis, akan tetapi melingkupi berbagai dimensi kebijakan sosial yang multikompleks.
Dalam proses implementasi kebijakan yang hanya mengikuti logika ilmu-ilmu alam, maka model implementasinya akan cenderung mengalami sentralitas pengukuran dari atas (top-down) yang seringkali bersifat memaksa untuk menyeragamkan semua konteks dan lingkungan tanpa mengindahkan situasi sosial yang sebenarnya. Pada fase ini, implementation gap sangat mungkin terjadi. Pendekatan kebijakan dan implementasi yang demikian itu seringkali menghadapi berbagai kendala dan ganjalan. Artinya, dengan memaksakan model dan pendekatan yang seragam berdasarkan kalkulasi matematis semata, ternyata menimbulkan ketergantungan bahkan matinya inisiatif masyarakat lokal yang disebabkan oleh hilangnya ruh nilai-nilai lokalitas mereka. Masyarakat yang semestinya dipandang sebagai modal utama (social capital) –meminjam Francis Fukuyama— dalam kebijakan pembangunan, justru menjadi ajang pemubaziran. Kebijakan BLT (bantuan tunai langsung) pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla saat ini merupakan contoh implementasi kebijakan sosial yang justru tidak mampu memberikan semangat pemberdayaan, alih-alih, ia justru “mengajarkan” ketergantungan masyarakat untuk memperoleh sesuatu secara instan.

Penutup: Menuju Implementasi Kebijakan Sosial Posmodern
Semangat dari Ilmuwan Generasi Kedua adalah semangat postmodern. Bahwa dalam era era globalisasi media yang ditandai dengan laju percepatan lalu-lintas informasi dan teknologi komunikasi, situasi yang tidak menentu dan serba kompleks, merupakan cirri khas dari paradigma postmodern yang melihat wajah dunia sebagai “fluidity, uncertainty, ambiguity, and discontinuity …organization boundaries are blurred with the development of partnership and joint ventures, sub-contracting and peripherial workforces, and social and technology –based network” (Buchanan dan Badham, 1999). Sehubungan dengan proses kebijakan dalam situasi seperti ini, masih Buchanan dan Badham, mengemukakan: “in conditions of high uncertainty, when decisions are unstructured, or unprogrammable, difficult choice are typically resolved by political means… large and complex organization, reasonable people are also likely to disagree about means and ends, and are also likely to fight (figuratively speaking) for what they believe.” Desain implementasi kebijakan dan program pembangunan yang dibutuhkan dalam keadaan seperti ini adalah organisasi yang di dalamnya memungkinkan untuk lebih reponsifnya organisasi dalam menyikapi berbagai isu yang sedang merebak (Zauhar, 1993).
Seperti halnya Teori Generasi Kedua, dalam wilayah Adminitrasi Publik, kritik utama posmodernisme terhadap modernisme adalah pada proyek rasionalismenya, khususnya teori pilihan rasional berbasis pasar (rational choice theory) dan keahlian teknokratis. Melampui model “baik dan buruk” dalam implementasi kebijakan, komitmen utama teori postmodern terletak pad ide tentang “wacana” ketimbang pada objektivitas pengukuran atau analisis rasional terhadap resolusi (penyelesaian) persoalan-persoalan public (Mc. Swite, 1997; 377 dalam Denhardt). Bahwa wacana otentik yang ideal melihat administrator dan warganegara saling terlibat satu sama lain, tidak semata-mata mendasarkan pada sebatas kepentingan pribadi tiap individu secara rasional, akan tetapi sebagai partisipan yang saling terlibat satu sama lainnya. Hubungan individu tidak dilihat hanya pada ukuran-ukuran rasional (untung-rugi) akan tetapi bersifat eksperensial, intuitif dan emosional.
Walau demikian, model implementasi kebijakan sosial postmodern tetap sulit untuk didefinisikan secara tegas karena wilayahnya yang terlalu kompleks, penuh ambiguitas, tidak pasti dan formasi sosial-organisasional di dalamnya tidak bisa diprediksi. Demikian halnya kelemahan yang dihadapi oleh Ilmuwan Generasi Kedua. Howlett (hal. 6) mengatakan:
“… it has become more and more apparent to many observers that the kind of precision recquired for such maximizing instrument choices will never be achieved, not just because of poorly defined, ambiguous, decision-making circumstances and information asymmetric bet, more fundamentally, because the utility of the instruments themselves, and hence the calculation of their attractiveness, is heavily context dependent…”.

