Tuesday, March 27, 2007

Playboy dan Quo Vadis “Kearifan” Lokal

Playboy dan Quo Vadis “Kearifan” Lokal
Oleh: Astar Hadi*

Dari pro-kontra kasus goyang ngebor Inul, 2003 silam, maraknya fenomena majalah Playboy Indonesia yang telah memperoleh izin penerbitan sejak akhir November 2005 lalu, sampai silang-sengkarut penggodokan undang-undang Anti Pornografi yang sedang dibahas wakil-wakil kita di DPR, menunjukkan bahwa dunia seni masih akan terus menyisakan perdebatan alot pada lingkup definitifnya.
Persoalan seni, dalam hal ini, seni tubuh, tidak saja melingkupi persoalan estetika yang berujung pada eksploitasi “keindahan” tubuh seksual pria-wanita, alih-alih, ia terkait konteks budaya lokal, bahwa setiap produk seni tidak menganut prinsip-prinsip normatif selama wacana lokal dan konteks zaman membenarkan dan atau bersikap permisif dalam setiap kemunculannya.
Contoh kasus, wanita-wanita “primitif” di Papua dengan bebas bertelanjang dada di tempat umum, sementara kaum pria hanya mengenakan koteka –penutup (maaf) kemaluan. Mandi bersama antara pria dan wanita di sungai dengan tubuh tanpa busana merupakan pemandangan lumrah di sejumlah tempat di Bali.
Fenomena “vulgarisme” yang ada di beberapa wilayah di Indonesia seringkali menjadi acuan justifikatif untuk membenarkan pemberlakuan berbagai tayangan yang menjurus pada pornografi atau porno aksi.
Di samping itu, tanpa menafikan pentingnya pendidikan seks sejak dini, alasan-alasan yang mengatasnamakan seks untuk “pendidikan”, telah menjadi sebuah hegemoni yang memayungi realitas kita. Bahwa Indonesia saat ini bukanlah era di mana seks merupakan fenomena tabu. Alih-alih mengandung nilai edukatif, seks justeru sebuah paradoks yang merupakan manifest kesenangan bermain dengan (pendidikan) seks itu sendiri. Dan tampaknya, inilah strategi fatal (fatal strategy) –ala Jean Baudrillard— yang harus kita jalani, yaitu bergulat dengan ekstasi (seks) sebagai sebuah realitas “takterhindarkan.”
Kita diajak untuk berkomunikasi dengan pendidikan seks, tetapi kita justeru tidak punya cukup firewall –layaknya sebuah program di internet untuk melindungi email dari sampah (spam) komunikasi, yang ternyata seringkali tembus dengan masuknya situs-situs porno ke email kita. Sehingga, bukannya nilai yang kita peroleh, akan tetapi kemungkinan terjerumus dalam lembah hasrat dengan berjuta “referensi” seks yang salah satunya ditawarkan dengan menghadirkan playboy-playboy lokal, khas Indonesia.
Ironi Playboy Lokal
Menurut sejumlah kalangan di DPR, terutama Komisi VIII, berharap agar desain majalah Playboy yang edisi perdannya akan terbit pada bulan Maret 2006 tersebut nantinya tidak seperti desain Playboy yang beredar di AS. “Jika desain Playboy di Indonesia seperti yang ada di Amerika Serikat, saya tidak setuju. Saya akan menggalang protes bersama dengan kawan-kawan,” tegas anggota DPR Komisi VIII, Yunus Yusroh, yang juga anggota Fraksi PKS ini, seperti dikutip Detikcom (12/1/2006).
Menarik memang apa yang dilontarkan Yusroh tersebut. Menurutnya, batasan telanjang yang “halal” dalam UU Pornografi dan Pornoaksi nantinya, harus sesuai dengan budaya bangsa, seperti koteka untuk pria dan telanjang dada untuk wanita di Papua, serta Kemben di Jawa Tengah. Bahkan untuk majalah Playboy sendiri harus mengikuti persyaratan tersebut untuk mendapatkan “label halal”, layaknya produk makanan.
Terlepas dari peluang pasar potensial Playboy di Indonesia dengan seabrek persyaratan lokalitas yang ditawarkan, apakah ia lantas menjadi sebuah jaminan bahwa pemberian cap “label halal” mampu memberi alternatif lain bagi dinamika dan dialektika bahwa seks masih merupakan wilayah privat setiap orang? Sementara gerak-laju seks sebagai imbas globalisasi media massa bukankah semakin melampui tapal batas tabu sosial bangsa kita dengan berbagai dalih dan persyaratan yang ada.
Penulis tidak melihat adanya kesinambungan fungsional antara sikap permisif terhadap masuknya Playboy dalam desain lokal dan dalam hubungannya dengan “identitas” bangsa sebagai bangsa yang lengkap dengan atribut malu-malu (tapi mau dong!). Artinya, Playboy yang jelas-jelas sebuah majalah yang elemen utamnya wanita, bikini, pakaian dalam, gaun malam berpotongan seksi dan berbagai unsur sensualitas lainnya, akan menjadi ironis ketika harus dihubungkan dengan kualitas lokal yang secara tegas “tidak mengamini” vulgaritas dan eksploitasi tubuh.
