Tuesday, March 27, 2007

Paradoks Feminisme

Paradoks Feminisme
Oleh: Astar Hadi*
Sejak beberapa abad silam, perhatian pada peran dan nasib wanita dalam konteks subordinasi patriarkal telah banyak diperbincangkan. Dalam sejarah kuno, betapa Plato dan Socrates telah memberikan kontribusi yang tidak kecil tentang pentingnya kesataraan gender. Dengan alasan yang sederhana, Plato percaya, wanita memiliki kemampuan yang sama efektifnya dengan pria dalam mengelola pemerintahan dengan penegasan bahwa mengatur Negara didasarkan atas akal dan rasio, bukan seksisme (perbedaan jenis kelamin secara biologis). Para wanita mempunyai penalaran yang sama dengan kaum pria selama diberikan kesempatan dan latihan yang sama dan dibebaskan dari “kewajiban” membesarkan anak dan urusan rumah tangga.
Baru pada abad XVIII di Prancis, feminisme sebagai suatu gerakan sosial yang didukung oleh banyak orang dengan tujuan yang jelas untuk meningkatkan kedudukan dan peran wanita dan memperoleh hak-hak yang lebih adil menemukan gaungnya. Bahkan dengan secara indah termaktub dalam Al-Qur’an kata-kata baldatun thayibatun wa Rabbun gafur (bangsa yang beradab dan diampuni Tuhan), yang berdasarkan asbab al-nuzul-nya (sebab-sebab turunnya ayat tersebut) merupakan manifestasi historis sebuah pemerintahan yang sangat adil dipimpin oleh Ratu Balqis, seorang wanita juga.
Terkait dengan persoalan feminisme ini, mahasiswa tepatnya mahasiswi, yang diklaim sebagai agent of change dan gerbong lokomotif bangsa mendorong kita pada sebuah “kesadaran” bahwa perannya sebagai bagian dari entitas masyarakat berpendidikan merupakan amanah dan tanggung jawab moral untuk ikut terlibat dalam berbagai aktivitas fungsional, layaknya pria.
Terbukti setelah Orde Baru dan di Era Reformasi sekarang ini, kesadaran untuk memperjuangkan hak-hak wanita semakin meningkat dan terus berkembang, tidak saja bidang sosial, budaya dan politik, akan tetapi juga dalam bidang agama.
Sudah saatnya wanita tidak hanya ditempatkan sebagai obyek pembangunan (woman in development), akan tetapi berkedudukan sebagai subyek pembangunan (woman and development).
Tetapi permasalahan yang justeru muncul bukan terletak pada sikap apologi dan permisif pria terhadap keterlibatan wanita, akan tetapi wanita an sich. Apakah kesadaran untuk memperjuangkan hak-haknya dan hasrat untuk memperbaiki citranya yang selama ini dianggap sebatas teman di ranjang, pelipur stress pria, ibu yang mengurusi anak-anaknya, telah benar-benar dilakukan wanita untuk menjadi seorang “wanita perkasa”?
Feminisme yang Kebablasan
Bukan tidak mungkin, upaya-upaya gerakan feminisme yang selama ini masih menjadi perbincangan hangat di semua kalangan hanya cerita dan citra eksklusif para wanita yang sudah “tercerahkan” dari kehidupan rumah tangga saja. Eksklusif artinya, untuk menunjukkan sejumlah minoritas wanita yang benar-benar getol mempromosikan dirinya sebagai orang yang kuat secara kognitif-psikologis dan punya pengaruh besar dalam rimba laki-laki.
Sementara mayoritas wanita yang lain, justeru memahami feminisme bukan lagi pada persoalan bahwa mereka tidak sanggup keluar dari “penjara” rumah tangga untuk bersikap lebih “jantan”. Alih-alih, pemahaman tentang peran dan tanggung jawab diri terhadap lingkungan sosialnya dimanifestasikan dengan citra-citra yang melampui pemahaman tentang kesadaran feminisme dan cenderung lebih “beringas” dari laki-laki.
Wardah Hafiz dalam Feminisme sebagai Counter Culture (Ulumul Qur,an edisi khusus, No. 5 & 6, Vol. V, 1994) melihat ada sejumlah kekeliruan tafsir terkait feminisme itu sendiri. Menurutnya, banyak orang yang tidak sepenuhnya memahami apa feminisme itu. Ada semacam tuduhan yang salah kaprah tentang feminisme yang dideskreditkan sebagai gerakan para perempuan “tukang bakar BH”, “anti lelaki”, “perusak keluarga”, “tidak mau punya anak” dan sejenisnya. Sejatinya, tegas Wardah, feminisme pada dasarnya dapat dikategorikan sebagai budaya tandingan (counter culture).
Menilik pada fenomena globalisasi pasar informasi dan komunikasi dengan berbaurnya berbagai komodifikasi gaya hidup anak muda perkotaan dalam atribut-atribut hedonisme, konsumerisme dan seks bebas, yang telah difasilitasi kapitalisme sedemikian rupa, merupakan salah satu fenomena sentral yang menggambarkan apa yang ditegaskan Wardah dalam poin pertama tersebut sebagai kekeliruan memaknai feminisme.
Secara khusus, bila kekeliruan memakanai feminisme dialamatkan pada mahasiswi-mahasiswi di perkotaan, hampir setali tiga mata uang alias sama saja. Apa hal? Tengara ini tampaknya semakin mempopulerkan pandangan bahwa isu-isu miring yang mengtasnamakan wanita-wanita kampus sangat santer terdengar. Dari yang berprofesi sebagai “ayam kampus” sampai beredarnya sejumlah VCD khas erotisme mahasiswa merupakan rahasia umum di lingkungan akademis dan masyarakat luas.
Dalam perkataan lain, tanpa harus mereduksi peran wanita sejatinya, fakta-fakta tersebut menjawab sebuah pertanyaan, bahwa ketika sebuah pembongkaran wacana feminisme menjadi sebuah keharusan yang niscaya bagi sebuah peradaban bangsa, dan ketika sikap permisif laki-laki terhadap peran wanita di luar rumah tidak bisa diabaikan, maka pada saat yang sama muncullah sebuah “budaya tandingan” yang dalam komik Detektif Kindaichi disebut “psikologi terbalik” atau dalam istilah sosiologi biasa disebut “ledakan sosial.”
Wanita, lebih-lebih, di Indonesia, mengalami kejutan-kejutan impulsif atas berbagai dinamika peran emansipatif di saat krannya dibuka secara lebar, sehingga cenderung membludakkan “air segar” feminisme yang begitu deras ke arah-arah yang lebih vulgar dan melanggar tabu-tabu sosial yang seharusnya dipertahankan. Ledakan-ledakan itu bisa saja memunculkan berbagai serpihan-serpihan psikologis wanita, bahkan dalam bentuk pembalikan yang paling kontras (negatif).
Menurut hemat penulis, mahasiswi atau civitas akademika secara menyeluruh, seyogyanya tidak melihat persoalan feminisme sebatas pada peran dan perjuangan akan hak-hak wanita secara adil, lebih-lebih, dengan memahami bahwa feminisme adalah sebuah persoalan yang multidimensional. Setiap sisi-sisi wanita berpengaruh terhadap semua kehidupan sosial. Wanita sebagai manusia, mengambil bagian dalam setiap produk kemanusiaan.
*Astar Hadi adalah mahasiswa Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang, dan penulis buku “Matinya Dunia Cyberspace” (2005)

3 comments:

  1. saya kira esensi Feminisme adalah "memanusiakan wanita" (baca: menghargai hak2 wanita sbg manusia, membebaskannya dari tirani dan hegemoni laki-laki/patriarki) dan bukan "me-lelaki-kan wanita" spt dalam pemikiran Feminis-radikal/posmo itu..

    salam kenal..

    ReplyDelete
  2. thanks atas komentarnya...
    anda benar bahwa feminisme berarti menghargai hak wanita sebagai manusia dan bukan me-lelaki-kan wanita....
    salam kenal juga

    salam hangat
    astar hadi di malang

    ReplyDelete
  3. menurutku feminis radikal juga tidak melelakikan perempuan. justru feminis radikal itu seperti menegasikan laki-laki. menganggap perempuan itu lebih ahoi dari laki-laki.

    sedangkan feminisme liberal itu dah yang menyetarakan perempuan-laki dengan segala perbedaannya. teori setara tapi tak sama. karena diyakini memang ada yang tak bisa dipaksakan. bahwa secara kodrati laki-perempuan emang beda. yg penting mereka setara.

    ReplyDelete