Di balik itu semua, alternatif kebijakan sosial posmodern –seperti halnya konsep filsafat politik posmodern— menawarkan pentingnya “wacana” yang mengedepankan implementasi kebijakan sosial yang bersumber pada akomodasi budaya lokal. Di mana, bentuk implementasi kebijakan terkait dengan adanya proses deliberasi demokrasi dalam bentuk partisipasi dan tindakan komunikasi aktif setiap warga negara dalam ruang publik yang bebas dominasi.


Daftar Pustaka

Berman, Paul. 1980. “Thinking about Programmed and Adaptive Implementation: Matching Strategies to Situations”, dalam Ingram dan Mann (Eds.). 1980. Why Policies Succeed or Fail. London Sage Publication.

Buchanan, Dave and Badaham, Richard. 1999. Power, Politics and Organizational Change: Winning the Turf Game. London, Thousand Oak, New Delhi. Sage Publication.

Denhardt, J.V. dan Denhardt, R.B. Tanpa Tahun. The New Public Service

Habermas, Jurgen. 1984. The Theory of Comunicative Action. Boston. Beacon Press.

Hardiman, F. Budi. 2003. Menuju Masyarakat Komunikatif. Yogyakarta. Kanisius.

Howlett, Michael. 2004. “Beyond Good and Evil in Policy Implementation: Instrument Mixes, Implementation Styles, and Second Generation Theories of Policy Instrument Choice”. www.google.com

______ and Ramesh, M. 1995. Studying Public Policy: Policy Cucles and Policy Subsystems. Toronto, New York, Oxford. Oxford University Press.

John B. Cobb, Jr. 2005. “Kebijakan Sosial Posmodern” dalam David Ray Griffin (Ed.) Visi-visi Posmodern: Spritualitas dan Masyarakat. Pustaka Filsafat.

Kellner, Douglas. “Habermas, the Public Sphere, and Democracy: A Critical Intervention.” http://www.gseis.ucla.edu/faculty/kellner/kellner.html

Osborne, David and Ted Gaebler. 1992. Reinventing Government: How the Entrepreneural Spirit Is Transforming the Public Sector from Schoolhouse to Statehouse. City hall to Pentagon. Reading, MA: Addison Wesley.

Paskarina, Caroline. “Dilema Ruang Publik dalam Demokratisasi.” Bandung Institute of Governance Studies. Edisi 07 / III / Oktober-Nopember 2005.

Wahab, Solichin Abdul. 1998. Reformasi Pelayanan Publik Menuju Sistem Pelayanan yang Responsif dan Berkualitas. Program Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang.

______ “Globalisasi dan Pelayanan Publik dalam perspektif teori Governance.” Makalah untuk Pengukuhan Guru Besar untuk Ilmu Kebijakan Publik pada Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang. 2000.

Zuhar, Soesilo. 1993. Administrasi Program dan Proyek Pembangunan. Malang. IKIP Malang
*

*Tulisan ini Pernah dimuat di Jurnal Publika, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

**Astar Hadi adalah alumni Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP UMM yang sedang menempuh studi pada Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya Malang, Program Studi Ilmu Administrasi Publik, konsentrasi Kebijakan Publik, dan penulis buku Matinya Dunia Cyberspace: Kritik Mark Slouka terhadap Jagat Maya, LKiS, Yogyakarta, 2005.