Playboy Indonesia akan didesain dengan format lokal? Seperti apa bentuknya tentunya belum kita ketahui secara pasti. Mungkin, bayangan kita tentang model identitas Playboy lokal bertalian dengan identitas bangsa kita sejatinya. Penampilan gambar, setting layout, dan bahasa yang dikemas nantinya, yang benar-benar meng-Indonesia itu seperti apa juga sulit untuk didefinisikan.
Yang pasti, Playboy versi Indonesia bukan sebuah semangat counter culture terhadap induk semang Playboy di Amerika Serikat. Keduanya akan saling berkelindan untuk kepentingan pasar. Logikanya, ketika pasar yang bicara, maka segala aspek yang bertalian dengan etika bukan tujuannya.
Alih-alih, kesuksesan majalah ini meraih keuntungan sampai jutaan dollar terutama sekali karena eksploitasi sensualitas tubuh manusia pada batas-batas yang paling ekstrim; yaitu menghadirkan gejolak paradigma seksual dengan semangat dekonstruksinya dan menghadapkan kita pada pencitraan-pencitraan langsung tanpa pagar pembatas, yaitu politik “jual-beli” tubuh. Dengan demikian, majalah Playboy baik versi Indonesia atau yang lain merupakan suatu bentuk pengeksploitasian wilayah-wilayah seksual sebagai konsumsi masyarakat, sebagai komoditas dan sebagai komodifikasi gaya hidup global generasi kita saat ini.
Dewasa ini, di dalam masyarakat pascaindustri atau era informasi, yang ditandai dengan semangat dekonstruksi terhadap kompleksitas permainan tanda dan simbol (semiotika dekonstruktif Derrida), tempat berbaurnya aneka permainan bahasa (language game ala Witgenstein), dan meleburnya polarisasi antara baik/buruk (logika oposisi biner Jean Jacques Lacan), dibongkar sedemikian rupa dengan struktur dan kode bahasa tertentu (lokal), sehingga menciptakan satu permainan tanda yang tanpa akhir dan tanpa makna akhir.
Dalam semiotika dekonstruktif yang dikembangkan Derrida dalam Teori Dekonstruksinya, ingin melegitimasi pentingnya ruh lokalitas untuk memahami sejauhmana tanda-tanda atau teks –dalam hal ini Pornografi— itu mempermainkan dirinya sebagai proses yang terus menjadi. Sehingga makna hadir tidak dalam sebuah bentuk final, tetapi selalu terjebak dalam permainan tanpa akhir. Makna akan hadir pada posisi differ(a)ence, yang berarti –meminjam Al-Fayyadl (2005)— menghormati yang beda dalam keberbedaannya dan dan yang lain dalam kelainannya.
Apa artinya? Playboy atau yang sejenis dengannya, adalah sebuah pengembaraan semiotik atas teks atau wacana lokal (kini dan di sini) yang dikembangkannya dengan “mengelabui” objek-objek yang ditandai (baca: masyarakat Indonesia) melalui kemasan secara lokal. Persoalan lokalitas kemudian menjadi “senjata picu” yang akan menjustifikasi berbagai pembongkaran terhadap imperatif global, menjadi imperatif-imperatif baru, berbeda, dari yang aslinya, yaitu Playboy Amerika.
Kalau di Amerika, gambar-gambar visual yang disodorkan pada konsumen kemungkinan dengan kemasan gaya hidup bebasnya; liar (hardcore), nakal, pose tubuh yang menantang dan sebagainya. Sementara untuk konsumsi lokal, bisa saja menampilkan streotip tubuh dengan senyuman yang ramah, malu-malu (kedua tangan jadi BH-nya), dan dengan pose yang lembut tapi genit.
Apa yang harus kita sepakati dari keduanya? Sama-sama mempertontonkan dirinya sebagai pemuasan hasrat seksualitas yang “bersembunyi” dibalik jubah seni. Seperti diasumsikan orator-orator posmodernis, Playboy telah menemukan padanannya pada wilayah seni, yaitu seni posmodern. Seni posmodern tidaklah mempertentangkan polarisasi antara baik dan buruk, tidak mengenal adanya batasan-batasan normatif; moral dan etika. Seni postmodern membatasi dirinya pada sejauhmana jangkauan “kualitas” estetik yang bisa dicapai. Nilai-nilai yang diusungnya adalah estetika bukan etika, bukan pula moralitas akan tetapi kreatifitas.
Akhirnya, mengutip Detik.com (12/1/2006), untuk menyambut edisi perdananya yang beredar Maret 2006 ini, Playboy Indonesia akan menggelar audisi “Playmate”. Syaratnya antara lain, model harus berusia 18 tahun (masih segar-segar bukan?, pen). Peserta audisi diwajibkan membawa bikini, juga pakaian dalam, gaun malam berpotongan seksi, dan sepatu berhak tinggi.

*Astar Hadi adalah Mahasiswa Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang dan penulis buku Matinya Dunia Cyberspace (2005)

1 comment: